Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 05 November 2014

Dilema Turki dalam Perang NIIS (Ibnu Burdah)

SITUASI di Kobani-Ainul Arab, yaitu wilayah di perbatasan Suriah-Turki, masih sangat mengkhawatirkan kendati ratusan kombatan dari tentara Kurdi Irak telah masuk ke wilayah tersebut. Kota itu, jika tak segera memperoleh bantuan dalam skala besar, diperkirakan bisa jatuh ke tangan Negara Islam di Irak dan Suriah.
Bayangan akan terjadi pembantaian massal terhadap milisi pertahanan Kurdi dan sejumlah penduduk kota yang belum mengungsi selalu ada di depan mata. Hampir setiap kali kelompok pasukan dari Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) ini menguasai wilayah Kurdi atau Syiah, mereka melakukan pembantaian dan aksi begitu keji.

Dilema
Satu-satunya kekuatan darat yang tersedia dan dekat dengan lokasi itu adalah Turki. Persenjataan berat Turki sudah dikerahkan di perbatasan sejak lebih dari sebulan lalu. Namun, mereka sepertinya hanya menjadi penonton dalam perang "kota" antara pasukan Kurdi dan NIIS.

Padahal, jarak mereka begitu dekat. Hingga saat tulisan ini ditulis, pengambil kebijakan di Turki belum memutuskan terlibat secara langsung dalam perang darat. Mereka hanya memberikan akses kepada Peshmerga (pasukan Kurdi Irak) untuk masuk ke arena itu melalui Turki.

Turki menghadapi dilema hebat untuk melibatkan kekuatan daratnya dalam perang melawan NIIS. Mereka terkesan menghindar dari tanggung jawab kemanusiaan yang sudah di depan mata. Sikap ini membuat negara itu memperoleh tekanan hebat dari AS dan sekutunya, dan juga dari protes masif warga Turki, terutama yang beretnis Kurdi. Protes itu bahkan menyebabkan berpuluh-puluh orang tewas.

Ada banyak hal yang membuat pengambil kebijakan di Turki begitu berat untuk mengambil opsi terlibat dalam perang darat ini. Pertama, risiko ambil bagian dalam perang darat begitu besar. Jika mereka terlibat, mereka harus bersiap dengan segala kemungkinan bahwa seluruh wilayah Turki bisa menjadi arena perang.

Selama ini Turki mampu menjaga wilayahnya untuk tidak terseret dalam perang di negara-negara tetangganya, baik di Irak maupun di Suriah. Keterlibatan mereka selama ini—terutama dalam konflik di Suriah—hanya sebatas pada dukungan politik dan finansial, sementara kehidupan Turki secara umum berjalan normal.

Turki menginginkan "tak sendirian" dalam perang darat ini. Turki terus mendorong agar sekutu pimpinan AS tak tersandera dengan keputusannya saat ini untuk hanya terlibat dalam perang udara saja. Kondisi di lapangan sepertinya memang menuntut kekuatan darat untuk masuk ke arena perang. Dengan masuknya kekuatan darat dari sejumlah negara, diharapkan risiko Turki menjadi sasaran aksi brutal NIIS lebih kecil.

Presiden Turki, yang juga mantan perdana menteri negara itu, Recep Tayyip Erdogan secara implisit menyatakan bahwa sekutu akan "enak" saja meninggalkan arena perang sewaktu-waktu mereka menginginkan sebab mereka tak terlibat di darat, dan Turki akan ditinggal sendirian. Pemerintahan Erdogan tak ingin hal itu terjadi. Pemerintahan Erdogan melakukan kalkulasi yang lama dan detail sebelum memutuskan terlibat perang itu secara langsung.

Kedua, masalah keamanan jutaan pengungsi. Turki selama ini dikenal "ramah" dengan pengungsi Suriah dan Irak. Mereka juga dipandang sebagai negara yang mampu memberi pelayanan yang baik untuk para pengungsi tersebut. Karena itu, Turki adalah negara paling diminati oleh para pengungsi dari dua negara tetangganya yang sedang berkonflik itu. Akibatnya, sebagian besar pengungsi dari Suriah menuju negara tersebut.

Dalam situasi normal, Turki mampu mengontrol dengan baik keamanan para pengungsi. Namun, dalam situasi perang, jaminan keamanan itu tidak akan mudah dipertahankan. Keselamatan jutaan pengungsi pasti dalam ancaman setiap saat.

Oleh karena itu, mereka mendorong agar dibangun zona penyangga bebas perang di perbatasan Turki-Suriah. Zona ini, selain akan membantu mengamankan kamp-kamp pengungsi, juga diharapkan akan menjadi daerah penahan agar perang tidak masuk ke wilayah Turki yang sejauh ini kehidupan mereka berjalan normal.

Tertuduh
Jika Turki tetap bersikeras tak mau menurunkan pasukan daratnya untuk melakukan penyelamatan kemanusiaan di Kobani, bencana kemanusiaan mungkin benar-benar terjadi di kota itu kendati sebagian besar penduduk sebenarnya sudah mengungsi ke wilayah Turki. Tak ada pihak yang pantas dituding sebagai biang dari hal itu—jika terjadi—selain Pemerintah Turki. Sebab, mereka di posisi yang paling dekat dan memiliki kemampuan untuk melakukan penyelamatan segera.

Jika negara itu tetap tak mau terlibat, Turki juga pantas dicap sebagai aktor kawasan yang hanya pandai bicara tetapi tak mau berbuat dan ambil risiko. Sejauh ini, komitmen politik pemimpin mereka untuk membela "demokrasi" dan kemanusiaan di kawasan begitu kuat jika dibandingkan dengan pemimpin-pemimpin lain di kawasan. Namun, kesan itu akan runtuh dengan sendirinya jika Pemerintah Turki tidak mau mengambil keputusan perang melawan NIIS di darat dengan segala risikonya.

Agenda
Di luar itu semua, Turki memiliki agenda tersendiri bagi persoalan Suriah. Turki ingin membawa sekutu untuk tidak hanya berperang melawan NIIS, tetapi juga melawan rezim Assad. Ini tampaknya yang masih alot. Sebab, menurut pandangan Pemerintah Turki, Assad adalah akar persoalan di Suriah. Solusinya hanya satu, yakni menjatuhkan rezim Assad.

Oleh karena itu, Turki getol mempromosikan gagasan yang sebenarnya kurang masuk akal, kecuali dalam narasi konspirasi. Menurut gagasan ini, kelompok NIIS adalah buatan rezim Assad yang sengaja dibentuk untuk mengacaukan perlawanan oposisi Suriah dari dalam. Pandangan ini jelas tak masuk akal sebab sasaran utama dan musuh ideologis kelompok NIIS adalah kelompok Syiah, termasuk rezim Assad.

Sikap Pemerintah Turki ini terus diamati secara saksama oleh Teheran, Damaskus, dan juga Hizbullah Lebanon. Sebab, jika gagasan Turki itu menjadi kenyataan, mereka berarti akan menghadapi musuh besar baru di lapangan, yaitu oposisi Suriah plus sekutu. Itu adalah perang yang jelas menakutkan. Sejauh ini, jaringan Syiah mencurigai alotnya negosiasi "penyelamatan Kobani oleh Turki" disebabkan adanya agenda terselubung untuk "menghancurkan" Assad, bukan NIIS.

(Ibnu Burdah, Pemerhati Masalah Timur Tengah dan Dunia Islam; Dosen UIN Sunan Kalijaga dan Unwahas Semarang)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009895091
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger