Sekalipun demikian, kemajuan tak hanya ditentukan oleh faktor-faktor obyektif, tetapi juga oleh peranan subyektivitas orang-orang yang terlibat di dalamnya, Kemajuan demokrasi di Indonesia yang tadinya banyak dipuji dunia luar telah menandai tahun-tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Peralihan pimpinan nasional yang berlangsung tanpa krisis politik adalah hal baru dalam sejarah politik Indonesia. Tak ada lagi "perang suksesi".
Memang, konflik horizontal masih muncul di sana-sini, dan beberapa aksi teroris masih terjadi, demikian pula ketegangan sektarian antarkelompok. Meski demikian, pemerintahan berjalan tanpa krisis politik. Rakyat menikmati kebebasan menyatakan pendapat, sementara pers Indonesia tak lagi diintimidasi intervensi penguasa. Di atas semuanya, dunia menaruh hormat yang tinggi karena rakyat Indonesia dapat memilih pemimpin dan wakil-wakil rakyat secara langsung, mulai tingkat tertinggi menyangkut presiden dan anggota DPR hingga tingkat paling bawah dalam pemilihan kepala desa.
Kemudian dalam kampanye calon presiden di televisi tahun ini muncul pertanyaan dari pihak Prabowo Subianto-Hatta Rajasa kepada pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, apakah pemilihan kepala daerah masih perlu diteruskan secara langsung atau sebaiknya melalui DPRD. Alasannya, pemilihan langsung banyak bersangkut paut dengan hubungan kedaerahan dan kekerabatan serta mudah menimbulkan konflik horizontal, di samping membutuhkan biaya amat besar. Pemilihan tak langsung oleh DPRD akan menghemat triliunan rupiah. Jokowi menjawab, hal terpenting dalam pemilihan langsung adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat. Persoalan biaya dan penyelesaian konflik horizontal adalah masalah teknis yang harus diselesaikan dan bisa diselesaikan.
Jangan salahkan rakyat
Dengan argumen-argumen yang solid, banyak penulis telah membantah keberatan terhadap pemilihan kepala daerah secara langsung. Tulisan ini memilih untuk memberi perhatian khusus kepada alam pikiran atau visi soal perkembangan sosial. Pada titik inilah dipertaruhkan subyektivitas dalam menghadapi kemajuan. Rakyat kita sering dipersalahkan dalam banyak hal, tetapi rakyat tidak bisa dipersalahkan karena meluasnya praktik politik uang di Indonesia. Siapa yang mulai memperkenalkan politik uang?
Dengan pasti bisa dikatakan, politik uang berawal dari para elite politik karena merekalah yang mempunyai dana dan kemudian percaya bahwa kehendak rakyat dapat dibeli dengan uang. Lalu terjadilah transaksi, lalu berkembanglah jual-beli suara. Dalam jual-beli ini, lambat laun permintaan suara oleh para elite politik terus meningkat sehingga, sesuai dengan mekanisme pasar, permintaan yang meningkat akan menaikkan harga suara pemilih. Transaksi jadi mahal dan menyebabkan pemilihan kepala daerah
memerlukan biaya tinggi, bahkan sangat tinggi.
Namun, biaya tinggi hanyalah akibat politik transaksional yang diperkenalkan elite politik. Ironis sekali bahwa yang merupakan akibat ini kemudian dijadikan sebab dan alasan dalam menolak pemilihan langsung dan menggantinya dengan pemilihan tak langsung oleh DPRD. Padahal, biaya tinggi itu bisa diatasi kalau para elite politik menghentikan praktik politik uang, sambil mendidik masyarakat bahwa pemilihan bukanlah pasar gelap dengan tawar-menawar secara liar, tetapi hak dan kesempatan bagi rakyat untuk menentukan siapa yang layak dan sanggup memimpin mereka meningkatkan taraf hidup dan menciptakan kesejahteraan dengan keadilan.
Tentu saja setiap kampanye perlu biaya (untuk transportasi, iklan, atribut, konsumsi pertemuan, dan lain-lain). Namun, biaya kampanye tidak perlu mencakup dana untuk membujuk konstituen dan membeli suara mereka. Sayangnya, setelah politik transaksional ini menjadi amat mahal, rakyat kembali dipersalahkan seakan mereka belum cukup matang untuk memilih secara langsung sehingga pemilihan kepala daerah harus diserahkan kembali ke DPRD.
Semua orang tahu, DPR di Indonesia sekarang ini pada segala tingkatannya bukanlah lembaga negara dengan nama yang harum. Sebuah survei tentang Indeks Demokrasi Indonesia yang dilaksanakan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menunjukkan bahwa dibandingkan dengan lembaga-lembaga lain seperti pemerintah daerah, pengadilan atau partai politik, DPRD adalah lembaga negara yang mempunyai indikator kinerja paling buruk untuk tahun 2013. Dengan tiga tingkat skor yang ditetapkan, yaitu 80-100 sebagai indikator kinerja yang baik, 60-79 untuk kinerja yang sedang, dan di bawah angka itu adalah indikator kinerja yang buruk, skor untuk kinerja DPRD adalah 36,62.
Dapat dibayangkan jadinya kalau pilkada akan dilaksanakan lembaga dengan kinerja yang paling buruk ini. Pengandaian bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPRD bakal lebih murah biayanya dan lebih baik hasilnya sudah dapat ditolak sejak awal. Selain itu, pilkada oleh DPRD akan membuat posisi politik kepala daerah tak independen terhadap DPRD dan menghilangkan kesetaraan Trias Politika di daerah.
Peristiwa ini terjadi pada saat pemilihan langsung di Indonesia mulai mengilhami beberapa negara lain untuk melakukan hal yang sama. Malaysia, Myanmar, dan Mesir sedang berpikir untuk menerapkan pemilihan langsung, sementara Hongkong bergolak dalam Umbrella Revolution untuk menuntut pemilihan eksekutif Hongkong secara langsung dan menolak sistem pemilihan melalui perwakilan yang dikehendaki Pemerintah Beijing. Suatu koinsidensi yang amat menyakitkan bahwa saat puluhan ribu pengunjuk rasa berdemonstrasi di pusat keuangan Hongkong menuntut pemilihan langsung sambil menghadapi hadangan polisi, DPR kita memutuskan melalui voting pemilihan kepala daerah oleh DPRD kembali berlaku.
Kemajuan digugurkan
Diberlakukannya pilkada secara tak langsung ini menjadi contoh bagi aborted progress, yaitu kemajuan yang mengalami keguguran atau digugurkan oleh subyektivitas orang-orang yang terlibat di dalamnya, khususnya mereka yang mengambil keputusan. Kecenderungan ini mengakibatkan gagalnya perkembangan menuju tahapan yang lebih maju karena prosesnya melingkar-lingkar ke dalam dengan kerumitan semakin tinggi, tetapi hanya menghasilkan gerak di tempat.
Tidak terjadi evolusi karena perkembangan terjebak dalam involusi, yang buat sebagian disebabkan oleh subyektivitas yang ingin maju, tetapi takut menanggung risiko dan konsekuensi kemajuan. Ada keinginan mendukung penegakan hukum dan gerakan anti korupsi, tetapi keinginan ini mengalami keguguran karena disertai kehendak untuk membubarkan Komisi PK. Ada keinginan untuk mempunyai kabinet dengan menteri-menteri yang clear and clean, tetapi langkah Presiden Jokowi untuk meminta nasihat KPK tentang nama-nama calon menteri dipersoalkan.
Ada hasrat memajukan pendidikan nasional, tetapi perencanaan pendidikan selalu bersifat centang perenang karena dikelabui kepentingan pragmatis. Dari tahun 1945 hingga 2014 sudah terjadi pergantian kurikulum sebanyak 10 kali, yang berarti setiap kurikulum rata-rata berlaku kurang dari 7 tahun. Atau, ada keinginan menegakkan kedaulatan rakyat, tetapi hak rakyat memilih pemimpinnya diambil kembali dan diberikan kepada DPRD.
Kecenderungan kepada aborted progress ini bahkan terlihat juga pada Presiden Yudhoyono menjelang akhir masa jabatannya. Dalam sebuah pernyataan publik, dia mengumumkan bahwa dirinya dan partai yang dipimpinnya bakal mendukung pilkada secara langsung. Dengan kekuasaan legislasinya yang besar sebagai presiden, dia dapat mencabut kembali Amanat Presiden pada RUU Pilkada dengan akibat RUU ini batal dibahas dan tidak diperdebatkan dalam DPR. Apa pun sebabnya, hal ini tidak dilakukannya.
Selain itu, sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, dia dapat memerintahkan fraksi partainya untuk mendukung penuh opsi pemilihan langsung. Yang terjadi kemudian adalah Fraksi Partai Demokrat menyatakan meninggalkan sidang paripurna ketika menghadapi voting, dengan akibat bahwa opsi pilkada melalui DPRD dimenangi Koalisi Merah Putih. Akan menghina kecerdasan umum (insulting public intelligence) kalau kita masih diminta percaya bahwa langkah Fraksi Partai Demokrat itu diambil tanpa sepengetahuan atau bahkan bertentangan dengan kehendak Ketua Dewan Pembina.
Dua usul dapat diajukan di sini demi perbaikan. Pertama, para legislator kita di DPR sebaiknya merenungkan kembali tugas utama mereka sebagai wakil rakyat dan tidak bertindak semata-mata sebagai machttechniker atau teknisi kekuasaan yang lihai memainkan kekuasaan, tanpa sensibilitas sedikit pun tentang yang akan ditanggung rakyat akibat permainan mereka dengan kekuasaan. Menurut nasihat Bung Karno, machtsvorming, yaitu perebutan kekuasaan, adalah hal penting dalam politik karena politik tanpa kekuasaan adalah nonsense. Namun, perebutan kekuasaan harus disertai dengan kemampuan menggunakan kekuasaan demi kepentingan umum, perlu disertai machtsaanwending karena tanpa kapasitas penggunaan kekuasaan dengan benar, para legislator akan bertindak seperti pemilik mobil mewah yang tidak tahu menyetir Jaguar dan menabrak mati orang-orang di jalanan.
Kedua, dalam jangka panjang psikologi aborted progress sangat perlu diatasi. Setiap political will baru ada artinya apabila tujuan yang dikehendaki dalam politik, tidak digugurkan di tengah jalan karena orang tidak bersedia menanggung risiko dan konsekuensi dari tujuan yang hendak dicapai. Tidak akan membawa kemajuan apa pun kalau setelah melantik Presiden Jokowi bersama wakilnya Jusuf Kalla pada 20 Oktober yang lalu, langsung ada niat untuk menjatuhkannya melalui pemakzulan (impeachment) setelah satu atau dua tahun, atau mempersulit implementasi kebijakannya di DPR melalui kekuasaan mayoritas anggota Dewan.
Dalam hal itu, negara maju seperti Amerika Serikat atau negara lain amat memuliakan apa yang dinamakan national interest. Dengan berbagai perbedaan paham dan perbedaan kepentingan tiap orang akan tunduk pada apa yang mereka yakini sebagai kepentingan nasional. Lawan politik yang bersaing keras dengan seorang presiden dalam masa kampanye dan pemilu akan merasa hormat kepada presiden yang telah dipilih oleh rakyat dan siap membantunya apabila diminta. Kalau ini tidak dilakukan, kita akan terus-menerus terjebak dalam aborted progress karena kita sendiri menciptakan hambatan bagi tercapainya apa yang diinginkan dalam politik nasional.
Dalam hal ini, pimpinan nasional sepatutnya menjadi representasi yang hidup bagi kepentingan nasional dan tidak maju mundur untuk menyelamatkan kekuasaan dan citranya sendiri, dengan berusaha menyenangkan segala pihak. Yang kita inginkan adalah kehadiran seorang pemimpin yang berani mengambil keputusan dalam keadaan kritis dan berkata dengan penuh keyakinan: ini tanggung jawab saya. Seorang pemimpin tidak perlu mengatakan segala sesuatu, tetapi yang dikatakannya haruslah dapat dipercaya dan dijadikan pegangan seluruh bangsa.
Ignas Kleden Sosiolog; Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009751198
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar