Yang menarik, pada saat yang sama harga minyak dunia tengah terjun bebas hampir 30 persen dalam lima bulan terakhir. Harga minyak Brent yang biasa dipakai sebagai acuan internasional turun dari level tertinggi tahun ini, dari 115 dollar AS per barrel (Juni) menjadi 87 dollar AS per barrel (Oktober), dan sekarang 80 dollar AS per barrel (November). Karena penurunan harga minyak dunia inilah, harga BBM nonsubsidi (pertamax) kini diturunkan dari Rp 10.500 per liter menjadi Rp 9.950 per liter.
Pertanyaannya, dengan harga BBM jenis premium Rp 8.500 per liter, apakah pemerintah masih memberi subsidi? Kalau masih, berapa jumlahnya? Selanjutnya, berapa dana subsidi yang bisa dihemat sehingga bisa menciptakan ruang fiskal?
Mari kita berhitung sedikit. Harga pertamax saat ini Rp 9.950 per liter, maka harga keekonomiannya katakanlah (harga tanpa subsidi) Rp 9.500 per liter. Karena kualitas BBM jenis premium lebih rendah, harga keekonomiannya diperkirakan Rp 8.500 hingga Rp 9.000 per liter. Taruhlah harga titik impasnya Rp 9.000 per liter, berarti masih terdapat subsidi Rp 500 per liter.
Ketika menyusun RAPBN 2015 pada Agustus 2014, pemerintahan lama menghitung subsidi BBM akan mencapai Rp 291 triliun, dengan asumsi harga minyak dunia 105 dollar AS per barrel. Pada titik ini, harga keekonomian minyak sekitar Rp 10.000 per liter (dengan harga pertamax Rp 12.000 per liter). Jika harga eceran premium tidak dinaikkan, subsidi per liter adalah Rp 3.500.
Kini, dengan harga eceran premium Rp 8.500 per liter, berarti subsidi hanya Rp 500 per liter. Maka, subsidi total akan berkurang menjadi sepertujuh dari semula. Dengan kata lain, subsidi total akan berkurang dari Rp 291 triliun menjadi tinggal Rp 42 triliun per tahun. Berarti, terdapat penghematan dana sekitar Rp 250 triliun bagi APBN 2015 yang berasal dari penghematan subsidi BBM.
Angka ini jauh lebih besar daripada estimasi Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengenai penghematan Rp 100 triliun saat Presiden Joko Widodo mengumumkan kenaikan harga BBM sepekan yang lalu. Taruhlah kalkulasi saya Rp 250 triliun tersebut salah (terlalu besar). Namun, saya yakin penghematan akibat berkurangnya subsidi BBM masih lebih besar daripada angka Menkeu yang Rp 100 triliun. Bisa jadi Rp 150 triliun atau Rp 200 triliun.
Sementara itu, prospek harga minyak ke depan tampaknya juga bakal menguntungkan kita sebagai negara pengimpor neto. Saat ini ekuilibrium permintaan dan penawaran minyak dunia berada di kisaran 90-92 juta barrel per hari. Permintaan dunia cenderung turun karena melesetnya pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, negara-negara produsen minyak semakin rajin mengeksploitasi sumur-sumurnya sehingga terjadi banjir suplai minyak dunia. Produksi minyak pun naik, juga sekitar 1 juta barrel per hari, terutama dari negara non-Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC), yang menguasai 70 persen pasokan dunia. Akibatnya, produksi minyak (92 juta barrel) melebihi permintaan (91 juta barrel) per hari.
Kalangan industri minyak dunia memproyeksikan situasi belum bakal berubah tahun depan. Pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan 2 persen, dengan perekonomian AS tumbuh 3 persen serta Tiongkok 7 persen saja. Negara produsen mintak terbesar, Arab Saudi, diduga sulit diharapkan mengerem produksinya. Konsekuensinya, harga minyak dunia rata-rata hanya 83 dollar AS per barrel pada 2015.
Pemerintah harus segera merevisi APBN 2015 yang sejumlah asumsinya sudah ketinggalan. Dengan harga minyak dunia terkoreksi 25 persen dibandingkan dengan asumsi, serta harga eceran BBM dalam negeri sudah dinaikkan, diduga akan terjadi kenaikan belanja infrastruktur. Semula anggaran infrastruktur 2015 hanya Rp 200 triliun. Angka ini bisa berubah drastis ke Rp 275 triliun, atau bahkan Rp 300 triliun. Pemerintah juga memiliki lebih banyak dana untuk skema kesehatan, pendidikan, dan pemberian dana tunai langsung. Perkiraan saya, bakal tersedia dana untuk pos-pos ini sekitar Rp 75 triliun hingga Rp 100 triliun.
Upaya pemerintah memerangi "mafia migas" juga akan menjadi nilai positif lain dalam rangka memperbaiki efisiensi industri migas kita. Semua inisiatif hebat tersebut akan bermuara pada penghematan dan menambah kekuatan APBN dalam memberi stimulus ekonomi.
Berbagai inisiatif tersebut akan mendorong sentimen positif terhadap perekonomian Indonesia. Bertambahnya kekuatan fiskal kita akan menyedot perhatian investor asing untuk mengarahkan dananya ke Indonesia pada 2015.
Dalam konteks ini, saya justru terkejut karena Bank Indonesia terburu-buru menaikkan suku bunga acuan BI menjadi 7,75 persen. Padahal, jika mau bersabar sedikit, masih banyak sentimen positif dari sisi fiskal yang bisa membantu suku bunga acuan BI untuk tetap dipertahankan pada 7,5 persen. Stimulus fiskal dengan tambahan belanja produktif Rp 200 triliun sungguh akan menjadi motor penggerak yang dahsyat bagi perekonomian Indonesia pada 2015.
A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010276955
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar