Ia seolah menjadi anti tesis terhadap tipe kepemimpinan yang konservatif dan "lunak" yang gemar menyiasati persoalan dengan cara membiarkan persoalan itu mengambang dalam rangka mencari aman dan menghindari risiko. Masalahnya adalah ketegasan atau strong leadership seperti apa yang benar-benar kita butuhkan saat ini?
Dalam rentang antara ketegasan retoris yang menghibur hati untuk sementara waktu di satu sisi dan ketegasan substantif yang menghadirkan solusi berkelanjutan di sisi lain, kita membutuhkan diskusi yang tidak hanya bersifat ideologis-normatif, tetapi juga pragmatis-implementatif. Setidaknya tiga hal perlu kita cermati dalam hal ini.
Pertama, harus diakui bahwa kita butuh tipe kepemimpinan yang "berbeda" dalam arti yang tidak terus terjebak pada ortodoksi kepemimpinan business as usual. Kedua, yang dibutuhkan bukan semata visi yang indah, melainkan kapasitas kepemimpinan dalam mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan yang membumi dan kontekstual. Ketiga, kapasitas itu haruslah ditopang oleh kemampuan untuk memobilisasi dan mempertahankan dukungan publik atas kebijakan-kebijakan pemerintah.
Becermin pada Korsel
Marilah kita becermin pada Korea Selatan. Para ahli pembangunan internasional umumnya sepakat bahwa keberhasilan Korsel, yang dalam waktu sekitar tiga dasawarsa (1960-an hingga 1990-an) telah bertransformasi dari negara terbelakang dan miskin menjadi negara maju berbasis industri modern yang kokoh dan kompetitif disertai tingkat kesejahteraan rakyat yang relatif tinggi dan merata, merupakan contoh nyata keberhasilan pelaksanaan pembangunan yang digalang oleh kepemimpinan politik kuat.
Dalam hal ini Alice Amsden (1996) berpendapat bahwa kunci keberhasilan pembangunan di Korsel adalah peranan negara yang efektif dalam transformasi ekonomi nasional yang mewujud dalam tiga faktor pokok: (1) kepemimpinan politik yang kuat; (2) perencanaan pembangunan; dan (3) kebijakan dan anggaran yang masuk akal (reasonable).
Terlihat bahwa kepemimpinan politik yang kuat menjadi variabel pertama bagi keberhasilan pembangunan. Masalahnya apakah kepemimpinan kuat itu harus berkonotasi dengan kecenderungan otoritarianisme seorang pemimpin? Ternyata tidak, karena, seperti dikatakan Peter Dauvergne (1998), kepemimpinan politik bisa saja kuat dalam hal menerapkan langkah-langkah koersif, tetapi lemah pada kapasitas organisasional dan teknis untuk menerapkan kebijakan-kebijakannya di lapangan. Dengan kata lain, kita butuh kepemimpinan kuat bukan dalam pengertian predatory leadership di mana kepemimpinan politik justru berpotensi membunuh potensi dan kreativitas masyarakat dalam rangka mengorganisasikan kekuasaan.
Di sisi lain, pembentukan aliansi politik yang "inklusif" dimana segmen-segmen kelompok strategis dalam bisnis dan politik bergabung di dalamnya mungkin akan meredakan kekhawatiran akan munculnya resistensi-resistensi kelompok-kelompok sosial yang berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah. Namun, seperti dikhawatirkan Linda Weiss (1998), bergabungnya kelompok-kelompok bisnis dan politik dominan yang kental vested interest-nya dalam sebuah rezim politik justru akan menghadirkan potensi bagi dibajaknya negara oleh kepentingan-kepentingan kelompok yang kuat yang pada gilirannya akan menurunkan kapasitas transformatif dari kepemimpinan politik itu sendiri.
Kyeong-won Kim (2003) secara panjang lebar menguraikan bagaimana dalam periode pasca krisis Asia terjadi tarik-menarik kuat antara Pemerintah Korsel yang mencoba berlaku "otonom" di satu sisi dan kelompok-kelompok konglomerat (chaebols) yang ingin mengamankan kepentingan bisnisnya di sisi lain. Terlihat dalam kasus Korsel makin besar kesanggupan seorang pemimpin mengidentifikasi dan membedakan dengan tegas kepentingan publik yang genuine dan berjangka panjang di satu sisi dengan kepentingan korporasi yang bersifat "abu-abu" dan berjangka pendek di sisi lain akan berpengaruh pada warisan keberhasilan kepemimpinannya dalam jangka panjang. Sebaliknya, pemimpin yang tersandera kepentingan-kepentingan strategis (khususnya kepentingan korporasi) justru lebih banyak mewariskan benang kusut persoalan baru bagi penerusnya.
Konteks kekinian
Dalam diskusi tentang kepemimpinan di Indonesia selalu digambarkan adanya dua tipe kepemimpinan, yaitu tipe solidarity maker yang tergambar pada diri Soekarno dan tipe administratur yang diwakili sosok Mohammad Hatta. Harus dicermati bahwa tipologi itu dibuat oleh Herbert Feith dalam konteks kesejarahan yang sangat berbeda dengan saat ini. Feith mendasarkan tipologi kepemimpinannya pada konteks awal terbangunnya fondasi kebangsaan (nation building) di mana substansi perdebatan semacam apakah revolusi politik sudah selesai masih mengemuka. Soekarno memandang revolusi politik belum selesai dengan dicapainya kemerdekaan. Karena itu, mobilisasi massa untuk tujuan-tujuan politik yang besar perlu terus digalang. Sebaliknya, Mohammad Hatta memandang bahwa yang dibutuhkan setelah dicapainya kemerdekaan adalah kebijakan-kebijakan yang bersifat teknis dan terukur di bidang ekonomi dan sosial.
Apabila kita sepakat dengan Mohammad Hatta bahwa yang lebih dibutuhkan adalah bagaimana mewujudkan cita-cita kemerdekaan dengan pembangunan yang terprogram dan terukur demi kemaslahatan kehidupan rakyat, kapasitas kepemimpinan yang mengedepankan kemampuan manajerial dan implementatif di lapangan pada saat ini lebih dibutuhkan daripada kapasitas kepemimpinan yang sifatnya dream maker, retoris, dan simbolis.
Kita membutuhkan pemimpin dengan kapasitas yang teruji untuk menghadirkan solusi-solusi nyata yang benar-benar membumi (on the ground solutions), terukur, dan menyelesaikan masalah tanpa menghadirkan gesekan-gesekan sosial yang melelahkan.
Syamsul Hadi
Pengajar Pembangunan Internasional di FISIP UI
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007273248
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar