Secara musiman, puncak pengeluaran masyarakat biasanya terjadi pada Juli-Agustus sehingga inflasi bulanan cukup tinggi. Rendahnya komponen harga makanan menjadi salah satu penentu rendahnya inflasi pada Juli tahun ini. Ciri khas negara berkembang dengan jumlah penduduk besar seperti Indonesia, harga bahan pangan menjadi penentu inflasi. Kemampuan mengelola pasokan serta menjamin distribusi menjadi kunci penting pengendalian inflasi.
Selama Orde Baru, pemerintah sangat memperhatikan kedua faktor tadi sehingga berhasil mempertahankan rezim inflasi relatif rendah. Setelah reformasi, akibat buruknya koordinasi pemerintah (terutama dengan pemerintah daerah), stabilitas harga pangan menjadi salah satu isu penting. Dalam rangka memitigasi persoalan tersebut, dibentuklah Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) guna meningkatkan koordinasi pemerintah pusat dan daerah.
Selain faktor bahan pangan, harga energi juga menjadi penentu pokok inflasi. Di Indonesia, harga energi merupakan dilema serius akibat besarnya subsidi. Setiap kali terjadi penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM), dalam rangka memitigasi risiko fiskal, inflasi melonjak.
Tahun lalu, setelah kenaikan harga BBM pada bulan Juni, inflasi bulan Juli menjadi sekitar 3 persen dan inflasi tahunan 8 persen. Demikian pula saat terjadi kenaikan harga BBM pada 2008 dan 2005, inflasi tahunan melonjak hingga mencapai 9 dan 13 persen.
Jika pemerintah tahun ini mampu menekan inflasi tahunan pada level 4,5 persen, apakah itu prestasi? Tentu saja dari sisi kemampuan mengelola harga pangan perlu mendapat apresiasi. Namun, harus juga diakui, inflasi rendah tahun ini akan menimbulkan beban fiskal cukup besar sehingga menyisakan "bom waktu" bagi pemerintahan mendatang. Bisa dibayangkan, pemerintah baru nanti harus menaikkan harga BBM sehingga akan menimbulkan implikasi makroekonomi dan politik yang rumit.
Persoalan besarnya subsidi energi yang diperkirakan bisa menembus Rp 400 triliun tahun ini juga memberikan implikasi bagi pola konsumsi, sebagaimana tampak dalam kebijakan penghematan yang mulai berlaku awal Agustus ini. Dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014, sudah ditetapkan konsumsi BBM tahun ini hanya boleh 46 juta kiloliter, lebih rendah daripada usulan pemerintah, sekitar 48 juta kiloliter.
Angka itu ditetapkan berdasarkan konsumsi riil tahun lalu. Namun, harus diingat, tahun lalu terjadi kenaikan harga BBM. Jika tahun ini tak dinaikkan, konsumsi diyakini akan meningkat. Karena sudah dipatok oleh UU APBN-P, tak ada pilihan lain bagi pemerintah untuk menaati. Sebab, jika tidak bisa menaati, pemerintah baru nanti harus menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Itulah mengapa pembatasan konsumsi BBM bersubsidi harus dilakukan agar menekan konsumsi sehingga tidak melanggar undang-undang.
Di tengah berbagai prestasi, pemerintahan Yudhoyono meninggalkan persoalan struktural, khususnya pada subsidi energi dan risiko fiskal. Akibatnya, kebijakan suku bunga juga tak bisa diturunkan hingga akhir tahun ini. Kebijakan moneter ketat tentu memberikan beban bagi ekspansi ekonomi. Apakah tahun 2015 lebih baik?
Ada dua potensi masalah, baik dari sisi domestik maupun eksternal, yang belum memungkinkan pelonggaran moneter dilakukan bahkan hingga tahun depan. Pertama, dari sisi domestik, tahun depan harga BBM akan naik sehingga inflasi diperkirakan tinggi. Kedua, dari sisi eksternal, risiko likuiditas meningkat tahun depan seiring dengan normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat.
Selain terkait risiko fiskal, persoalan struktural yang juga diwariskan kepada pemerintah baru nanti adalah ketergantungan pada likuiditas asing yang muncul dalam tingginya defisit transaksi berjalan. Akibatnya, ketika terjadi aliran modal keluar, perekonomian kita akan mengalami guncangan. Padahal, potensi terjadinya aliran keluar cukup besar terkait rencana kenaikan suku bunga di negara maju tahun depan, terutama di AS.
Kebijakan moneter AS dan beberapa negara maju bersifat ultra-longgar dan tidak bersifat tak normal. Dalam rangka menormalisasi kebijakan moneter mereka, selain mengurangi besaran stimulus (tapering off), juga akan mulai menaikkan suku bunga (The Fed funds rate). Jika itu dilakukan, investor global akan meracik kembali portofolio investasinya dengan cara mengurangi investasi mereka di negara berkembang yang dianggap punya potensi masalah fundamental.
Tahun lalu, Morgan Stanley memasukkan Indonesia dalam kelompok The Fragile Five bersama Brasil, Rusia, Turki, dan India, yaitu kelompok negara yang memiliki masalah fundamental serius. Tahun depan, jika suku bunga AS mulai naik, potensi gejolak pada pasar domestik masih sangat besar mengingat persoalan struktural masih relatif sama. Selain subsidi BBM yang berpotensi menimbulkan risiko fiskal, posisi neraca transaksi berjalan kita juga masih mencatat defisit cukup besar.
Pada Mei lalu, Gary Shilling, pengamat pasar keuangan dunia, menulis di Forbes dan Bloomberg tentang strategi investasi global dengan istilah memisahkan domba dari kambing. Sayangnya, Indonesia dimasukkan ke kelompok kambing yang dianjurkan untuk dihindari akibat buruknya berbagai persoalan struktural.
Tahun depan, kita menghadapi dua potensi risiko sekaligus, baik dari sisi domestik (inflasi) maupun eksternal (kenaikan suku bunga). Untuk itu, BI Rate atau suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) bukannya turun, melainkan justru berpotensi naik sekitar 50 basis poin hingga 1 persen tahun depan. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi belum bisa didorong di bawah kepemimpinan presiden baru nanti.
Lima tahun ke depan, fokus pemerintahan memang pada penyelesaian sejumlah persoalan struktural. Karena itu, tak bisa berharap banyak periode pertama akan menunjukkan kinerja maksimal. Tahap lima tahun kedua diharapkan baru mulai terlihat hasilnya.
A Prasetyantoko
Dosen di Unika Atma Jaya, Jakarta
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008156907
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar