Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 15 Agustus 2014

Petani dan PPN (Bayu Krisnamurthi)

PADA 25 Februari 2014, Mahkamah Agung melalui Keputusan Nomor 70 Tahun 2014 memutuskan untuk membatalkan Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2007 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Keputusan tersebut disampaikan kepada pemerintah pada 23 April 2014 dan berlaku mulai 22 Juli 2014 serta berlaku bagi barang lokal atau barang impor.

Dalam putusan itu, penyerahan barang hasil pertanian yang dihasilkan dari usaha pertanian, perkebunan, dan kehutanan oleh pengusaha kena pajak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Barang hasil pertanian yang semula dibebaskan dari pengenaan PPN kembali dikenai PPN.

Barang-barang hasil pertanian tersebut meliputi produk perkebunan, antara lain buah kakao, buah kopi, buah kelapa sawit, biji mete, buah lada, biji pala, buah pala, bunga pala, bunga cengkeh, tangkai/daun cengkeh, getah karet, daun teh, daun tembakau, serta biji tanaman perkebunan dan sejenisnya.

Sementara itu, produk hortikultura antara lain mencakup buah-buahan seperti pisang, jeruk (siam, keprok, pamelo), mangga, salak, nanas, manggis, durian, dan sejenisnya,  sayuran, tanaman hias dan obat, tanaman pangan seperti padi, jagung, polong kacang tanah, umbi, batang, ubi jalar, dan umbi lainnya, serta hasil hutan.

Apa arti keputusan MA itu? Apakah petani harus membayar PPN 10 persen?

Perpres No 31/2007 yang sebagian isinya dibatalkan MA itu menyatakan bahwa produk pertanian segar adalah "bukan Barang Kena Pajak". Dasar pemikirannya adalah karena produk itu adalah produk pertanian segar yang dianggap tidak melalui proses nilai tambah yang berarti meskipun sudah menggunakan pupuk, bibit unggul komersial, peralatan pertanian, dan input lainnya.

Di samping itu, penetapan produk pertanian segar sebagai bukan Barang Kena Pajak juga untuk menjunjung asas keadilan dan pembelaan bagi petani sekaligus meningkatkan daya saing petani.

Perlu dipahami bahwa meskipun MA membatalkan pernyataan produk pertanian segar sebagai bukan Barang Kena Pajak, sebagian besar petani tetap tidak akan terkena kewajiban membayar pajak. Hal ini didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan No 197/2013 yang berlaku mulai 1 Januari 2014 tentang batasan Pengusaha Kena Pajak, yaitu pengusaha yang telah memiliki omzet usaha lebih dari Rp 4,8 miliar per tahun atau sekitar Rp 400 juta per bulan.

Itu berarti petani yang pendapatannya kurang dari Rp 4,8 miliar per tahun (dan hampir seluruh petani berpendapatan kurang dari itu) tetap tidak terkena kewajiban membayar pajak meskipun produk yang dihasilkan sekarang termasuk Barang Kena Pajak.

Bikin masalah
Kondisi produk pertanian yang bukan Barang Kena Pajak selama ini memang menimbulkan masalah penghitungan pajak pada rantai pasokan setelah produk pertanian keluar dari kebun, misalnya pada usaha industri pengolahan atau pada usaha pengemasan atau usaha eceran. Produk usaha lanjutan tersebut jelas akan dikenai PPN.

Sesuai dengan sistem PPN, pajak yang dikenai (pajak keluaran) sebenarnya dapat dikurangi dengan pajak yang sudah dibayarkan pada tahap sebelumnya (pajak masukan). Namun, mengingat produk pertanian bukan Barang Kena Pajak, pajak masukannya tidak dapat diperhitungkan sehingga beban pajak ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha. Dengan Keputusan MA No 70/2014 itu, diharapkan mekanisme pengurangan pajak masukan dari pajak keluaran yang dibayarkan dapat berjalan lebih teratur, yang kemudian diharapkan akan mengurangi biaya di tingkat pengolahan dan pada gilirannya meningkatkan daya saing industri.

Dua masalah
Solusi yang terlihat ideal itu menghadapi dua masalah. Pertama, petani yang memiliki kemampuan administrasi usaha terbatas sangat sulit diharapkan dapat menyerahkan pencatatan penggunaan input (pupuk, bibit, dll) dan tanda bukti pembayaran PPN atas input-input itu.

Terlebih lagi, praktis petani memang tidak termasuk pengusaha kena pajak sehingga terbatas kebutuhannya untuk membuat penghitungan masukan keluaran. Ditambah dengan kenyataan dalam banyak situasi posisi tawar petani lebih lemah dibandingkan dengan industri atau usaha formal lain sehingga mudah dibayangkan bahwa dengan dalih produk pertanian sekarang menjadi Barang Kena Pajak, tetapi petani tidak mampu menyampaikan administrasi pajak masukannya, beban PPN 10 persen akan dikenakan langsung terhadap harga jual petani.

Kedua, ketentuan PPN bagi produk pertanian itu tidak berlaku jika produk segar tersebut langsung diekspor. Akibatnya, penjualan ekspor tidak akan kena pajak 10 persen, sedangkan penjualan dalam negeri akan terkena PPN 10 persen. Hal ini akan menimbulkan masalah tersendiri bagi usaha peningkatan nilai tambah dalam negeri atau bagi industri domestik yang sekarang sedang menghadapi kesulitan pasokan bahan baku pertanian dari dalam negeri seperti industri kakao.

Jadi, penghapusan ketentuan produk pertanian segar sebagai bukan Barang Kena Pajak berpotensi menekan harga beli produk pertanian di tingkat petani tidak akan banyak menambah penerimaan pajak dan berpotensi mendorong ekspor produk mentah serta dapat terkesan kurang membela kepentingan petani. Namun, kembali ke ketentuan lama pun bukan solusi ideal karena juga bikin masalah tidak sederhana. Mungkin sudah waktunya dipikirkan kembali—setidaknya dilihat dari kepentingan petani dan produk-produk pertanian segar—untuk menerapkan pajak penjualan final. Dalam sistem produksi dan distribusi yang kian mengedepankan daya saing rantai pasokan, sistem Pajak Pertambahan Nilai mungkin sudah perlu ditinjau ulang.

Bayu Krisnamurthi
Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia; Dosen IPB; Wakil Menteri Perdagangan

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008167652
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger