Puasa menginjeksikan sebuah keinsafan akan kelahiran manusia dari rahim Ramadhan yang bebas dari khilaf dan salah. Di titik ini akal masyarakat Nusantara dengan sangat kreatif menyinergikannya dengan konsep keagamaan yang diacukan pada khazanah kearifan budaya lokal: Lebaran. Lebaran sebagai momen "lubar" (pembebasan/liberasi). Pembebasan dari segenap watak kebinatangan yang disimbolkan selama berpuasa dengan hilangnya keterikatan penuh terhadap ihwal pesona benda, terlepas dari keterpenjaraan hasrat tubuh, dan kemudian hanya menyisakan Tuhan dan nilai-nilai kebaikan sebagai daulat utama.
Maka, di hari raya Idul Fitri, dengan wajah cerah sambil mengulurkan tangan bersalaman, disampaikanlah minal aidin wal faizin. Ekspresi gelombang orang-orang yang kembali dan berbahagia. Kampung halaman pun dikunjungi dalam ritus kolosal mudik Lebaran. Saudara didatangi, bahkan pusara mereka yang telah lama meninggalkan alam fana diziarahi sambil membawa air dan bunga. Mudik yang telah jadi rutin lengkap dengan kemacetannya kian meneguhkan hasrat membangun kohesivitas sosial dengan hikayat masa silam yang coba dirangkai kembali untuk jadi "energi" ketika harus balik lagi ke tempat urban.
Mungkin benar apa yang dibilang Oktavio Paz, "Manusia tidak bisa berkelit dari riwayat silam yang menjadi asal usulnya. Untuk menyusun kelak." Seperti diwadahi dalam kata "arus mudik" dan "arus balik".
Mudik ke "kampung halaman" dan balik ke "kota perantauan". Kampung halaman tempat kita lahir dan kota perantauan medan kita mempertaruhkan nasib. Mudik dan balik hubungannya dalam budaya kita tidak dikotomik, tetapi dialektik. Jadi, perubahan sosial yang dilakukan lewat gerak arkaik "desa mengepung kota" bukan hanya kehilangan akar, melainkan juga tidak mendapatkan tautan kulturalnya. Politik desentralisasi seandainya diterapkan seperti tujuan awalnya, ini menjadi jawaban komprehensif untuk mengerem laju penyerbuan kampung ke kota.
Fitri dan persekutuan inklusif
Fitri di sini tentu tidak hanya memiliki interaksi simbolik dengan pengalaman keagamaan yang bersifat personal, tetapi juga dalam konteks kebangsaan cakupan maknanya harus diperluas sebagai sebuah panggilan iman untuk mengalami kemajemukan. Idul Fitri sebagai ikhtiar kembali hidup dalam keragaman dengan lapang. Dalam semangat "bersalaman". Salam itu bertalian dengan Islam yang secara generik bermakna kepasrahan kepada Yang Kudus sebagai lokus otentisitas keagamaan.
Secara sosiologis, Muhammad SAW mengajarkan, imperatif Islam itu diartikulasikan dalam sikap kesediaan menebarkan damai kasih kepada sesama. "Sebarkan damai di antara kalian." "Mereka yang tidak menyampaikan kasih di bumi tidak akan meraih kasih sayang dari langit."
Sebagaimana padanannya yang lebih inklusif, iman. Iman secara harfiah artinya percaya. Dalam tafsir sosial berhubungan dengan kesungguhan membangun bumi manusia yang dijangkarkan pada rasa aman yang mensyaratkan kesediaan mengemban sikap amanah. Iman sebagai getaran penghayatan intim dengan Zat Yang Maha Memukau. Kemudian, keterpukauan itu dipantulkan dalam wujud persekutuan inklusif, relasi manusia yang tidak dibatasi oleh perbedaan etnik, bahasa, dan pilihan agama formalnya.
Fitri tidak hanya berkelindan dengan kondisi kebatinan palung sukma yang bersih, tetapi juga sejauh mana "kebersihan" itu dapat ditransformasikan dalam tata kelola negara penuh adab, birokrasi yang tertib, tindakan politik yang menjunjung tinggi akal budi, ekonomi yang mendistribusikan kesejahteraan, dan hukum yang tegak lurus dengan rasa keadilan.
Pemimpin baru
Melalui real count 22 Juli 2014, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla ditetapkan secara resmi sebagai pemenang Pemilu Presiden 2014 sehingga lengkap sudah Lebaran kita. Di hari Lebaran kali ini tidak hanya pakaian, sarung, dan kopiah baru, tetapi juga jauh lebih penting dari itu adalah kepemimpinan yang menawarkan harapan baru. Dalam semangat kepemimpinan nasional itu, kita mengharapkan roh Idul Fitri tecermin dalam ruang bernegara, dalam tindakan politik hariannya.
Bukan sekadar "pemimpin", melainkan keduanya benar-benar tampil menjadi kepala negara yang tak disibukkan dengan bersolek diri demi memburu pencitraan, tetapi dipastikan bekerja penuh kesungguhan, bebas dari korupsi, dan upaya memperkaya diri sendiri. Bukan sekadar menyusun kabinet semata demi menyenangkan kawan koalisi, melainkan menempatkan rakyat sebagai subjek utama seluruh kebijakan yang diambilnya.
Kita tidak lagi mendengar cerita negara absen karena tersandera kepentingan partai dan ormas tertentu, tetapi negara selalu hadir mendampingi kepentingan khalayak dalam semangat keragaman. Negara tidak boleh memihak, kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan.
Setelah negara "merantau" selama 32 tahun Orde Baru dan 16 tahun Reformasi dengan rute membingungkan, sudah saatnya negara harus dikembalikan pada khitah "kesuciannya" sehingga mampu mengantarkan warganya menemukan kesejahteraan (Ibnu Taimiyyah), keutamaan (Al-Farabi), kebebasan berkehendak (Nietzsche), kesetiaan memegang teguh etika (Kant), memasuki pengalaman religius Ibrahim (Soren Kierkegaard), terbuka dalam perbedaan (Empu Tantular), sekaligus menciptakan ruang demokrasi deliberatif untuk menciptakan medan musyawarah yang mengedepankan nalar diskursif dalam maqom kesetaraan (Habermas).
Setelah kegaduhan kampanye Pilpres 2014 yang membelah masyarakat dalam dua kelompok berbeda, kebencian, fitnah, dan dusta yang dirayakan sepanjang pesta demokrasi lima tahunan berlangsung, lewat Idul Fitri, saatnya semuanya dipersatukan kembali dalam lembaran semangat kebersamaan. Cita-cita luhur para pendiri bangsa sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 hanya bisa digapai manakala satu sama lain saling bersinergi.
Melalui Idul Fitri, kepemimpinan baru diharapkan mampu menghargai keragaman, bahkan masuk dalam pengalaman kemajemukan. Kemajemukan tidak lagi dijadikan sebagai ancaman, apalagi dibenturkan satu dengan lainnya dan negara hanya menjadi penonton seperti banyak terjadi dalam masa pemerintahan Yudhoyono, tetapi adalah modal sosial untuk menunjukkan bahwa kebesaran negeri ini dibangun lewat uluran banyak tangan.
Justru keterpilihan Jokowi-Jusuf Kalla karena massa punya preferensi bahwa keduanya di samping menjanjikan "revolusi mental" yang menjadi kunci pembenahan sengkarut negeri kepulauan, juga dapat memberikan jaminan hidup berbangsa yang toleran, berdaulat, sekaligus dapat memasuki alam pikiran dan aspirasi segenap masyarakatnya. Dan, akhirnya "Indonesia Hebat" bukan sekadar jargon, tetapi menjadi bagian sejarah pengalaman keseharian. Selamat berlebaran. Mohon maaf lahir dan batin.
Asep Salahudin
Peneliti Lakpesdam PWNU Jawa Barat; Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007997397
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar