Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 24 April 2014

TAJUK RENCANA Tragedi di Sudan Selatan (Kompas)

Pembantaian etnis mengancam Sudan Selatan, negeri berpenduduk 8,2 juta jiwa di Afrika. Ribuan orang tewas dalam empat bulan terakhir.
Tragedi kemanusiaan terus memuncak satu pekan terakhir. Awal pekan ini, ratusan perempuan, anak-anak, dan orang lanjut usia yang sedang mengungsi di tempat-tempat ibadah dibantai pemberontak suku Nuer. Sekitar satu juta orang tercerabut dari akarnya dan menjadi pengungsi.

Para pengungsi yang tidak berdaya dan tidak bersalah dibunuh secara keji. Spiral kekerasan yang meminta korban jiwa begitu banyak mengundang keprihatinan dan kengerian masyarakat internasional. Bahaya kemanusiaan yang lebih besar sedang mengancam Sudan Selatan.

Ekspresi kengerian meningkat karena masyarakat dunia baru saja memperingati 20 tahun terjadinya pembantaian oleh suku mayoritas Hutu terhadap minoritas Tutsi di Rwanda. Sekadar diingat kembali, sekitar 800.000 orang tewas dalam tempo singkat, hanya 100 hari antara awal April dan pertengahan Juni 1994, di Rwanda.

Bahaya kebencian etnis, seperti di Rwanda, mengancam Sudan Selatan sejak akhir 2013. Kelompok pemberontak suku Nuer terus membantai suku Dinka. Dunia benar-benar tersentak atas laporan keganasan pemberontak suku Nuer yang awal pekan ini membantai ratusan warga suku Dinka yang sedang mengungsi di sejumlah tempat ibadah di pusat perminyakan Bentiu.

Pertikaian etnik di Sudan Selatan, yang terpisah dari Sudan pada 2011, berawal dari persoalan politik. Kebencian etnik pecah tidak lama setelah Presiden Salva Kiir dari suku Dinka memecat Wapres Machar dari suku Nuer pada Desember 2013. Pergolakan di Sudan Selatan ini kembali memperlihatkan betapa kaum elite mengeksploitasi semangat primordial untuk kepentingan politik. Bangsa Sudan Selatan pun terpecah-pecah.

Sejarah pembentukan negara merdeka Sudan Selatan tidak terlepas dari persoalan sentimen primordial. Masyarakat Sudan Selatan melepaskan diri dari Sudan pada 2011, antara lain, karena perbedaan agama dan keyakinan. Ketika masih bersatu, masyarakat Sudan di wilayah utara bertikai dengan masyarakat di wilayah selatan karena prasangka ideologis keagamaan. Namun, setelah terpisah, pertikaian tidak lagi berdasarkan isu perbedaan agama, tetapi kesukuan.

Semula Sudan Selatan berasumsi kehidupan yang lebih sejahtera, adil, dan damai akan tercipta setelah terpisah dari Sudan. Namun, asumsi itu kandas, bahkan Sudan Selatan terseret ke dalam bahaya perpecahan dan kehancuran. Sudan Selatan menjadi contoh jelas betapa semangat kebersamaan dan sepenanggungan sebagai bangsa tidak juga terwujud. Tidak terasa kekompakan yang diperlukan untuk mendorong kemajuan bersama sebagai satu bangsa dan negara.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006232526
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger