Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 15 Agustus 2014

Menafsir dan Melembagakan Oposisi (Suhardi Suryadi)

TERLEPAS dari pelbagai soal negatif, seperti kampanye hitam dan sinyalemen politik uang, Pemilihan Umum Presiden 2014 pada dasarnya paling menarik dan dinamis dibandingkan dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden periode-periode sebelumnya.
Hal ini karena kedua calon presiden-wakil presiden memiliki pandangan, gaya, dan cara berkompetisi yang berbeda secara diametral dalam upaya menarik dukungan pemilih.

Walaupun masih harus menunggu hasil sidang atas gugatan pasangan nomor urut 1 di Mahkamah Konstitusi, teka-teki siapa bakal calon presiden dan wakil presiden Indonesia periode 2014-2019 terjawab sudah dengan hasil penghitungan sesungguhnya atau real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menetapkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai pemenang dengan perolehan 53,15 persen suara sah nasional.

Pikir ulang
Di sisi lain, pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang semula diramalkan menjadi pemenang, memperoleh 46,85 persen. Tak pelak, kekalahan itu membuat sebagian elite partai politik (parpol) yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih harus memikirkan ulang kemungkinan membawa partainya masuk ke barisan pemerintahan demi memperoleh kursi kabinet atau posisi strategis yang lain.

Keinginan elite parpol yang oportunis ini, meski sesuatu yang wajar, sesungguhnya merupakan cermin dari ketidakdewasaan dalam berpolitik.

Selain kebutuhan atas akses pada sumber daya, kekhawatiran terbesar yang dihadapi suatu partai, jika menempatkan diri sebagai oposisi, akan dianggap sebagai faktor penyebab instabilitas dan kekuatan destruktif dalam sistem politik nasional yang demokratis.

Pandangan demikian jelas keliru mengingat oposisi pada dasarnya adalah bagian tak terpisahkan dari sistem pemerintahan dengan tugas mengontrol penguasa, mendorong kompetisi politik, dan membantu meningkatkan keefektifan kebijakan pengelolaan negara.

Embrio oposisi
Selain posisi yang berbeda dan gaya kepemimpinan politik kedua pasangan capres, keinginan Joko Widodo, khususnya untuk membangun koalisi tanpa syarat (baca: bagi-bagi kursi), pada dasarnya merupakan modal bagi tumbuhnya oposisi yang sejati. Memang, sejak proklamasi kemerdekaan 1945, oposisi nyaris tidak dikenal apalagi dikembangkan dalam sistem politik di Indonesia.

Yang lebih ironis lagi adalah gerakan reformasi politik tahun 1998 tidak menumbuhkan dan melembagakan kekuatan oposisi di parlemen. Kalaupun ada yang disebut oposisi, praktiknya bersifat parsial, temporal, dan tidak institusional.

Praktik oposisi selama ini cenderung merepresentasikan kepentingan kelompok dan transaksional. Padahal, suara kritis partai politik melalui wakilnya di DPR sebenarnya sebagai embrio dari bentuk oposisi.

Persoalannya adalah bagaimana melembagakan suara yang berbeda di DPR tidak bersifat kelompok, tetapi mewakili sikap politik partai atau aspirasi publik yang tidak diserap pemerintah yang berkuasa sehingga sikap kritis DPR tidak lagi dilihat publik sebagai upaya "menjegal" atau ajang "transaksional" belaka terhadap rencana kebijakan pemerintah sebagaimana yang berlangsung dalam kehidupan politik selama ini.

Terhambatnya budaya politik oposisi juga dilatarbelakangi oleh berkembangnya persepsi yang keliru di tengah masyarakat luas akan makna oposisi. Seolah-olah partai yang beroposisi dianggap pembuat onar dan biang keladi dari kekisruhan politik. Padahal, suara kritis dan berbeda di parlemen memang merupakan peran dan tugasnya, yaitu mengusulkan, mengkritik, dan mendorong perubahan kebijakan pemerintah. Dalam kaitan ini, setidaknya ada tiga peran yang harus dilakukan.

Tiga peran
Pertama, menyuarakan kepentingan masyarakat yang "diam" di mana jika partai oposisi mutlak menyampaikan pandangan atas berbagai persoalan penting dari pemilih dan sekaligus membantu dan memastikan bahwa persoalan tersebut diakomodasi dan tidak diabaikan oleh pemerintah.

Hal ini juga berfungsi sebagai ventilasi dari ekspresi suara masyarakat yang tidak tersalurkan. Peran ini sekaligus untuk membangun kepercayaan rakyat bahwa kepentingannya dapat dilindungi.

Kedua, sebagai lembaga alternatif terhadap pemerintah. Mengingat demokrasi terkait dengan pilihan, partai oposisi bisa berperan sebagai pengingat bagi pemilih bahwa ada alternatif lain di samping pemerintah. Misalnya, menyadarkan para pemilih bahwa isu peningkatan kualitas hidup rakyat juga dapat dilakukan oleh oposisi.

Ketiga, sebagai lembaga resmi dan mitra pemerintah dalam pembangunan bangsa.

Ketiga peran tersebut menggambarkan bahwa tujuan partai oposisi adalah mengupas berbagai kebijakan pemerintah secara kritis dan masuk akal. Ibaratnya, oposisi selalu mengambil sisi lain dari sebuah koin yang kurang diperhatikan pemerintah.

Namun, yang paling utama dari keberadaan oposisi adalah melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan yang dilakukan penguasa, seperti penyalahgunaan kekuasaan, hambatan birokrasi, pelanggaran hak-hak asasi manusia, pemborosan dana publik, dan isu publik lainnya.

Oposisi rakyat
Ketiadaan oposisi yang terlembaga dalam kehidupan politik kelak dapat mengancam pelembagaan demokrasi di masa depan. Kurang berfungsinya partai politik di DPR dalam menjalankan peran kontrol sekaligus menawarkan kebijakan alternatif kepada pemerintah akan membuka peluang bagi tumbuh berkembangnya kekuatan rakyat melalui berbagai gerakan ekstra-parlemen yang jauh lebih dahsyat.

Situasi demikian juga akan memunculkan krisis legitimasi terhadap pemerintah dan partai politik. Karena itu, salah satu tugas presiden terpilih adalah turut berkontribusi membangun oposisi di parlemen. Sejarah telah membuktikan bahwa kebebasan dan rasionalitas publik akan mati tanpa pelembagaan suara yang kritis.

Suhardi Suryadi
Direktur Program Prisma Resource Centre

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008217416
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger