Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 15 Agustus 2014

Indonesia Tanah Airku (Daoed JOESOEF)

TULISAN ini, pada saat kita memperingati proklamasi kemerdekaan, adalah avant tout suatu ekspresi dari keraguan. Bukan keraguan yang melemahkan, melainkan suatu keraguan yang menggalakkan semangat yang kritis untuk bertanya. Yang dipertanyakan bukanlah diri pribadi kita, melainkan apa-apa yang selama ini telah kita perbuat dengan Tanah Air.
Apakah perbuatan kolektif kita itu, yang pasti telah menggunakan tenaga dan menguras energi, punya makna? Apakah jerih payah kita itu memang memantapkan eksistensi Tanah Air dan melayani warga kita? Atau, apakah selama ini kita bukan sekadar berpuas diri dengan melakukan tindakan hanya untuk bertindak, sekadar menggelinding mengikuti alur yang menggiring kita ke tekad untuk bergerak, asal berkeringat saja, berlari maraton terus-menerus hingga berakhir di sebuah jurang nan dalam?

Sebutan mengenai "tanah tumpah darah" tidak sama di kalangan makhluk manusia yang menempati Planet Bumi. Ada yang menyebutnya "patrie" (Perancis), ""Heimat" (Jerman), "Moedeerland" (Belanda), dan"Fatherland" (bangsa Anglosakson pada umumnya).

Rakyat Indonesia menyebutnya "Tanah Air" dan diresmikan oleh Soempah Pemoeda (Oktober 1928). Kita tidak tahu persis siapa yang telah menempa sebutan ini, sebuah bahan akademis yang menantang pembuatan disertasi doktoral. Siapa pun dia, orang ini sungguh genial. Sebutan tersebut persis menggambarkan topografi alami bagian bumi yang kita diami selaku satu negara-bangsa. Ia adalah suatu arsipelago, terdiri atas daratan—pulau-pulau besar dan kecil sebanyak 17.840 buah—dan berupa lautan seluas 5,9 juta kilometer persegi, atau 75,32 persen dari total area nasional yang diakui dunia internasional.

Sebagai arsipelago, yang terbesar dari jenisnya di dunia, lokasi Indonesia, Tanah Air kita ini, berposisi strategis terhadap pola dari sirkulasi global samudra. Natur yang dinamis dari lautan arsipelago, interaksinya dengan Samudra Pasifik dan Hindia, serta iklim monsoonal untuk sebagian terbesar membentuk keanekaragaman biomaritim wilayahnya.

Indonesia yang berevolusi
Keluasan laut seluruh dunia yang ditaksir 361 juta kilometer persegi kini dijuluki "benua keenam", yang volumenya 18 kali tanah yang ada di permukaan air. Ia diperhitungkan mengandung kekayaan yang jauh lebih besar daripada yang selama ini diketahui manusia. Kekayaan tersebut terdapat baik di dalam air lautan itu sendiri maupun yang terletak di dasar lautan dan yang terkandung di dalam tanah di bawah lautan itu. Dan, lautan nasional kita seluas 5,9 juta kilometer persegi itu merupakan bagian konstitutif dari lautan dunia (benua keenam) itu.

Untuk setiap 1 kilometer persegi air laut, selain oksigen dan hidrogen yang merupakan unsur elementernya yang esensial, terdapat pula 35 juta ton garam, 66.000 ton bromium, 200 ton litium, 50 ton yodium, serta 1 ton titanium, uranium, perak, dan emas. Di dasar lautan terdapat bungkalan-bungkalan berbentuk kentang yang mengandung mangan (30-50 persen), besi (15 persen), nikel (1-3 persen), sejumlah tembaga, kobalt, titanium, dan vanadium. Di dasar Samudra Pasifik sebelah selatan saja sudah diketahui terdapat 200 miliar ton tumpukan gumpalan semacam ini, juga masih ada lagi bahan-bahan fosfor. Adapun bumi di bawah permukaan laut mengandung minyak sebagaimana dibuktikan melalui sistem pengeboran off-shore.

Data geoendowments yang kita miliki ini dan sudah saya paparkan sumber pengungkapannya sejak 1973 telah diabaikan begitu saja selama ini oleh pemerintah dan intelektual Indonesia dalam usaha pembangunan Indonesia. Pembangunan ini selalu dikatakan "demi mengisi kemerdekaan", tetapi melupakan natur khas kemerdekaan Tanah Air sebagai akibat cara kelahirannya yang unik pada tahun 1945. Padahal, natur khas tersebut justru memerlukan suatu konsep pembangunan yang khas pula, beda dengan resep economic development yang berpembawaan teknokratis dan dianggap universal.

Tanah Air yang kemudian dinamakan "Negara Kesatuan Republik Indonesia" (NKRI) menjadi merdeka melalui suatu revolusi. Kita bangga dengan revolusi ini karena ia telah merebut kembali kemerdekaan nasional dari tangan penjajah Belanda. Rakyat Perancis juga membanggakan revolusi mereka. Sewaktu berevolusi itu, Perancis sudah merupakan satu negara dan bangsa yang merdeka. Tujuan revolusi adalah mengganti sistem pemerintahan dari monarki ke demokrasi.

Rakyat Amerika Serikat juga bangga dengan revolusinya. Yang mencetuskan revolusi ini bukan penduduk asli buminya, melainkan generasi kedua para pendatang dari Inggris dan lain-lain negeri di Benua Eropa. Mereka memberanikan diri melawan ombak Samudra Atlantik, mencari kebahagiaan di ranah baru, yang tak mungkin diperoleh di negara-negara Eropa, yang mereka sebut "the old continent". Konsekuensi dari tekad ini: mereka tidak akan meninggalkan "benua baru harapannya" (AS), tetap tinggal di situ kalau kecewa, lalu bekerja lebih keras lagi untuk mewujudkan "their American dreams".

Sebelum Indonesia berevolusi untuk merdeka, di Tanah Air itu sudah ada aneka ragam suku. Mereka bukan kumpulan manusia liar, sudah relatif beradab, bermartabat, terbukti dari hukum adat yang mereka susun sendiri demi ketenteraman hidup bersama.

Revolusi kemerdekaan Indonesia tidak didahului oleh eksodus suku-suku karena merasa bisa bahagia dengan cara hidup tradisionalnya. Mereka tidak menentang dijadikan satu suku yang lebih besar melalui kemerdekaan. Dengan begitu, mereka menjadi "sesepuh" dari kelompok kebangsaan. Berarti Indonesia mengenal tak hanya satu sejarah, tetapi beberapa sejarah.

Ubah ke pendekatan budaya
Akibat dari kenyataan ini adalah bahwa kalau pembangunan yang berpretensi mengisi kemerdekaan nasional tidak membahagiakan warga individual, mereka kembali menyatu dengan suku masing-masing. Kalau ketidakpuasan sudah meliputi suku sebagai keseluruhan, suku yang kecewa ini cenderung memisah diri dari NKRI. Kecenderungan ini sudah terwujud, lalu ditumpas secara militer, bukan mengubah cara pembangunan yang telah mengecewakan itu. Maka, terjadilah "perang saudara", a wrong war, against a wrong enemy, at the wrong place, triggered by the wrong reasons. Pusat memang selalu menang, tetapi menyebabkan luka kedaerahan, dendam kesukuan, yang dibisikkan dari ayah ke anak, dari anak ke cucu.

Yang telah mengecewakan itu adalah kebijakan pembangunan nasional yang direduksi menjadi pengambunan ekonomi dalam term pendapatan (GNP, GDP, average income per capita). Ia bertujuan menaikkan plus-value of things, bukan nilai-lebih dari manusia. Berhubung pembangunan adalah pembangunan ekonomi, maka dianggap wajar kalau ia dipandu oleh disiplin ekonomika pure and simple, yang peka terhadap tingkah laku pasar dan mengabaikan tingkah laku manusia serta ruang sosial di mana manusia bermukim.

Kita harus mengubah konsep pembangunan ekonomi dengan pembangunan nasional dan berpendekatan budaya. Konsep adalah imaji yang dibentuk berdasarkan suatu konstruksi (berpikir) tertentu. Imaji ini diilhami oleh apa yang dahulu sering dikemukakan Bung Hatta pada masa revolusi fisik, yaitu (dengan kemerdekaan) "kita ingin membangun satu dunia di mana setiap orang seharusnya bahagia".

Ukuran kebahagiaan ini, menurut hemat saya, adalah sekaligus bisa "to have more" dan "to be more" melalui pelaksanaan pembangunan yang dikonstruksikan untuk mengisi kemerdekaan suatu negara-bangsa maritim. To be more berarti ngewongke wong, menghargai martabat warga dan sukunya. Maka, pembangunan nasional ini tidak dinyatakan dalam term pendapatan (to have more), tetapi dalam term ruang sosial, bagian bumi di mana manusia bermukim.

Pendekatan budaya yang dipilih karena bila kita berbicara mengenai kebudayaan, yang adalah sistem nilai yang dihayati, kita membicarakan manusia. Ia adalah target pertama dan terutama dari pembangunan nasional. Yang universal bukanlah natur human kita, melainkan kemampuan kita menciptakan realitas budaya dan lalu berperilaku dalam term tersebut.

Konsep pembangunan khas Indonesia ini jelas punya konsekuensi dalam pembelajaran pembangunan. Selama ini pelajaran tersebut dikuliahkan sebagai teori pembangunan ekonomi tanpa penjelasan akurat asumsi yang melandasi penalarannya. Kini seharusnya diajarkan secara bersamaan konsep mengenai pembangunan yang khas dipolakan untuk diterapkan di Indonesia, bukan di India, di Tiongkok, atau di developing country mana pun. Kuliah ini bisa diberikan oleh dosen teori pembangunan ekonomi atau dosen lain yang sederajat.

Ada sesuatu yang essentially antagonistik antara kebiasaan yang mencari panduan teoretis dan yang mencari pegangan bagi keberhasilan pelaksanaan sesuatu usaha. Teori, in fact, merupakan masalah edukasi dan deliberasi, bukan masalah eksekusi. Sementara mahasiswa disiapkan untuk menjadi eksekutor andalan bagi keberhasilan pembangunan tanah-air.

Namun, kalau dalam kuliah "the economics of development" bacaan tambahan yang dianjurkan adalah "mathematics", bagi kuliah "pembangunan nasional dalam term ruang sosial yang berpendekatan budaya", bacaan tambahan tersebut berupa novel, cerpen, risalah, monografi, yang mengemukakan kemiskinan, kekurangan, penderitaan dan kesengsaraan manusia, rakyat yang katanya pemilik republik ini.

Daoed Joesoef
Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne, Perancis

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008217504
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger