Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 10 September 2014

Pilkada Langsung Bukan Jalan Sesat (Turunan Gulo)

SETELAH sempat padam selama dua tahun lebih, belakangan gugatan terhadap sistem pemilihan langsung kepala daerah semakin menggelinding keras.
Proposal pemerintah yang awalnya kurang gereget kini kian bertenaga setelah mendapat suntikan dari parpol yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih. Sebelumnya beberapa tokoh juga bersuara nyaring untuk mengubah sistem pemilihan langsung. 

Ada beberapa argumentasi yang  dikemukakan untuk merontokkan pilkada sebagai sebuah sistem pemilu. Yang utama, pilkada berbiaya relatif besar, baik yang ditanggung oleh kandidat maupun pemerintah daerah. Kedua, maraknya permainan politik uang, yang ditengarai sebagai  pemicu banyaknya kepala daerah yang menjadi pesakitan hukum.   Ketiga, terciptanya disharmoni sosial dan birokrasi, yang ditandai dengan keterbelahan warga dan aparat birokrasi karena mendukung kandidat tertentu.

Catatan kelam
Namun, pertanyaan kritisnya adalah sesederhana itukah jalan keluarnya? Mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD menjadikan kita seolah- olah ahistoris. Bukankah kita punya sejumlah catatan kelam selama kepala daerah dipilih oleh DPRD, yang mendorong berbagai pihak berteriak lantang, dengan kemarahan yang sudah sampai di ubun-ubun, ketika itu?

Pertama, kerap tersiarnya kabar buruk di banyak daerah tentang maraknya permainan politik uang, baik dalam proses pemilihan itu sendiri maupun dalam proses pembahasan laporan pertanggungjawaban (LPJ) kepala daerah setiap akhir tahun.  Agar terpilih, kandidat dipaksa berlomba menyuap anggota Dewan. 

Suap politik ini tak jarang berujung tragis karena meski kandidat sudah memberikan segepok uang, dukungan suara tidak juga didapat lantaran sang wakil rakyat memasang kaki ke lebih dari sepasang kandidat. Pembahasan LPJ setiap akhir tahun adalah momok menakutkan bagi kepala daerah. Sebab, apabila ditolak, bisa berujung pada pemakzulan oleh DPRD. Maka, suap politik adalah satu-satunya jurus yang ampuh. Moralitas anggota legislatif pun berada di titik nadir. 

Kedua, konsekuensi logis dari sistem pemilihan oleh DPRD adalah kepala daerah menjadi lebih bertanggung jawab kepada DPRD, tidak kepada rakyat. Tampak jelas posisi DPRD jauh lebih perkasa daripada kepala daerah. Dari perspektif demokrasi, situasi ini tidak menciptakan mekanisme checks and balances antara kepala daerah dan DPRD. Pemerintahan pun tidak berjalan efektif karena kerap diusik Dewan yang merasa lebih superior.

Ketiga, paralel dengan itu, dinamika politik di daerah cenderung tidak stabil karena maraknya gerakan politik DPRD untuk menjatuhkan kepala daerah yang sedang memerintah. Setiap saat kepala daerah merasa terancam. Bandingkan sekarang ini, di mana posisi kepala daerah dan DPRD sama-sama kuat, tak bisa saling menjatuhkan, meski lembaga legislatif tidak kehilangan fungsi pengawasannya. Kedua lembaga ini sama-sama bertanggung jawab kepada rakyat pemilihnya. Stabilitas politik lokal relatif lebih terjaga.

Keempat, mengentalnya praktik oligarki parpol, di mana intervensi pimpinan pusat parpol begitu kuat dalam menentukan calon kepala daerah. Tak jarang terjadi benturan keras di tingkat internal pengurus parpol bahkan massa parpol di level daerah. 

Kelima, ruang partisipasi politik masyarakat menjadi sangat minim, baik dalam proses pemilihan maupun setelah pelantikan. Posisi masyarakat tidak lebih sebatas penonton atau penggembira. Bandingkan sekarang ini, di mana dengan pilkada, kedaulatan rakyat makin menampakkan sosoknya. Kandidat boleh memborong semua partai, tetapi tak ada jaminan dipilih.

Agenda krusial
Pilkada memang mengandung banyak masalah. Namun, mengembalikan sistem pemilihan kepada DPRD justru kemunduran dan tidak menyelesaikan masalah. Pilkada diniscayakan sebagai sistem yang lebih demokratis dan banyak keunggulan, yang mampu menjawab sebagian besar kelemahan dari sistem pemilihan oleh DPRD. Namun, kita juga tak sekadar mempertahankan sistem pemilihan langsung itu. Kita harus bekerja keras untuk meminimalisasi masalah yang kerap muncul.

Biaya tinggi pilkada bisa ditekan dengan mengatur  kalender penyelenggaraan pemilu agar lebih serempak. Permainan politik uang bisa ditekan dengan tiga pendekatan. Pertama, program pendidikan politik yang mesti dilakukan secara masif, intens, dan berkelanjutan untuk menciptakan perilaku memilih yang cerdas dan rasional.  Kedua, penegakan hukum yang lebih efektif.  Mesti disadari, maraknya politik uang karena lemahnya penegakan hukum. Selama ini, sangat jarang kandidat atau pemilih diproses secara hukum karena terlibat politik uang. Ketiga, untuk agenda jangka panjang, perlu perbaikan taraf kehidupan ekonomi warga. Kecenderungannya, permainan politik uang  tumbuh subur pada pemilih yang berpendapatan rendah.

Sekali lagi, pilkada bukan jalan yang salah. Pilkada juga tidak gagal. Namun, kita mesti jujur bahwa pilkada mengidap penyakit yang serius. Tugas kita menyembuhkannya dengan komitmen dan kerja keras.  

Turunan Gulo
Komisioner KPU Provinsi Sumut 2003-2013; Peneliti di Politica Institute

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008781536
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger