Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 23 Agustus 2014

TAJUK RENCANA: Rasialisme Masih Hidup di AS (Kompas)

JUDUL ulasan pendek ini, yang tertulis di atas, sebenarnya diberi tanda tanya karena memang merupakan pertanyaan, bukan pernyataan.
Kita memang pantas mempertanyakan hal tersebut di atas—apakah rasialisme masih hidup di Amerika Serikat? Pertanyaan itu menjadi sangat penting diajukan setelah peristiwa penembakan seorang remaja kulit hitam, Michael Brown (18), oleh seorang polisi kulit putih, Darren Wilson, pada 9 Agustus lalu di Ferguson, Missouri. Brown diberitakan tewas dengan enam peluru menembus tubuhnya, antara lain mengenai wajah dan kepala bagian atas.

Terlepas dari penyebab Wilson menembak Brown, peristiwa itu telah mengguncang seluruh negeri AS. Bahkan, Presiden Barack Obama menyebut peristiwa tersebut sebagai tragedi dan mengatakan pula adalah wajar kalau penembakan itu mengobarkan kemarahan warga kulit hitam, tidak hanya di Ferguson, tetapi juga di banyak kota di AS. Obama memerintahkan aparat terkait untuk menyelidiki peristiwa itu secara tuntas.

Penembakan Brown memang telah membawa orang untuk mengajukan pertanyaan di atas. Sebab, selama ini, AS dikenal sebagai negara pendekar demokrasi, negara yang berdiri di garda paling depan dalam menegakkan demokrasi, yang selalu meneriak-neriakkan perlunya persamaan hak asasi manusia dihormati dan dipraktikkan. Apalagi, sejak enam tahun lalu, AS telah memiliki seorang presiden berkulit hitam: Barack Obama, presiden pertama berkulit hitam dalam sejarah AS.

Terpilihnya Obama, presiden ke-44, diyakini banyak pihak sebagai pertanda berakhirnya semangat rasialisme—disengaja atau tidak disengaja—yang hidup di AS. Meskipun banyak tahun sebelumnya sudah dikeluarkan undang-undang penghapusan rasialisme, dalam praktiknya masih juga ditemukan praktik-praktik rasialisme itu.

Memang, kerusuhan yang terjadi di Ferguson setelah tewasnya Brown tidak sebesar kerusuhan rasial setelah penembakan Martin Luther King pada tahun 1968 dan juga tidak sebesar kerusuhan setelah pembebasan seorang polisi kulit putih yang memukuli Rodney King, seorang warga kulit hitam, pada tahun 1992 di Los Angeles. Namun, apa yang terjadi di Ferguson—bentrokan antara warga kulit hitam dan polisi, penjarahan toko-toko, serta kebrutalan polisi—tetap menjadi tes berat bagi Pemerintah AS, terutama bagi Obama, dalam hal hubungan antar-ras.

Apakah Obama akan membiarkan dominasi politik kulit putih di wilayah yang mayoritas penduduknya kulit hitam (dua pertiga penduduk Ferguson, 21.000 jiwa, adalah kulit hitam, tetapi hanya 3 dari 53 polisi berkulit hitam)? Inilah bentuk sederhana dari kebijakan rasialisme itu.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008430555
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger