Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 12 Agustus 2014

TAJUK RENCANA: Pilpres sebagai Arus Perubahan Turki (Kompas)

SEJARAH Turki yang penuh dinamika kembali menarik perhatian oleh penyelenggaraan pemilihan presiden langsung pertama pada akhir pekan lalu.
Hasil penghitungan suara atas pemilihan presiden hari Minggu lalu memperlihatkan kemenangan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan (60 tahun) dengan perolehan suara lebih dari 50 persen. Selama ini presiden dipilih secara tidak langsung oleh rakyat, tetapi melalui parlemen. Posisi presiden bersifat protokoler dalam sistem parlementer karena pemimpin pemerintahan dipegang PM.

Sungguh menarik pidato kemenangan Erdogan yang menegaskan, "Saya menjadi presiden bukan hanya bagi mereka yang memilih saya. Saya menjadi presiden untuk seluruh 77 juta rakyat Turki." Juga disebut soal kemenangan rakyat dan kemenangan demokrasi. Pernyataan Erdogan menjadi penting karena rakyat Turki praktis terbelah antara kelompok pendukung dan penentangnya. Keterbelahan itu dipengaruhi pula oleh pertarungan antara kelompok sekuler dan keagamaan.

Kemenangan Erdogan dari Partai Keadilan dan Pembangunan (PKP), yang berorientasi keagamaan, menimbulkan kecemasan tentang kemungkinan bahaya otoritarianisme sebagai dampak terlalu lama berkuasa. Hingga terpilih sebagai presiden, Erdogan sudah tiga kali terpilih sebagai PM dalam periode sekitar satu dasawarsa terakhir. Sosok Erdogan dikhawatirkan akan tetap dominan dalam pemerintahan baru yang menggantikannya.

Namun, Erdogan berusaha menepis segala kecurigaan di kalangan penentangnya dengan menegaskan kemenangannya merupakan kemenangan demokrasi. Posisi PM akan dilepaskan Erdogan sebelum dilantik menjadi presiden pada 28 Agustus 2014. Menteri Luar Negeri Ahmet Davutoglu disebut sebagai calon terkuat pengganti Erdogan.

Pemilihan Erdogan sebagai presiden secara langsung sangat menarik jika diletakkan dalam perspektif sejarah bangsa Turki. Negara yang terletak antara Timur dan Barat itu pernah menjadi pusat ke-Kristen-an di Timur, kemudian menjadi pusat ke-Islam-an di bawah Kekaisaran Ottoman sebelum menjadi republik sekuler sejak tahun 1923 di bawah kepemimpinan Mustafa Kemal Ataturk.

Dinamika Turki seperti tidak pernah berhenti. Pergeseran besar terjadi tahun 2003 ketika Erdogan, yang didukung PKP yang berorientasi keagamaan, terpilih menjadi PM di negara sekuler itu. Arus perubahan Turki juga terlihat dalam pemilihan presiden secara langsung. Sungguh menarik setiap gerak perubahan tidak menghancurkan negara-bangsa Turki meski identitasnya terpecah antara Timur dan Barat. Jangan-jangan pula posisinya yang bukan Timur, juga bukan Barat, membuat Turki menjadi dirinya sendiri, kuat dan tahan menghadapi setiap pengaruh luar.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008286580
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger