Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 16 Oktober 2014

TAJUK RENCANA: Anugerah Diplomasi buat Bung Hatta (Kompas)

MOHAMMAD Hatta, Proklamator RI, menerima Anugerah Pahlawan Nasional Dr Ide Anak Agung Gde Agung untuk keunggulan bidang diplomasi.
Mohammad Hatta yang populer disapa Bung Hatta itu terpilih karena sumbangsihnya dalam peletakan dasar-dasar falsafah politik luar negeri Indonesia, yakni "mendayung di antara dua karang". Yayasan Sekar Manggis, yang dibina Anak Agung Gde Agung, sebagai penggagas dan pelaksana anugerah itu menyebutkan, dasar-dasar falsafah itu sangat berpengaruh pada perjalanan diplomasi Indonesia.

Kita segera teringat pada kata-kata bijak yang menyatakan, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Namun, pengutipan kata-kata bijak itu sama sekali jangan diartikan dengan upaya merendahkan pemberian anugerah itu, tetapi kita justru ingin menghargainya dengan melihatnya, kalau memang merasa seseorang berhak menerima anugerah itu, berikanlah. Tidak ada kata terlambat untuk itu.

Apalagi falsafah politik luar negeri mendayung di antara dua karang, yang kerap dimunculkan dengan istilah bebas aktif. Bebas artinya kita menentukan jalan kita sendiri tanpa diperngaruhi oleh pihak mana pun. Aktif artinya mewujudkan perdamaian dunia dengan bersahabat dengan segala bangsa.

Politik luar negeri bebas aktif ini dilakukan Presiden Soeharto (1968-1998) dalam menangani konflik Kamboja (1978-1991). Pada awalnya, Indonesia mengambil posisi bersama ASEAN dan negara Barat berpihak kepada Kamboja dan mendesak Vietnam agar segera keluar dari Kamboja. Tahun 1984, melihat tidak adanya kemajuan dalam penyelesaian konflik Kamboja, Soeharto mengutus Panglima ABRI Jenderal LB Moerdani ke Hanoi untuk menjajaki kemungkinan melibatkan Vietnam dalam penyelesaian konflik Kamboja.

Keputusan Soeharto itu mengejutkan dan ditentang ASEAN serta negara-negara Barat, tetapi Soeharto menjelaskan, hal itu perlu dilakukan. Menlu Mochtar Kusumaatmadja kemudian melanjutkan upaya itu dan mengajak semua pihak yang bertikai di Kamboja dan Vietnam berunding di Jakarta Informal Meeting (JIM) I tahun 1988. Upaya itu dilanjutkan oleh Menlu Ali Alatas (1988-1999) dengan menyelenggarakan JIM II tahun 1989. Tahun 1991, diselenggarakan Konferensi Internasional Kamboja di Paris, dan Perjanjian Perdamaian tentang Kamboja ditandatangani. Tanpa keputusan Presiden Soeharto untuk mengirimkan Jenderal Moerdani ke Hanoi, rasanya penyelesaian konflik Kamboja sulit dicapai.

Apa pun nama yang diberikan kepada politik luar negeri Indonesia, tetapi tetap dasar-dasar falsafahnya adalah "mendayung di antara dua karang", yang diwujudkan dalam politik luar negeri bebas aktif. Dalam kaitan itulah, sekali lagi pemberian anugerah diplomasi kepada Bung Hatta kita hargai.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009510095
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger