Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 17 Oktober 2014

TAJUK RENCANA: Kekerasan terhadap Anak (Kompas)

KEKERASAN orang dewasa terhadap anak sering terjadi. Namun, kekerasan ramai-ramai oleh anak terhadap sesama teman termasuk langka.
Perundungan terhadap DAN, siswa kelas V SD Trisula Perwari, Bukittingi, bulan lalu termasuk di antaranya. DAN di-bully teman-teman sekelasnya hanya karena tidak mau memberi uang Rp 2.000. Masalah menjadi lebih rumit karena peristiwanya terjadi di lingkungan sekolah, saat pelajaran Agama, menjadi konsumsi publik berkat media sosial, sampai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohamad Nuh meminta agar sekolah dikenai sanksi.

Menyaksikan tayangan Youtube, kita terenyuh. Seorang anak perempuan dengan pakaian seragam putih merah menjerit-jerit di pojok ruangan, ditendangi, dan dipukuli bergantian oleh temannya, putra dan putri. Seminggu tidak ada reaksi. Sekolah baru bereaksi ketika peristiwanya diunggah di Youtube dan jadi pembicaraan publik.

Kita spontan marah. Berharap masalahnya tidak diselesaikan sebagai kasus pelanggaran dengan hanya sanksi administratif kepada sekolah dan guru yang kebetulan berada di sana. Selain upaya mencegah atau terjadi di tempat lain, kasusnya juga perlu jadi kapstok pendekatan secara edukatif.

Seriusnya masalah terletak pada perundungan terhadap anak oleh sesama teman, berlangsung di lingkungan sekolah, pada saat pelajaran Agama, dan berlangsung di daerah yang relatif jauh dari potensi terjadi kekerasan seperti halnya di kota besar.

Kita sampaikan saran-saran penanganan dalam ranah semangat edukatif. Sanksi terhadap sekolah perlu dilakukan. Guru yang berada di ruangan atau sedang bertugas saat kejadian berlangsung perlu ditegur karena lalai. Para pelaku dan orangtua masing-masing perlu dipanggil dan diingatkan. Korban didekati agar tidak trauma. Tujuan akhirnya, kuratif dan preventif, mencegah hal itu terjadi kembali dan tidak dianggap sebagai hal biasa.

Faktor situasi, lingkungan, latar belakang, dan kondisi psikologis pelaku ikut berpengaruh pada terjadinya perundungan. Faktor-faktor itu hendaknya dipertimbangkan dalam menangani kasus ini. Sekolah sebagai orangtua kedua anak, selain bapak-ibu sebagai orangtua pertama, tidak bisa lepas tangan dalam proses pengembangan karakter baik pada anak-anak. Keluarga, sekolah, dan pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan memperoleh momentum tepat.

Kita ingat visi-misi presiden terpilih Joko Widodo. Ia meminta agar dalam kurikulum SD alokasi pendidikan karakter 80 persen, diterjemahkan dalam praksis Kurikulum 2013. Pendidikan dan pengembangan karakter tidak cukup diajarkan sebagai pengetahuan, tetapi juga sebagai pengalaman hidup sehari-hari.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009529867
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger