Rupiah pun terempas ke level Rp 12.048 per dollar AS dari sebelumnya Rp 11.979 per dollar AS. Hal yang paralel juga terjadi di pasar modal. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah ke level 5.132 dari sebelumnya 5.201. Meski harus diakui, tanpa tambahan sentimen negatif dari ranah politik pun, rupiah sudah terkena sandwich, yakni ditekan dari sisi eksternal dan internal.
Dari sisi eksternal, membaiknya perekonomian AS menyebabkan aliran dana global tersedot balik ke New York (sudden reversal). Bursa di Wall Street menyedot modal dari seluruh dunia untuk membeli aset surat berharga berdenominasi dollar AS. Akibatnya, pekan lalu indeks Dow Jones menguat ke 17.210, atau level yang lebih kuat daripada saat krisis tahun 2008.
Indeks Wall Street runtuh dari level 17.000-an ke 9.000-an sesudah Lehman Brothers bangkrut pada September 2008. Perlu enam tahun bagi perekonomian AS untuk mengembalikan indeks ke level semula. Membaiknya perekonomian AS juga dideteksi dari penjualan mobil yang kini 17,5 juta unit setahun, mendekati level normal sebelum krisis 2008, yakni 18 juta unit. Saat krisis, penjualan mobil hanya 9 juta unit.
Meski demikian, pada akhir pekan lalu, indeks Dow Jones terkoreksi 1,5 persen dari 17.210 ke 16.945. Penyebabnya, pertama, karena indeks harga sudah mencapai titik yang tinggi sehingga sudah saatnya investor merealisasikan keuntungannya (profit taking). Kedua, meski secara umum gambaran perekonomian AS membaik, data terbaru (Juli 2014) tentang absorpsi tenaga kerja jauh di bawah ekspektasi (hanya 130.000 orang, di bawah ekspektasi minimal 200.000 orang). Timbul reinterpretasi bahwa perekonomian AS belum pulih.
Terkoreksinya indeks Dow Jones diikuti bursa Nikkei di Tokyo yang merosot, tetapi indeks Straits Times Singapura malah menguat. Adapun IHSG Jakarta, pada Jumat pagi sebelum bursa dibuka (Jumat pagi di New York atau Jumat malam di Jakarta), lebih dulu melemah 1,3 persen ke 5.132. Investor lebih banyak menjual sehingga berbeda (net sell) Rp 1,42 triliun.
Dari sisi internal, tidak terjadi perubahan dalam fundamen ekonomi kita. Tidak ada data ekonomi yang bisa mengubah persepsi, yang bisa mengayunkan kurs rupiah dan IHSG terperosok signifikan. Memang ada revisi APBN 2015 yang disepakati pemerintah dan DPR, tetapi dengan angka baru yang tidak terlalu signifikan berubah, sulit menuduh data itu menjadi penyebab rupiah dan IHSG merosot.
Inflasi tahun depan, misalnya, ditargetkan 4,4 persen. Interpretasinya adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tidak dilakukan tahun 2015. Karena jika harga BBM naik tahun 2015, inflasinya bakal lebih tinggi, minimal 6 atau 7 persen. Dengan demikian, sangat terbuka kemungkinan kenaikan harga BBM dilakukan tahun ini, misalnya pada November 2014. Jika ini benar, sebenarnya bakal timbul sentimen positif bahwa salah satu persoalan terbesar fiskal kita bisa segera diatasi. Besarnya beban subsidi BBM tahun depan Rp 291 triliun bakal dapat dikurangi.
Kenyataannya kini rupiah dan IHSG masih minim sentimen. Lalu, apa yang harus dilakukan? Sesungguhnya, perekonomian Indonesia perlu bantuan sentimen dari ranah politik. Pengalaman India, saat pemilu pada Mei 2014 sukses dan pemerintahan baru Perdana Menteri Narendra Modi terbentuk, modal asing pun masuk. Mata uang rupee menguat dari 64 rupee menjadi 60 rupee per dollar AS. Sepanjang politik dijaga stabilitasnya, tidak "berisik", rupee pun menguat dan stabil.
Ke depan, kita perlu menagih janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, selaku Ketua Umum Partai Demokrat, untuk melakukan beragam inisiatif mengembalikan kekuasaan rakyat secara langsung dalam memilih pemimpinnya pada level provinsi, kabupaten, dan kota. Partai Demokrat blunder saat walk out di DPR. Oleh karena itu, sebagai kompensasinya, penting untuk mengembalikan supremasi rakyat dalam menata demokrasi. Sebuah sentimen positif di pasar uang dan pasar modal.
Dalam perekonomian yang kian dinamis, sulit sekali untuk mengisolasi variabel ekonomi dari gejolak politik. Mengapa? Karena ilmu ekonomi (economics) pada hakikatnya adalah ilmu yang berbasis pada perilaku (behaviors) manusia. Sebagai contoh, ketika The Fed menurunkan suku bunga dari 6,5 persen ke 0,25 persen tidak serta-merta disambut kenaikan konsumsi rumah tangga dan investasi. Kenapa? Karena, pada saat itu, tingkat kepercayaan (confidence level) sedang rendah. Perekonomian AS tidak cukup digerakkan oleh variabel kuantitatif suku bunga, tetapi juga perlu bantuan variabel kualitatif berupa sentimen pasar. Hal ini pula yang amat diperlukan perekonomian kita.
Kita berharap politisi, parlemen, dan unsur masyarakat lain menyadari betapa penting menjaga ketenteraman politik. Sejumlah variabel ekonomi fundamental tidaklah cukup untuk menegakkan rupiah. Jika rupiah terus tertekan di atas Rp 12.000 per dollar AS, akan berakibat buruk. Bank Indonesia terpaksa harus melakukan dua hal: (1) menaikkan BI Rate agar tidak ada pelarian modal dan (2) melakukan intervensi yang akan mengurangi cadangan devisa yang saat ini cukup terjaga pada 111 miliar dollar AS.
Rupiah juga memerlukan sentimen positif dari sisi fiskal. Kondisi APBN yang dirongrong oleh subsidi BBM harus segera disehatkan. Presiden Yudhoyono hendaknya membantu pemerintahan baru dalam melobi parlemen agar bisa menyehatkan fiskal melalui kenaikan harga BBM pada November 2014. Hanya cara itulah "utang" berupa blunder politik yang lalu dapat dibayarkan.
A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009166421
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar