Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 21 November 2014

Janji bagi Semua Anak di Dunia (Gunilla Olsson)

DUA puluh lima tahun lalu, pada 20 November 1989, para pemimpin dunia membuat komitmen besar. Dengan mengadopsi Konvensi Hak Anak, mereka berjanji untuk melakukan apa saja dengan segala kemampuan guna memajukan dan melindungi hak-hak semua anak di seluruh dunia.
Konvensi Hak Anak merupakan perjanjian internasional yang paling cepat dan paling luas diratifikasi di sepanjang masa. Konvensi Hak Anak memberikan pandangan baru yang mendasar tentang anak. Anak tidak lagi dipandang sebagai obyek yang harus mendapatkan pengasuhan dan bantuan, tetapi mereka sekarang merupakan subyek dalam menentukan hak mereka sendiri.

Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang menandatangani Konvensi Hak Anak. Sejak saat itu, Indonesia telah memulai reformasi hukum secara komprehensif untuk menyesuaikan kerangka legislatif dengan Konvensi Hak Anak. Undang-undang terakhir yang disahkan adalah UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.

Komitmen Indonesia untuk melaksanakan Konvensi Hak Anak telah memberikan kesempatan besar kepada anak-anak untuk tumbuh sehat dan mengembangkan potensi mereka. Tingkat kematian anak balita telah menurun lebih dari setengah, dari 84 kematian per 1.000 kelahiran hidup pada 1990 menjadi 29 kematian pada 2013. Hal ini telah menyelamatkan lebih dari
5 juta anak Indonesia yang bisa meninggal jika angka kematian anak balita tetap berada di tingkat pada 1990.

Akan tetapi, banyak tantangan yang menghalangi upaya-upaya untuk memastikan bahwa setiap anak Indonesia menikmati semua hak yang dinyatakan dalam Konvensi Hak Anak. Perkembangan ekonomi Indonesia yang pesat menjadi negara berpenghasilan menengah telah mengakibatkan banyak anak mengalami ketertinggalan, terutama dalam masyarakat pedesaan dan di daerah-daerah kumuh perkotaan. Selain itu, kesenjangan antara yang kaya dan miskin juga semakin melebar.

Risiko kesehatan anak
Indeks Gini yang mengukur distribusi pendapatan dan pengeluaran konsumsi di antara rumah tangga meningkat dari 29,2 tahun 1990 menjadi 38,1 tahun 2013, dengan 0 didefinisikan sebagai kesetaraan sempurna dan 100 sebagai ketimpangan absolut.

Dengan angka sebesar 37 persen, prevalensi nasional stunting (pertumbuhan terhambat) cukup tinggi, dan di beberapa provinsi, seperti Nusa Tenggara Timur, prevalensi tersebut mencapai lebih dari 50 persen. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat bahwa kekurangan gizi berkontribusi terhadap hampir setengah dari semua kasus kematian anak.

Hampir setengah kematian anak terjadi pada empat minggu pertama kehidupan, sementara penurunan kematian bayi baru lahir hampir tidak mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Untuk mengatasi persoalan ini, diperlukan pelayanan berkualitas selama 24 jam dengan akses yang mudah. Namun, sejumlah 58 persen kabupaten di kawasan timur Indonesia masih belum memiliki kapasitas untuk menangani komplikasi obstetrik dan neonatal.

Penyakit seperti diare yang dapat dengan mudah dicegah dan diobati tetap merupakan pembunuh anak yang utama di Indonesia, yang mengakibatkan kematian sebesar 30.000 jiwa setiap tahun. Sanitasi yang buruk dengan sekitar 55 juta orang yang masih mempraktikkan buang air besar di tempat terbuka serta praktik-praktik higienis yang buruk dan kurangnya air bersih berkontribusi terhadap kematian anak yang terkait dengan diare, penyakit, atau gizi buruk.

Sekitar 25 persen anak perempuan di Indonesia menikah di bawah usia 18 tahun, salah satu negara dengan tingkat pernikahan anak tertinggi di Asia Timur dan Pasifik. Hal ini menyebabkan mereka mengalami risiko kesehatan dari kehamilan dini dan mengakibatkan mereka kehilangan masa kanak-kanak mereka sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan masa depan yang baik. Pernikahan usia anak juga mengakibatkan anak perempuan berisiko menderita kekerasan dan pelecehan.

Dalam usianya yang telah mencapai 25 tahun, Konvensi Hak Anak memberikan kesempatan yang luar biasa kepada Pemerintah Indonesia yang baru untuk menyatakan dan menegaskan kembali komitmennya terhadap hak-hak anak dan untuk memperbarui kepemimpinan globalnya dalam mendorong kemajuan bagi anak-anak.

Untuk mengatasi tantangan ini dan juga tantangan lainnya, diperlukan cara berpikir dan cara bertindak yang baru.

Tantangan jangka panjang
Pada 2010, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) memulai sebuah jejaring ambisius "Innovation Labs" untuk menemukan solusi nyata, terukur, dan berkesinambungan bagi tantangan pembangunan jangka panjang, yang melibatkan masyarakat setempat dan membangun jejaring kerja sama di dalam negeri. "Innovation Labs" tersebut bertujuan memfasilitasi dan mendukung adaptasi setempat serta penggunaan teknologi dan pendekatan baru untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan berbagai persoalan.

Secara global, hal ini telah menghasilkan sejumlah inovasi luar biasa yang telah meningkatkan kehidupan di negara-negara di seluruh dunia. Inovasi tersebut mulai dari pengisi baterai (battery charger) alat bantu dengar isi ulang tenaga surya pertama di dunia, sekolah mengambang untuk memberikan akses sepanjang tahun ke pendidikan bagi anak-anak yang tinggal di daerah rawan banjir di Banglades, sampai dengan manajemen berbasis masyarakat tentang gizi kurang akut.

Laporan utama Unicef, The State of the World's Children 2015-Re-imagine the future: Innovation for every child, yang diluncurkan pada 20 November, memberikan gambaran menarik tentang inisiatif-inisiatif tersebut.

Banyak dari inovasi-inovasi ini sesungguhnya diciptakan oleh anak-anak remaja. Memang kami di Unicef percaya bahwa pemuda harus menjadi pendorong bagi pendekatan inovatif untuk mengatasi berbagai tantangan pembangunan yang sudah berjalan lama di Indonesia. Inovasi-inovasi tersebut, selain dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, juga dapat menjadi alat yang kuat untuk meningkatkan dan memperkuat sektor publik, mengatasi kemiskinan dan ketidakadilan, serta mempromosikan keterlibatan masyarakat sipil dalam tata kelola pemerintahan.

Unicef Indonesia mendukung perkembangan-perkembangan ini, termasuk melalui inisiatifnya, U Report Indonesia, sebuah platform media sosial (menggunakan Twitter) yang mempromosikan keterlibatan remaja dan pemuda dalam pembangunan sosial, melalui pertanyaan jajak pendapat dan berbagi pengetahuan untuk melakukan aksi. Platform ini memiliki potensi yang sangat besar untuk meningkatkan peran serta pemuda dan merupakan alat penting untuk meningkatkan keterlibatan. Dukungan pemerintah untuk inisiatif ini sangat penting.

Visi Konvensi Hak Anak hanya dapat dicapai jika setiap orang bekerja sama untuk mewujudkan hak-hak anak. Pengakuan terhadap pentingnya melakukan aksi dan pengembangan iklim inovasi akan memperkuat upaya kita untuk memastikan bahwa tidak ada anak yang tertinggal.

Gunilla Olsson
Kepala Perwakilan Unicef di Indonesia

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010199158
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger