Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 07 November 2014

Absurditas BAN-PT (SYAMSUL RIZAL)

The world is absurd. Ugly absurd. To repair ugly absurdity, you can't just be normal. You need an alternative absurdity. A beautiful absurdity. We call it "divine madness".

Tzvi Freeman

KETIKA berangkat dari Banda Aceh ke Jakarta beberapa waktu lalu, saya bertemu teman akrab saya di Bandar Udara Sultan Iskandar Muda. Dia bekerja di Pertamina pusat.

Selaku profesor di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), saya ditanya, "Mengapa akreditasi institusi Unsyiah hanya dapat C? Apa yang kalian lakukan sehingga akreditasi Unsyiah bisa seperti itu?" Belum sempat saya menjawab, saya dibombardir pernyataan-pernyataan berikut, "Kami di Pertamina tidak mau menerima lulusan yang institusinya terakreditasi C. Saya selaku alumni Unsyiah sangat kecewa atas prestasi Unsyiah ini."

Dia terus menumpahkan kekecewaannya, tanpa bisa saya hentikan. Saya tunggu sampai kawan saya lelah. Karena melawan kawan yang sedang emosi jadi kurang produktif. Setelah tekanannya mengendur, saya mencoba memberi pemahaman padanya.

Saya tanyakan: apa ukuran obyektifnya sehingga sebuah perguruan tinggi dapat dikatakan hebat? Lalu saya jawab sendiri: kalau di negara-negara maju, ukurannya jelas: pengajaran atau pendidikan dilakukan berbasis penelitian. Intinya sebuah PT diukur dari hasil penelitiannya dan ini tecermin dari banyaknya publikasi internasional yang dimiliki satu PT.

Untuk saat ini, saya tegaskan kepada kawan saya itu: Unsyiah menempati peringkat pertama di Sumatera dalam hal publikasi internasional. Kalau ini yang jadi indikator, rasanya tidak pantas Unsyiah terakreditasi C.

Celakanya, karena akreditasi C ini, lulusannya jadi korban karena ditolak bekerja di tempat-
tempat yang strategis. Dan, Unsyiah juga jadi korban karena tidak memenuhi syarat untuk menyelenggarakan beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan yang mensyaratkan akreditasi A untuk institusi dan program studi (prodi).

Pemeringkatan BAN-PT yang seperti ini sangat merugikan negara. Program Pendidikan Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU), misalnya,  yang hanya mensyaratkan akreditasi B pun tak layak diikuti Unsyiah. Anehnya, perguruan tinggi yang layak untuk ikut (karena terakreditasi B dan A), banyak yang tak memenuhi syarat karena pengajarnya tak punya publikasi internasional.

Seratus dan 44 indikator
Apa yang menjadi indikator BAN-PT dalam menilai sebuah prodi? Sungguh mengerikan: ada 100 indikator yang harus dipertanggungjawabkan prodi dan 44 indikator yang harus dipertanggungjawabkan oleh fakultas atau program pascasarjana. Ada yang obyektif, banyak pula yang subyektif.  Ketika pertama sekali saya melihat 100 dan 44 indikator yang menjadi penilaian tersebut, saya langsung mual dan terhuyung-huyung. Indikator-indikator ini sangat absurd karena tidak masuk akal, nonsense, mustahil, tidak tepat, tidak bermanfaat, dan terlalu berlebihan.

Dosis absurditas dari indikator-indikator ini jadi makin tinggi karena kita tahu para auktor intelektualis yang terlibat (pengurus BAN-PT, para asesor, serta yang dinilai di level prodi dan fakultas) orang-orang terdidik dan sebagian di antaranya para profesor.

Dengan instrumen yang seperti ini, saya berpendapat, bagi PT atau prodi yang dapat nilai A tak jamin kegiatan penelitiannya hebat atau publikasi internasionalnya banyak. Juga sebaliknya, PT yang publikasinya banyak tak akan menjamin akan terakreditasi dengan nilai A. Ini artinya instrumen BAN-PT telah gagal memisahkan prodi atau PT yang baik dan yang buruk.

Absurdnya lagi, untuk meningkatkan peringkat akreditasi, prodi-prodi tidak lagi memperbaiki kegiatan pengajaran, penelitian, dan meningkatkan publikasi internasional.

Namun, yang dilakukan adalah mencari strategi untuk menyusun borang yang absurd itu. Akibatnya, jadilah para profesor dan doktor kita menjadi pakar dalam bidang pengisi borang akreditasi. Sungguh lucu sekaligus menyedihkan!

Lebih parah lagi, ternyata BAN-PT tak cukup dana untuk mengirim asesor ke seluruh Indonesia yang luas ini (Kompas, 11 Oktober 2014). Akibatnya sampai saat ini, hanya sekitar 50 persen prodi yang baru bisa dinilai.

Sekarang dunia PT di Indonesia sedang mengalami pergeseran paradigma ke arah pentingnya riset. Ini artinya, publikasi internasional jadi bobot yang tinggi dalam menilai PT.

Ada dua indikatornya. Pertama, dengan munculnya nomenklatur baru, yaitu Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, sudah pasti arah PT akan bergerak ke arah riset. Kedua, munculnya Permendikbud No 49/2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti) dan Permendikbud  No 87/2014 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi.

Permendikbud No 49 dan No 87 ini saling terkait. Pada Permendikbud No 87, Pasal 3 Ayat (5) dikatakan, makna peringkat terakreditasi prodi dan PT sebagai berikut:  (a) terakreditasi baik, yaitu memenuhi SN Dikti; dan  (b) terakreditasi baik sekali dan terakreditasi unggul, yaitu melampaui SN Dikti. Ini artinya, kalau tidak memenuhi SN Dikti, sebuah prodi tidak terakreditasi.

Begitu pentingnya publikasi internasional ini sehingga pada Pasal 26 Ayat (10) Permendikbud No 49/2014 dinyatakan secara eksplisit bahwa yang menjadi pembimbing utama (mahasiswa S-3) harus sudah memublikasikan paling sedikit dua karya ilmiah di jurnal internasional terindeks yang diakui Ditjen Dikti.

Apa yang mesti dilakukan?
Karena BAN-PT tidak cukup dana melakukan akreditasi, harus ada cara lain yang mesti dilakukan untuk menyelamatkan UU tentang keharusan akreditasi yang diamanatkan pada BAN-PT. Saya mengusulkan dua hal.

Pertama, indikator berlebihan yang dipunyai BAN-PT sekarang harus sangat disederhanakan. Instrumen BAN-PT juga harus mampu membuat PT dan prodi berlomba-lomba menaikkan peringkatnya dengan jalan meningkatkan prestasinya, bukan dengan jalan meningkatkan kepandaian dalam cara pengisian borang yang absurd itu.

Kedua, yang perlu dipertimbangkan adalah pengiriman, penilaian, dan keputusan BAN-PT hendaknya bisa dilakukan secara online. Dengan instrumen yang sangat sederhana dan obyektif, kegiatan BAN-PT secara online sangat dimungkinkan.

Albert Einstein memang sering dikutip pernyataannya: "If at first, the idea is not absurd, then there is no hope for it". Namun, ide absurd yang dimaknai Einstein tentu saja bukan ide absurd seperti absurditasnya BAN-PT. Ide absurd yang dimaksud Einstein adalah a beautiful absurdity atau divine madness.

Syamsul Rizal Guru Besar Universitas Syiah Kuala

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009873049
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger