Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 15 Oktober 2014

Iuran OJK (Irvan Rahardjo)

IURAN Otoritas Jasa Keuangan menuai protes sejumlah kalangan industri keuangan perbankan dan nonperbankan.
Iuran jalan terus, sementara tak ada jaminan kinerja Otoritas Jasa Keuangan (OJK ) lebih baik daripada masa pengawasan di bawah Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan. OJK bahkan dinilai gagal melakukan pengawasan pada industri keuangan. Kasus penggelapan dan aji mumpung terus terjadi tanpa tindakan berarti dari OJK.

Iuran OJK diamanatkan Pasal 37 UU OJK bahwa OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK. Pungutan adalah penerimaan OJK. OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan secara akuntabel dan mandiri. Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan disetorkan ke kas negara.

Selain boleh melakukan pungutan di luar APBN, penggunaannya dikecualikan dari  standar biaya umum, pengadaan barang dan jasa, serta sistem remunerasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait APBN, pengadaan barang dan jasa pemerintah, serta sistem remunerasi (Pasal 35 Ayat 2).

Ketentuan lebih lanjut tentang pungutan   diatur dengan PP Nomor 11 Tahun 2014. Keberatan pelaku industri keuangan terhadap pungutan OJK sudah bisa diduga sejak awal ketika tiada satu pun komisioner OJK berasal dari kalangan pelaku industri keuangan, sementara OJK punya wewenang melakukan pungutan dari pelaku industri keuangan. Ini dapat dirunut ketika Pansel  Dewan Komisioner OJK bekerja keras mendapatkan calon terbaik yang akan menakhodai lembaga pengawas perbankan dan jasa keuangan dengan menyurati tak kurang dari 39 asosiasi industri keuangan untuk mengirim kandidat calon anggota Dewan Komisioner. Tak banyak yang dapat dijaring dari kalangan praktisi di luar birokrat dan bankir pelat merah. Ini tak lepas dari proses politik yang harus dilalui  para calon dengan menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR.

Citra DPR
Citra dan kepercayaan publik kepada DPR sedang menurun drastis. Dugaan korupsi yang melibatkan sejumlah anggotanya kian memperburuk citra DPR. Banyak praktisi dan profesional enggan mengikuti seleksi. Anwar Nasution menyebut salah satu potensi masalah penyatuan lembaga pemeriksa lembaga keuangan dalam satu badan seperti OJK: dapat memicu politisasi atau masuknya kepentingan tertentu dalam kerangka pengaturan dan pengawasan industri keuangan yang pada hakikatnya bersifat teknis (Kompas, 8/3/2012).

Hampir semua susunan Dewan Komisioner OJK adalah pemain lama di BI dan Bapepam- LK. Dari enam anggota yang dipi- lih secara independen, hanya Ilya Avianti dari nonregulator, yaitu BPK. Sisanya orang BI, Bapepam-LK, dan Kementerian Keuangan sehingga independensi OJK diragukan publik. Alhasil, OJK hanya wajah lama dengan baju baru. Artinya, kontribusi pelaku jasa keuangan tak tecermin  pada konfigurasi seluruh unsur subsektor industri perbankan dan jasa keuangan pada komposisi Dewan Komisioner OJK.

Ketiadaan wakil di luar birokrat dan BI menimbulkan resistensi pelaku jasa keuangan melalui asosiasi masing-masing membayar iuran wajib dan menimbulkan masalah akuntabilitas dari tata kelola (governance) OJK  dengan kewenangan yang demikian besar. Kasus penggelapan dan penipuan perbankan dan keuangan kerap terjadi bahkan pada masa OJK sekarang, sementara OJK melakukan pungutan yang pada akhirnya jadi beban nasabah tanpa diimbangi jaminan rasa aman. OJK dilengkapi fungsi perlindungan konsumen dan auditor, tetapi tak memberikan jaminan bahwa konsumen mendapat perlindungan semestinya.

Alih-alih menurunkan pungutan, OJK mengeluarkan surat edaran batas bawah dan batas atas tarif premi asuransi sangat tinggi bagi nasabah yang dinikmati pelaku usaha asuransi. Boleh jadi ini untuk mengompensasi keluhan pelaku usaha asuransi akan pungutan. Ada yang meminta agar pungutan, jika melebihi kebutuhan OJK, dikembalikan lagi untuk pemberian insentif kepada industri. Pungutan yang tak memikirkan geografi daerah juga menjadi sorotan. Seharusnya daerah yang masih belum tersentuh perbankan mendapat insentif. Jangan dipukul rata dalam pembebanan biaya perizinan. Ini bisa kontraproduktif dengan upaya meningkatkan inklusi keuangan bagi masyarakat kita yang masih rendah.

OJK boleh berdalih bahwa sektor lain juga melakukan pungutan di luar pajak seperti iuran atau retribusi hasil hutan, tetapi itu jelas dan nyata dirasakan manfaatnya bagi masyarakat. Dalam keadaan mentalitas birokrasi gemar menghabiskan anggaran sebagai ukuran kinerja tanpa memedulikan kemangkusan hasil, sangat naif membayangkan setoran ke kas negara didasari ukuran transparan dan akuntabel.

Perlu dipahami, sesungguhnya lembaga sejenis OJK sudah banyak dipraktikkan di negara lain. Berbagai studi dan riset perbandingan menunjukkan bahwa pembentukan OJK tak membawa dampak signifikan terhadap kehidupan perbankan dan keuangan. Inggris, sebagai pelopor pembentukan lembaga serupa OJK, malah gagal. Tepatnya pada 1 Juni 1998 dibentuklah OJK di Inggris yang dinamakan Financial Supervisory Agency (FSA).

Kehadiran FSA dilatari runtuh dan bangkrutnya 12 bank nasional di Inggris. Sepuluh tahun kemudian, September 2008, kegagalan FSA di negara ini ditandai kejatuhan Northern Rock Bank, diikuti institusi keuangan lain seperti Bradford Bingley dan  Royal Bank of Scotland Lloyds. FSA Inggris telah dibubarkan dan fungsi pengawasan bank dikembalikan kepada Bank of England, bank sentral Inggris.

Kasus mirip menimpa Jepang dan Australia. Jadi, pembentukan lembaga sejenis OJK tak sepenuhnya efektif, malah selalu bermasalah selama tak ada  praktik tata kelola yang baik dalam dunia keuangan dan perbankan.

Ada baiknya pemerintahan Jokowi merevisi UU  OJK karena fungsi pengawasan tak terletak pada dibentuknya lembaga baru atau tidak, tetapi dari ada tidaknya penerapan governance dengan berfungsinya check and balances secara memadai. Independensi OJK jadi sorotan tajam ketika dibandingkan dengan  kekuasaan kehakiman (sekalipun  dikatakan bebas dari campur tangan pihak mana pun, faktanya gaji dan remunerasi hakim ditentukan peraturan pemerintah). Independensi OJK tak bisa dibandingkan dengan lembaga independen lain seperti KPK yang nyata-nyata dibutuhkan dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

OJK lahir dari independensi BI yang dicetuskan Presiden BJ Habibie pada awal  Era Reformasi. Sebagian merupakan hasil tekanan IMF yang tertuang dalam letter of intent 29 Juli 1998. Independensi BI diadopsi dari Deutsche Bundesbank , Jerman, negara dengan tingkat kesejahteraan yang jauh lebih tinggi dari Indonesia di mana governance serta sistem check and balances untuk mencegah  moral hazard dan kejahatan keuangan berjalan dengan baik. Kita berharap pada perkara uji materi terhadap UU OJK yang tengah berlangsung di MK untuk menghapus wewenang OJK melakukan pungutan.

Irvan rahardjo
Mantan Komisaris Independen AJB Bumiputera 1912

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009361456
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger