Seperti saat Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi merespons tuntutan buruh menghapus buruh alih daya, dengan mengeluarkan Kepmenakertrans Nomor 19 Tahun 2012, yang membatasi penggunaan tenaga kerja alih daya hanya untuk lima jenis kegiatan. Kepmenakertrans ini disambut gembira buruh, tetapi ditentang Apindo. Namun, keduanya sadar kebijakan ini tidak bisa diimplementasikan karena secara teknis sulit dilakukan. Kepmenakertrans ini membuat mekanisme, untuk menentukan jenis pekerjaan alih daya harus mendapat rekomendasi dari asosiasi bisnis. Mayoritas jenis pekerjaan tak memiliki asosiasi akibatnya rekomendasi pun tak pernah ada. Praktik penyimpangan buruh alih daya tetap berjalan seperti semula, business as usual.
Contoh kedua, saat pemerintah merespons kemarahan Apindo akibat kenaikan upah minimum yang cukup tinggi tahun 2013. Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2013 yang isinya membuat pembatasan upah sesuai dengan kerentanan sektor. Sekalipun sesungguhnya Inpres ini melanggar UU No 13/2003, untuk meredam gejolak pebisnis, inpres terpaksa dibuat. Seperti dapat diduga, inpres ini tidak bisa diterapkan karena rujukan hukumnya yang lemah.
Contoh ketiga, tuntutan buruh untuk memperbaiki pengawasan ketenagakerjaan dengan melibatkan tripartit direspons dengan mengeluarkan kepmenakertrans baru dengan membentuk dewan pengawas tripartit nasional. Namun, lagi-lagi lembaga ini tak bisa berjalan karena hanya berfungsi sebagai dewan konsultatitf, tetapi tak jelas fungsi dan wewenangnya dalam mencegah penyimpangan hukum ketenagakerjaan.
Pekerjaan rumah mendesak
Dalam praktik selama ini, Kemenakertrans sebenarnya hanya mengurus soal kecil dalam urusan ketenagakerjaan, yaitu penempatan, pengawasan, dan menjaga hubungan industrial yang damai. Masalah penciptaan lapangan kerja bukan domain langsung kementerian ini. Pekerjaan utama Kemenakertrans adalah memastikan hubungan kerja buruh dan majikan berlangsung adil, peraturan perundang-undangan diawasi dengan ketat, konflik industrial bisa diatasi dengan mekanisme cepat untuk menghindari mogok, memberikan pelatihan, dan penguatan kapasitas tripartit untuk berunding dengan nalar.
Untuk menakertrans baru kabinet JKW-JK, penulis sarankan agar mulai melakukan pembenahan dari sumber konflik utama yang selama ini menjadi momok hubungan industrial Indonesia. Pertama, tentang mekanisme penetapan upah minimum. Sesuai dengan aturan, penetapan upah minimum 2015 harus diputuskan pada 30 November. Itu berarti hanya satu bulan setelah dilantik jadi menteri akan langsung menghadapi konflik tahunan buruh-majikan. Sistem pengupahan Indonesia sebenarnya sudah ketinggalan zaman. Perlu direformasi ke sistem yang less-conflict and politicking.
Namun, karena waktunya sempit, menakertrans hanya bisa bergerak cepat mengeluarkan petunjuk pengupahan yang baru sehingga survei upah, perundingan berlangsung lancar. Namun, untuk upah minimum 2016, menakertrans harus menemukan sistem pengupahan yang baru untuk menghentikan seremoni konflik tahunan buruh versus majikan. Sejumlah opsi sudah ditawarkan, termasuk opsi yang sudah lama ditawarkan penulis, mulai dari upah berdasarkan produktivitas, kompetensi, serta usaha kecil dan besar. Yang belum ada adalah keberanian untuk melakukannya.
Kedua, pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang dimulai Januari 2015. Karena mayoritas pekerja Indonesia adalah unskilled labor (tak terampil) ada kekhawatiran besar, pasar kerja kita akan dikuasai pekerja dari negara lain. Pasar yang dibuka untuk ASEAN terdiri atas lima sektor jasa (transportasi udara, e-ASEAN, pelayanan kesehatan, turis, dan jasa logistik) serta tujuh sektor produksi (produk pertanian, elektronik, perikanan, produk berbasis karet, tekstil, otomotif, dan produk berbasis kayu). Sementara untuk bidang profesional ada delapan, yaitu perawat, rekayasa, arsitek, tenaga survei, akuntan, pariwisata, praktisi medis, dan dokter gigi).
Menakertrans harus segera menggelar rapat darurat untuk mengantisipasi mengalirnya tenaga kerja asing ke Indonesia, dengan mempersiapkan perlindungan kepada buruh dalam negeri yang rentan kehilangan pekerjaan akibat kompetensi yang rendah. Selanjutnya, dengan melalui kerja sama antardepartemen, memilih segmen unggulan yang dapat menjadi produk unggulan Indonesia untuk bisa memasuki pasar negara lain. Pasar negara lain tak bisa dimasuki apabila tidak memiliki sertifikat sesuai dengan standar mutual recognition agreement (MRA), yaitu sertifikasi kompetensi yang diakui ASEAN. Indonesia harus sebanyak mungkin memperbanyak pelatihan kerja yang sesuai dengan standar MRA. Sehingga, jika pasar ASEAN bisa dimasuki pekerja kita, tekanan pengangguran domestik bisa ditekan.
Ketiga, masalah eskalasi pelanggaran UU ketenagakerjaan sebagai akibat lemahnya pengawasan. Ini adalah isu lama yang tidak bisa diselesaikan sejak sistem pengawasan didesentralisasi. Padahal, menurut penilaian penulis, tidak sulit untuk mencari solusi atas hal ini. Sistem pengawasan harus direformasi dengan melibatkan peran tripartit. Varian sistem pengawasan di dunia ini ada beragam, Indonesia hanya perlu memilih, mengadopsi sebagian atau keseluruhan sistem tersebut sesuai dengan kebutuhan. Namun, kalau tidak ada keberanian mengubah, konflik industrial akan selalu tinggi. Karena instrumen pengawasan sejak awal memang sudah tidak layak, old fashioned, rentan korupsi. Reformasi ini bisa dilakukan dalam periode tahun 2015-2016.
Keempat, tingginya pengangguran dan pekerja informal. Sekalipun dinas tenaga kerja bukanlah yang memiliki otoritas langsung atas kebijakan ketenagakerjaan, disnaker bisa melakukan tugasnya dengan mengurangi tingkat pengangguran sesuai dengan kapasitasnya. Salah satu yang tercepat adalah dengan mengeluarkan aturan pemagangan di semua perusahaan.
Aturan misalnya ditetapkan sebagai berikut: perusahaan dengan jumlah karyawan kurang dari 50 diwajibkan menerima pekerja magang sebanyak 2 persen, perusahaan dengan karyawan 100 orang lebih wajib menerima 4 persen, dan seterusnya sesuai dengan kelipatan. Kalau ini dilakukan, setidaknya pengangguran akan turun 600.000-800.000, dengan asumsi ada 30.000 perusahaan dengan skala usaha di atas 50 pekerja. Dengan berbekal pengalaman magang. akan mempercepat mereka masuk sebagai pekerja formal.
Memperketat pekerja asing
Hal lain yang bisa dilakukan untuk menurunkan pengangguran adalah memperketat pengawasan pekerja asing yang berkeliaran di Indonesia. Ratusan ribu pekerja asing mencari kerja di Indonesia dengan legalitas palsu atau hanya dengan visa turis. Menakertrans harus segera menggelar operasi bersama polisi, KPK, dan imigrasi. Serikat buruh bisa memberikan data atas kasus ini di sejumlah perusahaan asing di Indonesia.
Belum lagi misalnya kalau digelar pelatihan masif di berbagai balai latihan kerja (BLK), ini akan ikut menyumbang penurunan pengangguran. Asumsi-asumsi makro yang selama ini dikemukakan bahwa dengan pertumbuhan ekonomi 1 persen akan menciptakan lapangan kerja 250.000-300.000 cenderung bias, dan sulit dipertanggungjawabkan kebenarannya. Karena bisa saja pertumbuhan terjadi di sektor padat modal, atau sektor keuangan yang tidak memerlukan pekerja yang banyak. Program ini bisa mulai dilakukan pada tahun kedua menakertrans nanti.
Kelima, polemik lama tentang UU No 13/2003. Inilah satu-satunya UU yang aneh di Indonesia. Alasannya: ditolak pengusaha dan buruh walau dengan dimensi berbeda; sudah enam kali diubah oleh putusan Mahkamah Konstitusi, sampai tidak seorang pun paham isi keseluruhan pasalnya; isinya (lihat: Pasal 157) berbenturan dengan UU SJSN No 40/2004 tentang aturan jaminan pensiun. Sayangnya, UU ini sering di-politicking sehingga pemerintah dan DPR gamang mengubahnya.
Menakertrans baru harus mensponsori perubahan UU ini, setidaknya untuk alasan kejelasan isinya pasal demi pasal setelah putusan MK. Apabila menakertrans tahun depan mengajukan konsepnya ke DPR, paling lambat tahun 2017 UU kontroversial ini akan hilang.
Keenam, pengaturan kebebasan berserikat. Banyaknya serikat buruh di Indonesia telah menjadikan hubungan industrial menjadi buruk. Itu karena kunci dari keharmonisan hubungan industrial adalah peran para aktor yang menduduki lembaga-lembaga tripartit daerah dan nasional. Indonesia adalah negara yang tidak memiliki aturan tentang kriteria untuk menjadi serikat buruh nasional, provinsi, dan daerah. Kalaupun ada, hanya sebatas kewajiban administratif registrasi, seperti memiliki AD/ART, pengurus, kantor, dan mendaftar di kantor disnaker setempat. Namun, tidak mensyaratkan jumlah anggota dan sebaran anggotanya di daerah.
Longgarnya kriteria ini membuat setiap saat lahir serikat buruh baru yang umumnya hasil dari perpecahan. Penulis sudah berulang kali menyarankan agar Indonesia mengikuti international best practices ILO yang menyebutkan, mitra tripartit yang kredibel adalah serikat buruh yang paling banyak mewakili atau the most representatives. Atas dasar itu, menakertrans baru harus segera melakukan dua hal: menetapkan batas threshold untuk menentukan parameter sebuah serikat buruh sesuai dengan tingkatannya (wilayah, sektoral, atau konfederasi). Mirip cara kita menetapkan parpol, UU keormasan. Ada kejelasan menetapkan kriteria menjadi organisasi tingkat nasional.
Setelah kriteria ditetapkan, langsung diadakan verifikasi nasional. Sejak reformasi belum pernah sekali pun verifikasi nasional dilakukan sehingga keberadaan orang-orang di tripartit nasional sering diragukan kebenarannya. Akibatnya, tidak ada satu pun rekomendasi tripartit nasional yang bisa dilahirkan, karena legitimasinya yang rendah. Melalui pengaturan dan verifikasi akan ditemukan mitra pemerintah dan Apindo yang benar-benar the most representatives. Mereka inilah yang berhak mengatasnamakan buruh Indonesia dalam perumusan aturan, UU dan kebijakan lain. Ini mendesak dilakukan karena banyak hal yang segera dirundingkan menakertrans dalam tripartit.
Ketujuh, perumusan besaran uang jaminan pensiun. Sesuai dengan UU SJSN, jaminan pensiun di BPJS Ketenagakerjaan akan dimulai Juli 2015. Itu berarti menakertrans baru harus segera menggelar perundingan dengan Apindo dan serikat buruh. Isu ini akan sensitif dan memakan banyak waktu perundingan. Apalagi sebagai program baru belum ada pengalaman tripartit dalam menetapkan besaran manfaat pasti yang dimaksud, hitungan aktuaria, pengelolaannya, pengawasan, dan sebagainya. Namun, karena perintah UU, skema pilihan harus diputuskan sebelum batas waktu.
Inilah tujuh area krusial menakertrans baru. Disarankan agar menakertrans membentuk tujuh gugus tugas khusus untuk menggarap satu per satu isu tersebut sehingga bisa selesai dengan cepat. Penolakan dengan beragam alasan akan pasti terjadi, menakertrans tidak boleh takut atas desakan demo atau tekanan politik. Karena saat ini ada momentum yang tersedia dengan munculnya JKW-JK sebagai simbol pemimpin bersih. Jadi, diperlukan menakertrans yang berani karena perubahan tidak pernah ada jika tidak ada yang memulai perubahan.
Rekson Silaban Direktur Indonesia Labor Institute
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009478225
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar