Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 23 Oktober 2014

Industri Pangan Hadapi MEA 2015 (Adhi S Lukman)

PEMERINTAHAN baru membawa euforia perubahan.
Salah satu perubahan yang diharapkan direalisasikan adalah penguatan industri pangan dalam menunjang kedaulatan pangan dan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.  

Harus disadari bahwa sparring partner kita saat ini adalah pasar global yang terintegrasi, bukan pertikaian/persaingan di dalam negeri. Perlu menyatukan semua pemangku kepentingan agar bersama bisa memenangi pasar.

Momentum sangat membangkitkan  harapan  kita semua, dalam silaturahim DPR bersama Kadin Indonesia/Asosiasi Dunia Usaha pada 16 Oktober 2014, Ketua DPR mengajak semua pihak untuk bekerja sama dan fokus pada pembangunan ekonomi menghadapi pasar global.

Harmonisasi industri
ASEAN merupakan pasar yang cukup besar. Kawasan ini menyumbang 8,7 persen populasi dunia dan 3,1 persen produk domestik bruto (PDB) dunia. Indonesia dengan penduduk sekitar 250 juta menjadi pasar terbesar ASEAN, yakni sekitar 45 persen. Bersamaan dengan MEA, kita menghadapi Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP) yang terdiri atas ASEAN+6 (Tiongkok, India, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru).

RCEP merupakan pasar regional terbesar, menyumbang 47,2 persen populasi dunia dan 28,8 persen PDB dunia. Inilah yang akan kita hadapi setahun lagi, bisa menjadi peluang atau bahkan sebaliknya tantangan.

Salah satu target MEA 2015 di bidang ekonomi adalah pasar tunggal dan basis produksi , menjadikan ekonomi  kompetitif di regional, kesetaraan pembangunan ekonomi, serta integrasi menuju ekonomi global. Namun, tantangan sangat besar karena ada gap besar terbentang, baik di  internal masing-masing maupun antarnegara ASEAN.

Di sektor industri pangan masih ada gap  regulasi, standar keamanan pangan, registrasi produk, standar label dan nutrisi, sertifikasi ekspor-impor, dan lain-lain. Demikian pula definisi ukuran usaha,  masih banyak perbedaan, terutama usaha kecil menengah (UKM).

Di Indonesia definisi UKM juga masih ada perbedaan. UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM berbeda dengan PP Nomor 46 Tahun 2013 tentang  Pajak Penghasilan. Padahal, hampir di semua negara ASEAN, jumlah  UKM rata-rata di atas 97 persen meskipun kontribusi output-nya kecil. Misalnya, di Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (2013), industri pangan menengah-besar sebanyak 6.200 dan industri pangan kecil-mikro sebanyak 1.054.398, belum termasuk yang tidak terdaftar.

Langkah harmonisasi sedang dilakukan di tingkat SOM/SEOM, untuk pangan di bawah ASEAN Consultative Committee on Standards and Quality/Prepared Foodstuff Product Working Group (ACCSQ/PFPWG).

Perkembangan saat ini telah diidentifikasi antara lain: prinsip umum pengawasan pangan; penunjukan laboratorium rujukan ASEAN; pedoman tentang: audit dan sertifikasi Sanitasi Pangan/HACCP, harmonisasi Sistem Inspeksi Ekspor Impor Pangan, Persyaratan Sanitasi Pangan. Masih dalam proses seperti Penilaian Risiko Keamanan Pangan dan Skema Fasilitas Perdagangan (termasuk ASEAN Single Windows).

Juga telah disepakati pelaksanaan standar keamanan pangan untuk kategori produk di bawah Harmonized System 16-21, termasuk  persyaratan bahan tambahan pangan dan kontaminasi logam berat. Dan sedang berlangsung pembahasan persyaratan kemasan pangan dan penyesuaian Codex Standard. Tantangan terbesar bagi Indonesia, khususnya UKM, adalah menyiapkan diri menghadapi implementasi standar itu.

Kolaborasi tiga pihak
Perlu langkah strategis kolaborasi pemangku kepentingan agar integrasi pasar bisa dicapai. Kolaborasi seperti kemitraan pemerintah dan swasta (public private partnership) perlu didorong untuk membantu percepatan. Di ASEAN, terbentuk ASEAN Food and Beverage Alliance (AFBA) tahun 2013, aliansi asosiasi industri pangan  yang berkolaborasi dengan ACCSQ/PFPWG untuk percepatan harmonisasi. Demikian pula Lifting  The Barriers Initiatives (LTBI) merupakan inisiatif swasta ASEAN Business Club Forum–AFBA–Food Industry Asia–CIMB ASEAN Research Institute untuk identifikasi hambatan menuju MEA.

Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN selayaknya memulai gerakan/inisiatif sejenis  tingkat nasional untuk mengatasi ketertinggalan. Peran G(overnment) dibutuhkan dalam regulasi, standar, dan pengawasan, tetapi tidak mengabaikan pelaku usaha untuk berdaya saing, demikian pula perlindungan konsumen serta keamanan dan kesehatan masyarakat. A(cademic) diharapkan bersinergi mendukung pelaku usaha berinovasi dan meningkatkan daya saing.

Dari sisi pasokan,  B(usiness) perlu kepiawaian berinovasi, kreasi pasar, meningkatkan daya saing, dan bertanggung jawab terhadap konsumen. Sebaliknya, C(onsumers) mengimbangi menjadi konsumen cerdas, agar mendorong pelaku usaha memenuhi kebutuhannya dengan produk bermutu, aman, sehat, sesuai keyakinannya, serta berbudaya bangga produk Indonesia.

Beberapa negara berhasil melaksanakan ini, seperti Jepang dan Korea Selatan. Di ASEAN, Malaysia dan Thailand mem promosikan "Product of Malaysia, Product of Thailand…". Kebanggaan akan produk Indonesia menjadi tantangan besar pemerintahan baru Joko Widodo-Jusuf Kalla, sejalan dengan revolusi mental, dan bisa menjadi awal Gerakan Revolusi Mental menjelang MEA.

Kolaborasi harus diwujudkan agar Indonesia tetap berperan dan diakui dunia, mempunyai produk berdaya saing tinggi, serta eksistensi pelaku usahanya, khususnya UMKM, tetap bisa dijaga di tengah penerapan standar keamanan pangan yang ketat. Di tingkat pelaku usaha, harus mengikuti perkembangan standar global dan memenuhinya agar bisa menjual produknya di pasar global, terus berinovasi, meningkatkan daya guna, serta tepat sasaran. Pekerjaan rumah pemerintah baru masih setumpuk, tetapi harus dibuat prioritas agar tak terjebak fenomena "semua mau dikerjakan, akhirnya semua tak terselesaikan".

Harmonisasi, sinkronisasi dan evaluasi regulasi serta peningkatan kerja sama antar-lembaga/kementerian dan/atau pemda. Banyak UU atau regulasi sudah dihasilkan, bahkan terkesan over regulated, banyak tumpang tindih, bertabrakan satu sama lain. Implementasinya "jauh api dari panggang", bahkan banyak yang belum ada peraturan pelaksanaannya. Perlu pemetaan dan rekonsiliasi data serta science-based evidence sebagai dasar dalam pengambilan keputusan dan kebijakan nasional yang tepat.

Mendorong penguatan pelaksanaan dan pengawasan keamanan pangan agar Indonesia tak tertinggal dari negara ASEAN lain, karena tahap awal integrasi ASEAN akan menerapkan standar keamanan pangan. Termasuk di dalamnya penguatan sarana/prasarana penunjang  terkait, seperti laboratorium uji, lembaga sertifikasi produk, dan lembaga sertifikasi kompetensi. Sektor UMKM perlu dibantu agar bisa mengikuti standar yang telah ditetapkan.

Kebijakan antarsektor seperti ketenagakerjaan, infrastruktur, logistik, energi, dan fiskal perlu keberpihakan pada usaha dalam negeri tanpa mengabaikan ratifikasi perjanjian internasional. Terakhir, mendorong Gerakan Bangga Produk Indonesia secara masif dan intensif sebagai bagian revolusi mental untuk membangkitkan industri dalam negeri dan akhirnya bermanfaat bagi masyarakat Indonesia sendiri.

Adhi S Lukman Ketua Komite Tetap Pengembangan Industri Primer Pertanian Kadin Indonesia

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009633750
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger