Saat ini, kredit usaha rakyat (KUR) disalurkan tujuh bank nasional: BRI, BNI, Mandiri, BTN, Bukopin, Bank Syariah Mandiri, dan BNI Syariah, serta 26 BPD. Hingga 30 September 2014, plafon KUR yang telah disetujui Rp 168,317 triliun dan outstanding KUR Rp 50,346 triliun, dengan tingkat kredit bermasalah (NPL) 4,2 persen (www.komite-kur.com). Angka NPL ini cukup baik karena masih di bawah angka yang ditoleransi, sebesar 5 persen. Namun, perlu dicermati apakah penyaluran KUR telah dilaksanakan secara baik oleh semua bank pelaksana?
Beberapa bank memiliki NPL di atas 5 persen, seperti BTN, Bukopin, Bank Syariah Mandiri, dan kelompok BPD. Jika pemerintah akan melakukan evaluasi, harus benar-benar dicermati sebaran NPL di setiap bank. Data Agustus dan September 2014, semua bank meningkatkan plafon pinjaman, tetapi hanya BRI yang meningkat outstanding KUR-nya. Artinya, besar kemungkinan hanya BRI yang memiliki keyakinan diri untuk terus menyalurkan KUR, sedangkan bank lain mulai berhati-hati karena NPL yang mulai mengkhawatirkan.
Politis vs bisnis
Program KUR yang dicanangkan pemerintahan SBY-Boediono tentu memiliki nuansa politis, paling tidak KUR itu dikaitkan dengan program pemerintahan Pro Poor, Pro Job, Pro Growth.
Penyaluran KUR mungkin bernuansa politis, tetapi bank bisa mengemas penyaluran KUR agar sejalan dengan visi jangka panjang, seperti BRI yang fokus di UMKM dan menjadikan KUR sarana memperkuat basis calon debitor komersial mereka. Pertimbangan bisnis yang diselaraskan dengan tujuan jangka panjang bank belum sepenuhnya dilakukan bank penyalur. Beberapa BPD mengakui tujuan mereka menyalurkan kredit sebanyak-banyaknya, fokus pada pencegahan NPL terlewatkan.
BRI terlihat paling siap dalam penyediaan tenaga account officer yang khusus menangani KUR. Bank ini memiliki BRI Unit dengan tenaga mantri sebagai pemasar kredit. Untuk bank lain, kesiapan sangat kurang. Bahkan, untuk BPD, yang menangani KUR adalah analis yang selama ini menyalurkan kredit konsumtif yang secara mindset dan pemahaman bisnis sangat berbeda dengan kredit produktif.
Secara organisasi, BRI juga lebih siap, memiliki BRI Unit yang khusus menangani KUR Mikro (plafon sampai Rp 20 juta), sedangkan KUR Ritel (plafon di atas Rp 20 juta sampai Rp 500 juta) ditangani account officer di kantor cabang. Bank lain tak punya organisasi yang membedakan fokus penyaluran KUR, antara KUR Mikro dan KUR Ritel.
Menangani kredit perlu jam terbang di samping kemampuan dan pengetahuan tentang bisnis debitor mereka. Keunggulan juga dimiliki BRI di sini.
Menangani pinjaman dengan plafon kredit besar relatif lebih kompleks sehingga tanpa kesiapan memadai, risiko terjadi NPL akan tinggi. Beberapa bank mensyaratkan agunan tambahan dengan maksud mengantisipasi moral hazard debitor.
Program KUR sebaiknya tetap diteruskan karena bisa jadi jembatan untuk mempersiapkan masyarakat mengembangkan usaha sejak dini. Bank pelaksana juga harus benar-benar diseleksi agar penyaluran KUR berjalan lebih efisien dan efektif.
Ugie Nugroho Pengamat Ekonomi dan Perbankan
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010101253
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar