Dalam putusan terakhirnya, Senin, 19 Mei 2014, MK menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili sengketa pemilu kepala daerah. MK menyatakan, Pasal 236 UU tentang Pemerintahan Daerah yang mengalihkan kewenangan penyelesaian sengketa pilkada dari Mahkamah Agung ke MK tidak konstitusional.
MK berpendapat, dengan mengacu pada tafsir original intent perumusan perubahan konstitusi, masalah pemilu kepala daerah tidak digolongkan masuk dalam rezim pemilihan umum yang dilakukan lima tahun sekali yang diatur Pasal 22 E UUD 1945. Pemilu kepala daerah diatur dalam Pasal 18 Ayat 4 yang menyebutkan, kepala daerah dipilih secara demokratis.
Putusan MK kali ini tidak bulat. Ada tiga hakim konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman. Ketiga hakim itu memandang kewenangan MK mengadili sengketa pilkada adalah konstitusional.
Menurut data di MK, sejak 2008, MK menyidangkan 729 sengketa pilkada dan sebanyak 689 sudah diputuskan. Meski MK menyatakan tak lagi berhak menangani sengketa pilkada, putusan MK sebelumnya tetap sah. Guna mengantisipasi kekosongan hukum, sebelum ada lembaga yang menangani sengketa pilkada, MK menyatakan penyelesaian sengketa pilkada tetap di tangan MK.
Putusan MK ini patut diapresiasi. Melalui putusannya kali ini, MK mengamputasi kewenangan yang diberikan undang-undang kepada lembaga itu. Putusan ini sekaligus juga menjawab persepsi publik bahwa MK selama ini cenderung menambah kewenangan yang ada pada dirinya. Dalam sejarahnya, sengketa pilkada yang ditangani MK ikut membuat kewibawaan MK terperosok. Puncaknya adalah saat Ketua MK Akil Mochtar ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi ketika menerima uang dari pihak yang beperkara dalam penanganan sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas.
Dilepaskannya kewenangan MK menangani sengketa pilkada harus segera direspons pembuat undang-undang untuk menentukan lembaga penyelesai sengketa pilkada. Putusan itu punya momentum berbarengan dengan pembahasan perubahan UU tentang Pemerintahan Daerah. Mengacu pada pengalaman yang ada, penanganan sengketa pilkada di lembaga mana pun tak boleh bersifat final dan mengikat dalam satu kali putusan. Harus ada lembaga koreksi di atasnya.
Kita apresiasi langkah MK mengamputasi kewenangan yang diberikan undang-undang kepadanya. Dengan putusan itu, MK bisa fokus ke tujuan semula sebagai penjaga konstitusi yang bertugas menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa lembaga negara, memutus pembubaran parpol, serta memutus perselisihan hasil pemilu nasional dan pemakzulan presiden.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006744919
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:
Posting Komentar