Antusiasme itu menandai tengah berkecambahnya kesadaran politik publik, baik sebagai alat (tool) maupun tujuan (objective). Sebagai alat, kesadaran politik memotivasi ragam analisis kritis pada kehidupan politik yang kian dinamis. Sebagai tujuan, ia membasisi partisipasi politik publik agar mengekstrakan kepentingan politik dengan lebih terukur dan bertanggung jawab.
Tulisan ini melihat antusiasme tersebut sebagai episode awal efek demokrasi kita. Reafirmasi berlangsung sepanjang hajatan pilpres itu, tempat di mana publik menemukan sepasang lensa untuk melihat, menemukan perangkat pengetahuan dan kepekaan sejarah dalam menghadirkan gagasan sekaligus responsibilitas dan solidaritas untuk berbuat.
Kemenangan sesungguhnya tidak pada hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) saja, akan tetapi pada kesanggupan menciptakan "ruang politik baru", sebuah panggung tempat efek demokrasi berlangsung.
Megafon demokrasi
Situasi dialektis dari nomor punggung kedua pasangan capres-cawapres itu adalah satu ketegangan kreatif. Kadar reaktivitas memang masih cukup dominan. Hal itu tentu terkait dengan kesadaran politik mayoritas belum menukik, tetapi sesuatu yang masih sebatas menjalar di permukaan kondisi material. Namun, sebagai titik balik, ia membawa pesan ke semua organisasi politik kita untuk tidak lagi sekadar alat meraih kekuasaan dan kendaraan kelompok kepentingan memiliki "deposit" di kekuasaan politik.
Hal menarik seputar pilpres kali ini ialah munculnya kelompok penekan yang datang dari bawah. Kehadiran kelompok penekan ini mengacaukan ekuilibrium politik yang selama ini dikuasai konsensus konservatif. Pencapresan Joko Widodo alias Jokowi tidak terlepas dari campur tangan kelompok ini, yang otomatis mengacaukan Kesepakatan Batu Tulis antara elite PDI Perjuangan dan Gerindra. Konsensus konservatif menjadi batal dengan kedua partai dihadapkan pada situasi dialektis yang masing-masing tidak dalam kondisi yang siap.
Hal yang tidak kalah menarik ialah kemunculan ruang-ruang kurpol atau kursus politik di dunia maya. Internet diolah jadi ruang "folklor" politik. Opini berseliweran dan argumentasi politik beradu tangkis-menangkis dengan sengit. Peristiwa saling bully berlangsung, baik lewat update status maupun perang posting. Situs jejaring sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Youtube, menjadi gelanggang apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai war of position, pertarungan untuk memenangkan hegemoni.
Ketegangan kreatif merupakan koridor mendekati, mewarnai, dan merengkuh kekuasaan politik. Perang dukungan yang masif di dunia maya justru telah melokalisir potensi konflik terbuka. Bahkan, ia telah mengubah materi kampanye politik yang biasanya klise menjadi sangat kreatif. Situasi ini barangkali mendekati pengertian democracy's megaphones yang disebut Jim Shultz.
Kreativitas berdemokrasi itu sayangnya dicederai oleh kemunculan selebaran Obor Rakyat dan berbagai media yang mengeksploitasi unsur suku, agama, ras, dan antargolongan alias SARA. Frekuensi kampanye hitam yang intens disebarkan oleh Obor Rakyat dan permainan push polls menggiring publik dalam ketegangan destruktif. Dengan sangat sistematis dan bekal pengetahuan diferensiasi pemilih, Obor Rakyat membawa kualitas kesadaran politik publik jatuh pada kesadaran naif dan fanatik.
Latar dan transformasi
Gelombang relawan di kubu Jokowi-JK menciptakan tradisi baru perpolitikan di Tanah Air. Keberadaan para relawan ini tidak bisa dipisahkan dari kehadiran kelompok penekan dari bawah yang disebut di atas. Mereka membangun tradisi voluntaristik dengan kesadaran kritis sebagai basis kesadaran politis, yang diaplikasikan menjadi partisipasi politik. Sulit disangkal bahwa barisan relawan inilah latar utama kemenangan Jokowi-JK.
Sepanjang proses pilpres, beragam modalitas sosial, seperti komunitas penyuka perkutut, komunitas sepeda onthel, komunitas layang-layang, sampai ke guyub-guyub profesi, berubah jadi modalitas politik, menjadi mesin pemenangan Jokowi-JK.
Mereka lahir spontan, mendeklarasikan dukungan secara terbuka, bekerja tersebar, dan bersifat desentralis saat memasuki geografi pemilih. Kolektivitas dalam bentuk power to dan power with telah melahirkan semacam ledakan kegembiraan dan kreativitas serta militansi yang mencengangkan.
Tradisi voluntaristik itu tidak lain upaya derivatif melahirkan demokrasi yang terikat kuat pada citizenship, kewarganegaraan. Demokrasi sebagai "kata dasar" dan citizenship sebagai "afiks". Jaringan relawan di kubu Jokowi-JK adalah perwujudan awal dari semangat kewarganegaraan itu. Mereka tumbuh kolektif yang bergerak bersama dalam sifat yang politis. Mereka dikatakan politis karena peran "users" (pengguna hak politik) dan "chooser" (pemilih atau voters) di luar kaidah kontrol yang selama ini dimonopoli perspektif elite.
Keparipurnaan citizenship ialah ketika kesadaran politik dan partisipasi politik selaku "users" dan "chooser" ditransformasikan menjadi "makers" dan "shaper", yakni partisipasi publik untuk menghasilkan dan membuat perbedaan. Partisipasi publik harus melampaui sekadar partisipasi material atau fungsional kesesaatan, terlebih lagi token participation. Partisipasi harus jadi kepekatan warna demokrasi kita, demokrasi yang terbebaskan, sepenuhnya dalam gairah publik. "Keeping citizens apart has become the first maxim of modern politics", ujar Rousseau.
AGUS HERNAWAN
Bergiat di Populis Institute; Pernah "Nyantri" di SIT, Vermont, AS
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008101861
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar