Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 16 Oktober 2014

Parade Tubuh yang Bergerak (Iwan Meulia Pirous)

MINGGU-minggu ini mahasiswa se-Indonesia mulai bergerak. Protes politik memang memerlukan tubuh yang menyuarakan dengan lantang. Tubuh yang bergerak menggunakan jaket almamater, bawa poster, boneka, dan gambar untuk melawan.
Namun, apa yang sesungguhnya sedang dituntut oleh parade tubuh itu? Apa yang dibayangkannya sebagai "Orde Baru Jilid Dua?"

Simbol politik bergerak
Orde Baru bukan sekadar masalah periodisasi sejarah. Akan tetapi, ia sudah melembaga dalam kehidupan seperti sebagai norma atau katakanlah sikap hidup yang dianggap normal selama 30 tahun dan direproduksi terus-menerus: suap-menyuap, feodalisme, nepotisme, gemerlap konsumsi, serta penggunaan kekerasan. Orde Baru sudah masuk dalam tubuh, sikap, dan nalar. Menggugatnya bagaikan menggugat tubuh sendiri.

Tuntutan mahasiswa memang terdengar progresif: demokrasi dengan standar yang bersih dan berjalan sesuai prosedur yang paling demokratis. Pilkada langsung itu murah, menutup peluang korupsi, dan efektif mencegah konflik. Namun, sekaligus ada jarak antara apa yang dituntut dan musuh-musuh yang ingin dilawan sehingga suara protes menjadi normatif. Menuntut demokrasi dari aspek prosedural menjebak pikiran pada hal-hal normatif dari demokrasi.

Saya berharap mahasiswa lebih dari sekadar ingin sistem yang baik. Mereka harus bisa membayangkan musuh-musuh demokrasi dengan konkret, yaitu rezim Orde Baru yang memang berada di sekitar kita dalam bentuk muka-muka lama dalam panggung politik kita. Mereka adalah sosok yang begitu ahli menggunakan negara dan UU sebagai mesin untuk menguntungkan posisi politik diri sendiri dan sekutu-sekutunya.

Oleh karena itu, setiap mahasiswa Indonesia perlu pengetahuan mendalam tentang sejarah panjang Orde Baru dan bagaimana mekanismenya bekerja, bertahan, dan mengakar dalam kehidupan.

Benang merah yang menghubungkan ada banyak rahasia. Tubuh mereka sendiri adalah sarang belajar sekaligus penjara karena di situlah Orde Baru bekerja secara simbolis melalui penajaman naluri konsumsi, glorifikasi terhadap patriotisme masa lalu, penanaman ketakutan terhadap aliran sesat, penanaman kesalehan religius, dan pemelintiran bahasa. Orde Baru memang ahli menciptakan ketakutan akan musuh-musuh dari luar sehingga orang lupa pada kebusukan dalam diri sendiri.

Penjara pikiran
Pada masa Orde Baru berkuasa bahkan mahasiswa ilmu sosial politik pun apolitis. Ilmu sosial yang diajarkan di universitas mengunci pikiran dengan menjadikan "teori-teori struktur sosial Durkhemian" dan "teori rasionalitas Weberian" sebagai model penjelas utama berbagai masalah sosial Indonesia.

Di satu sisi mahasiswa belajar bahwa struktur masyarakat bagaikan organisme yang tersusun atas prinsip biologis. Sebagaimana organisme biologis, masyarakat diandaikan selalu mencari keadaan harmonis. Di sisi lain, mahasiswa dilatih berpikir dirinya selalu tunduk pada prinsip rasionalitas modern, yaitu efisien, rajin, optimal, dan menyerap ke dalam masyarakat industrial. Sepintas memang tak salah, hanya saja paduan dua model ini menciptakan tipe generasi "jinak": kompromistis, tunduk pada struktur, konsumtif, dan apolitis.

Reformasi 1998 adalah produk generasi Orde Baru. Lahir tanpa bekal tradisi teori-teori progresif tentang perubahan sosial, tanpa pengalaman dan referensi terhadap gerakan sosial progresif Indonesia yang dibunuh sejak 1966. Maka, seberapa pun heroiknya mahasiswa 1998, mereka hanyalah ledakan katarsis sesaat dan tak heran umurnya pendek.

Namun, setidaknya saat itu ada kegelisahan terhadap ketiadaan demokrasi, matinya kebebasan berpendapat, dan banyak pertanyaan tak terjawab tentang ketidakadilan ekonomi. Kekesalan bertumpuk membuat mobilisasi massa menjadi mungkin. Mereka yang melawan terlebih pada ketakutannya sendiri akan bahaya "diculik negara", melawan sekuat tenaga walau tidak ada cita-cita jangka panjang dan tak tahu apa yang akan dilakukan setelah Soeharto jatuh. Profil mahasiswa "pasca Orde Baru" kini masih berusia dua tahun ketika rezim Soeharto jatuh. Generasi yang menerima ide demokrasi sebagai sesuatu yang given, yang sudah sepatutnya ada seperti udara tanpa harus diperjuangkan. Generasi yang merasa dicemaskan oleh sesuatu yang jauh berbeda dibandingkan dengan generasi 1998.

Sebagai pengajar antropologi, saya sering mengangkat diskusi tentang Orde Baru dengan tujuan membuka mata mahasiswa akan bahaya. Namun, Orde Baru tidak lagi dikenal sebagai teror, pembungkaman demokrasi, dan pembunuhan kebebasan bicara. Orde Baru adalah periode "aman" dan "harga-harga murah". Mereka tahu Orde Baru itu salah urus ekonomi dan demokrasi, tetapi—bagaimanapun—dikenang sebagai sesuatu yang "banyak positifnya".

Di sisi lain justru mahasiswa lebih sensitif dan khawatir pada lunturnya moral-moral, runtuhnya rasa cinta pada Bendera dan Garuda. Ketakutan yang melahirkan pemujaan pada simbol- simbol kebangsaan yang sudah "fixed" dan tua.

Cinta tanpa argumen
Sepintas terlihat nasionalis- romantis. Media dan iklan pun turut mengulang nasionalisme primordial ini. Namun, sebuah cinta tanpa argumen tak lebih hanya dogma. Ruang kelas perkuliahan yang dipenuhi mahasiswa cerdas tetapi "rindu" stabilitas moral itu sebenarnya bahaya karena menggiring pada logika pikir berputar-putar. Begini contohnya: korupsi menyebar di mana-mana karena pejabat tak bermoral. Pejabat tak bermoral karena melihat contoh korupsi dilakukan di mana-mana. Apa yang janggal adalah mahasiswa jinak pada persoalan politik domestik, sementara untuk pemenuhan identitas-identitas primordial seperti "NKRI" mereka sangat agresif bahkan cenderung fasis.

Dengan menganggap konflik sebagai hal abnormal, seseorang cenderung untuk menganggap persoalan penindasan, ketidakadilan, diskriminasi, dan pelanggaran-pelanggaran di sekitarnya sebagai sesuatu yang disebabkan musuh imajiner dari luar. Memasukkan diri sendiri sebagai bagian dari persoalan menjadi sulit ketika tubuh terbiasa menyalahkan orang lain.

Padahal, membangkang terhadap struktur itu sehat untuk membuat diri reflektif dan evaluatif. Hal ini yang tak diinginkan Orde Baru. Mereka yang sadar bahaya dan berontak kemudian rentan dilabel asal-asalan sebagai "anarkis". Padahal, kepada anak-anak muda seperti merekalah bangsa ini menaruh harap untuk perubahan. Universitas itu luas, maka rajinlah keluar kelas. Masih cukup waktu untuk terus berparade tubuh di jalan penuh simbol yang melawan.

Iwan Meulia Pirous
Pengajar Antropologi FISIP UI dan Ketua Bidang Advokasi Asosiasi Antropologi Indonesia

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009461952
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger