Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 05 September 2014

Jokowi Melawan Mafia (Erlangga Masdiana)

JOKO Widodo dan Jusuf Kalla akan membentuk  kabinet dengan prioritas memerangi mafia di sektor-sektor penting. Tim Transisi Jokowi-JK telah menyiapkan tiga pendekatan.
Tiga pendekatan itu adalah penegakan hukum, instrumen perpajakan, dan regulasi kementerian teknis terkait. Tim Transisi yakin praktik "pemburu rente" ke depan tidak bisa eksis lagi. Masalahnya apakah pemerintahan Jokowi-JK tidak akan memberikan toleransi kepada kelompok kepentingan yang telah menguasai jaringan mafia kekuatan ekonomi?

Mafia migas
Persoalan mafia yang paling krusial ada di bidang minyak dan gas (migas). Para pelaku punya pengaruh kuat dalam memainkan harga mengingat kita sebagai konsumen juga sekaligus produsen migas melakukan pola ekspor dan impor. Pola ekspor mungkin mudah mendeteksinya. Namun, untuk impor, kita masih mengandalkan berbagai pialang migas yang tidak bisa disentuh oleh negara selama ini. Sebab, mereka sudah bisa mengakses pasar migas secara langsung dari distributor migas yang bercokol di Singapura.

Peranan negara yang selama ini absen dalam impor minyak dan diserahkan kepada mekanisme pasar justru membuat harga bahan bakar minyak (BBM) tinggi. Terbukti dengan berbagai tawaran harga yang disampaikan Pertamina jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mengambil minyak dari pasaran internasional secara langsung meski setelah diperhitungkan biaya pajak. Berarti ada sesuatu yang salah dalam mekanisme pasar yang ada di dalam negeri.

Penegakan hukum memang punya peran penting dalam memberantas mafia, tetapi apakah para aparat yang melakukan penindakan bersih dari "suap" (baca: korupsi)? Menentang arus untuk memerangi mafia minyak sama halnya dengan menegakkan "benang basah". Awalnya semangat untuk memberantas, di tengah jalan akan terkontaminasi oleh limpahan "berkah" sehingga motivasi untuk memberantas berubah menjadi motivasi memperoleh "rente".

Melawan mafia sama halnya dengan menerjang ombak tinggi. Siapa pun yang akan melawannya harus memiliki kekuatan ekstra. Apakah Jokowi bisa melawan mafia? Akan sangat berat. Sebab, Jokowi belum punya pengalaman dalam pemerintahan skala nasional dan masih harus menyesuaikan diri dengan berbagai kekuatan ekonomi, politik, dan keamanan.

Jokowi sudah dipastikan hanya "memuaskan" kegelisahan masyarakat yang tengah dilanda kekurangan pasokan migas di berbagai daerah dan SPBU-SPBU. Karena dalam hitungan pengendalian keamanan, Jokowi bukan menghadapi "singa tanpa taring". Justru Jokowi akan disibukkan oleh berbagai "perlawanan langsung" dengan para pelaku mafia.

Gerakan melawan arus
Saya meyakini akan terjadi "politik akomodatif" dengan kekuatan mafia migas. Sebab, ke depan Jokowi akan menghadapi persoalan politik yang berat menghadapi berbagai kepentingan politik dan ekonomi yang berasal dari kalangan elite politik para pendukung (termasuk relawan) yang ingin "dirawat" oleh Jokowi, para suporter (para pelaku bisnis yang juga banyak bersentuhan dengan kalangan mafia). Kejahatan mafia ibarat (maaf) "kentut" (ada aroma tidak sedap, tetapi tidak mengetahui siapa pelaku sesungguhnya).

Menuntaskan kejahatan mafia berarti akan mematikan diri dan kelompok sendiri. Hal ini mengingat mafia sudah menjadi "mainstreaming" yang menguasai para pengambil kebijakan atau banyak bersentuhan langsung atau tidak langsung dengan para pengambil kebijakan. Sebab, ada beberapa karakteristik kejahatan mafia, antara lain sebagai berikut (Vito & Holmes, 1994):

Pertama, kejahatan ini erat kaitannya dengan bisnis yang bisa menghasilkan kekayaan atau materi yang jumlahnya luar biasa. Namun, kejahatan mafia ini biasanya menggunakan ancaman dan kekerasan agar mampu mengontrol serta meningkatkan semangat dan prestasi kerja anggota. Mereka tidak segan-segan membayar oknum penegak hukum dan menyogok oknum aparat pemerintah. Bahkan, dalam banyak kasus, oknum-oknum  penegak hukum dan aparat pemerintah menjadi anggota kejahatan. Upaya itu dilakukan semata-mata untuk memacu pendapatan atau keuntungan.

Kedua, kejahatan mafia  berusaha memberikan pelayanan dan barang yang biasa dibutuhkan oleh masyarakat, tetapi sulit diperoleh karena sifatnya tidak resmi. Misalnya perdagangan migas, narkotik, judi, dan pelacuran. Kejahatan ini di negara maju muncul sebagai suatu kejahatan yang sangat menakutkan mengingat anggota pelaku kejahatan melibatkan dan berasal dari semua kalangan: mulai dari warga negara biasa, polisi, hakim, jaksa, pejabat pemerintah, hingga politisi.

Ketiga, perusahaan sah dimunculkan untuk menutupi bisnis ilegal mereka  untuk mampu memaksimalkan keuntungan atau mempermudah bisnis ilegal yang ada. Di samping itu, mereka memiliki alibi kegiatan bisnis yang legal. Dengan kata lain, mereka hanya berlindung di balik baju bisnis formal mereka.

Keempat, model kartel bisnis untuk dapat menguasai (monopoli) bisnis ilegal dan kejahatan mafia mereka. Bahkan, mereka melakukan ekspansi bisnis ini menjadi sebuah kartel dalam skala nasional maupun internasional.

Kelima, pola rekrutmen menggunakan multi-etnik atau multi-rasial. Para pemimpin merekrut anggotanya sesuai dengan pengalaman mereka, nilai yang mereka anut, dan kepercayaan (stereotip) terhadap kelompok etnik tertentu.

Kelima, sogokan dan korupsi yang ditujukan kepada birokrat sebagai cara jitu untuk memperlancar kejahatannya. Dengan cara itu mereka akan dengan mudah memperoleh informasi dan perlindungan. Dengan demikian, sendi-sendi demokrasi dan penegakan hukum dapat diintervensi oleh mereka.

Perlu gerakan sistematis
Melawan mafia tak bisa diperangi hanya dengan tiga konsep seperti yang ditawarkan oleh Tim Transisi Jokowi-JK. Akan tetapi, diperlukan sebuah gerakan yang sistematis yang dilakukan oleh negara bersama-sama dengan masyarakat (pelaku bisnis dan konsumen).

Jokowi-JK tidak bisa memeranginya dengan cara-cara konvensional, tetapi harus dengan cara extraordinary (di luar kebiasaan). Harus ada tim khusus pengendali yang bekerja untuk menganalisis dan mengevaluasi kejahatan mafia, mulai dari cara memperoleh sumber barang sampai pada pola distribusinya kepada konsumen.

Pola kerja tim khusus ini pun hanya melakukan penataan kembali, bukan melakukan perlawanan terhadap kelompok mafia. Sebab, kunci dari terjadi dan maraknya kejahatan mafia adalah karena lemahnya sistem bisnis yang diterapkan selama ini. Namun, ada hal paling penting dalam pencegahan dan penanggulangan kejahatan mafia, yakni diperlukan sumber daya manusia yang bersih dan memiliki integritas tinggi dalam pola kerjanya.

Erlangga Masdiana
Kriminolog, Mantan Ketua Program Pasca Sarjana Kriminologi FISIP UI

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008678772
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger