Problem asimetris informasi menggambarkan ada ketimpangan penguasaan informasi. Satu pihak menikmati surplus, pihak lain menderita defisit informasi. Dalam proses kebijakan publik, misalnya, para pengambil keputusan itu menikmati surplus informasi, sementara publik menderita defisit informasi.
Akan tetapi, di antara para pengambil keputusan pun terjadi asimetris informasi. Misalnya, tidak semua pejabat pemerintah atau anggota DPR tahu tentang anggaran proyek pembangunan. Hanya Badan Anggaran yang lebih banyak tahu tentang hal itu. Demikian juga dalam Badan Anggaran ada diferensiasi penguasaan informasi. Sangat mungkin ketua Badan Anggaran lebih banyak tahu tentang anggaran proyek pembangunan ketimbang anggota yang lain.
Kita berutang budi kepada pekerja intelektual, yakni Joseph Eugene Stiglitz, George A Kerlof, dan A Michael Spance, yang telah mengantarkan pada pemahaman yang lebih baik tentang asimetris informasi, khususnya pasar dengan informasi yang asimetris. Mereka telah meletakan dasar konsep, alat analisis, dan bukti empiris yang kokoh tentang pasar dengan informasi asimetris. Pada 2001, secara bersama-sama, mereka dianugerahi hadiah Nobel Bidang Ekonomi.
Bahaya asimetris informasi
Dalam perkembangannya, lalu istilah asimetris informasi banyak dipinjam untuk menjelaskan gejala-gejala lain di bidang politik, kebudayaan, pertahanan, keamanan, dan lain-lain. Asimetris informasi merupakan suatu keadaan patologis karena dari sini muncul berbagai jenis dan risiko kejahatan; korupsi, pencurian kayu, ikan, minyak, gas, dan lain-lain. Kejadian ustaz atau guru agama yang mengelabui pengikutnya, dukun mencabuli pasiennya, manajer keuangan menipu investornya, penjual mencurangi pembelinya, dan produsen yang mengakali konsumennya sebenarnya bersumber pada adanya problem asimetris informasi di antara mereka.
Problem asimetris informasi, baik pada tataran transaksi personal maupun kehidupan bernegara, jelas harus diatasi karena merugikan dan membahayakan. Tulisan ini memberikan tekanan dan aksentuasi lebih pada perlunya penanganan problem asimetris informasi pada konteks dan tataran kehidupan bernegara. Problem asimetris informasi persisten dalam kehidupan bernegara, baik itu dalam proses kebijakan, legislasi, maupun yudisial. Demikian juga dalam tata kelola dan pengelolaan sumber daya publik: anggaran, ruang, sumber daya alam, frekuensi radio, dan lain-lain. Kerugian dan bahaya yang ditimbulkan asimetris informasi pada tataran kehidupan bernegara jauh lebih sistemik, struktural, dan masif.
Contoh aktual, pergantian pemerintah dari Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono ke Joko Widodo-Jusuf Kalla yang baru seumur jagung sudah bisa mengungkap ada problem serius. Pertama, mekanisme impor minyak kita memang—seperti dugaan banyak orang—terkena problema asimetris informasi. Impor minyak melalui Sonangol (perusahaan minyak Angola) jauh lebih murah daripada Petral, anak perusahaan Pertamina yang selama ini menangani impor minyak.
Kedua, opsi impor minyak yang tersedia ternyata bukan tanpa melalui mafia atau dengan mafia, melainkan memang harus lewat mafia, hanya saja pilihannya mau dengan mafia yang cari margin keuntungan lebih besar atau dengan mafia yang cari margin lebih tinggi. Ini karena perdagangan hampir semua komoditas strategis sudah dikuasai mafia.
Ketiga, efisiensi dan efektivitas alokasi dan penggunaan anggaran. Perubahan mekanisme impor minyak ini diklaim bisa menghemat anggaran negara sekitar Rp 8 triliun per tahun. Penghematan ini baru seperempat dari total impor minyak. Selama bertahun-tahun dari impor minyak ini saja kita merugi triliunan rupiah. Padahal, magnitudo anggaran sebesar itu bisa dialokasikan dan digunakan untuk membangun instruktur jalan, jembatan, pelabuhan, pembangkit listrik, rumah sakit, gedung sekolah/universitas, pasar tradisional, dan lain-lain yang berguna bagi pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Tiga implikasi
Apa implikasi aksentuasi Menteri Susi tentang perlunya memperkuat dan memperluas akses pemegang kepentingan terhadap data dan informasi pengelolaan kelautan dan perikanan? Setidaknya ada tiga implikasi penting. Pertama, reaktualisasi dan revitalisasi implementasi UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kedua, penguatan dan pendalaman peran Indonesia dalam skema kerja sama multilateral tentang Kemitraan Pemerintahan Terbuka (Open Government Partnership/OGP). Ketiga, perlunya segera mengakhiri rezim sekretif.
Negara-negara yang punya UU kebebasan informasi yang efektif umumnya prevalensi korupsinya rendah. Beruntung kita punya UU ini. Yang harus dilakukan, terus meningkatkan efektivitas implementasi UU Keterbukaan Informasi Publik, baik dari sisi penawaran (supply) maupun permintaan (demand). Dari sisi penawaran, artikulasi dan aksentuasi Menteri Susi tentang keterbukaan informasi bisa dilihat tidak hanya sebagai penyemangat baru (energizer), tetapi juga pendorong utama (prime mover).
Sikap ini sangat tak biasa. Ia sangat progresif, melampaui pengetahuan, sikap dan perilaku pejabat pada umumnya yang cenderung konservatif dan malah protektif terhadap kondisi asimetris informasi yang terjadi di kementeriannya. Mangkraknya kewajiban membuka (disclosure) rekening gendut beberapa jenderal polisi bersumber dari sikap dan perilaku pejabat yang konservatif dan protektif ini.
Dari sisi permintaan, langkah strategis itu belum tentu disambut oleh warga dan komunitas perairan (petani ikan, nelayan, organisasi petani dan nelayan, LSM, dan lain-lain). Permintaan publik terhadap data dan informasi tata kelola kelautan dan perikanan masih tipis dan lemah. Ini berbeda dengan warga dan komunitas daratan (perkotaan, kehutanan) yang permintaan publiknya sudah relatif terbentuk dan cukup kuat. Lemahnya aspek permintaan publik ini bisa membuat UU Keterbukaan Informasi Publik kurang efektif.
Artikulasi dan aksentuasi keterbukaan informasi yang diajukan Susi juga bisa beresonansi pada makin pentingnya penguatan dan pendalaman peran Indonesia dalam OGP. OGP yang didirikan pada 2011 merupakan wadah kerja sama internasional yang anggotanya adalah pemerintah yang mempromosikan keterbukaan, akuntabilitas, dan daya tanggap yang cepat kepada warganya. Indonesia termasuk delapan negara deklarator inisiatif kemitraan ini. Sekarang anggota OGP sudah 65 negara. Praksis keterbukaan informasi yang dikembangkan Indonesia, khususnya yang akan dikembangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan, bisa menjadi contoh dan inspirasi bagi negara lain.
Di atas semua implikasi itu, yang paling substansial adalah pesan politik yang ingin disampaikan, yakni bahwa rezim sekretif harus segera diakhiri. Sudah saatnya kita membangun tatanan kelola sumber daya publik, proses kebijakan, proses legislasi, dan proses yudisial dengan informasi yang lebih simetris. Itu hanya mungkin dicapai kalau kita bisa melakukan dua hal ini secara serius dan sistematis.
Pertama, memperkuat permintaan publik sehingga warga dan organisasi masyarakat sipil tidak hanya bisa meminta data dan informasi, tetapi juga—yang lebih penting dan strategis—adalah terampil meminta perlunya kerangka kelembagaan (peraturan dan organisasi) keterbukaan informasi publik yang lebih baik. Secara kelembagaan, UU Keterbukaan Informasi Publik dan peraturan lain yang terkait dengan itu perlu ditinjau ulang dan direvisi, disesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan zaman. Secara organisasi, Komisi Informasi dan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi perlu memperbaiki tata kelola dan kinerjanya.
Kedua, penguatan dan pendalaman keterlibatan konstruktif warga dalam tata kelola sumber daya publik, proses kebijakan, proses legislasi, dan proses yudisial. Penguatan dan pendalaman keterlibatan warga ini bukan diabdikan untuk kelancaran dan kesuksesan satu periode jabatan menteri atau pemerintahan, melainkan untuk kesinambungan yang melampau batas-batas
usia rezim pemerintahan. Dunia yang lain, dengan informasi yang lebih simetris, tampaknya sangat mungkin.
Dedi Haryadi Deputi Sekjen Transparansi Internasional Indonesia
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010018684
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar