Harus diingat bahwa Jaksa Agung sekarang adalah pejabat yang diajukan partai politik yang kiprahnya harus diawasi. Meski kontroversi mengikutinya, harapan tetap digantungkan kepada figur itu.
Di luar kelaziman, tercatat dalam sejarah pemerintah lambat menetapkan Jaksa Agung. Selama ini penetapan Jaksa Agung bersama-sama dengan pengumuman kabinet. Lebih dari satu bulan kabinet telah bekerja, Jaksa Agung belum ditetapkan. Tampaknya pemerintahan Jokowi kesulitan menetapkan sosok yang memimpin institusi penegakan hukum itu. Akibatnya, muncul berbagai spekulasi: gagasan yang bersifat ideal sampai pertimbangan politik muncul ke hadapan publik tentang siapa yang pantas menduduki posisi itu.
Figur yang ideal harus berintegritas, berani, dan seterusnya. Ada yang mengatakan bahwa orang tersebut harus mengerti anatomi kejaksaan, pernah mengikuti pendidikan jaksa, bahkan manusia setengah dewa (Kompas, 20/11). Dari sisi politik, ditengarai terjadi tarik-menarik kepentingan yang alot di kalangan pemerintah sendiri, menunjukkan bahwa penetapan itu diwarnai kalkulasi politik yang kentara.
Sesungguhnya Presiden cukup membaca undang-undang ditam- bah dengan syarat yang ditentu- kannya sendiri dengan tetap memperhatikan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat untuk menentukan siapa yang pantas mengisi jabatan itu. Bagaimanapun Jaksa Agung merupakan bagian terkecil dalam penegakan hukum. Kinerjanya tidak dapat ditentukan sendiri tanpa melibatkan institusi lain dalam mata rantai sistem peradilan pidana.
Patut dicatat, orang-orang yang memimpin kejaksaan telah silih berganti. Tak ada catatan buruk bila institusi ini dipimpin orang yang berasal dari luar, dan tidak ada pula catatan spektakuler karena dipimpin orang dalam. Ini dikarenakan Jaksa Agung bukan pejabat yang mandiri. Sebagai institusi pemerintahan yang diberi kepercayaan oleh undang-undang, melaksanakan tugas dan wewenang kejaksaan tidak dapat dilepaskan dari garis kebijaksanaan yang ditetapkan oleh pemerintah dalam bidang penegakan hukum.
Meskipun demikian, negara harus memberi jaminan kepada Jaksa Agung ketika telah menentukan langkah penegakan hukum sesuai dengan standar baku yang salah satunya ditetapkan dalam Guidelines on the Role of Prosecutors dan International Association of Prosecutor, seperti jaminan terhadap intimidasi dan intervensi dari pihak mana pun yang mengganggu pelaksanaan tugasnya secara mandiri.
Perubahan kultur
Yang tak boleh dilupakan, Prasetyo harus menuntaskan reformasi birokrasi di lingkungan kejaksaan secara menyeluruh. Reformasi birokrasi di antaranya mensyaratkan transparansi, pertanggungjawaban publik, dan kesejahteraan pegawai merupakan langkah berikutnya yang harus dipikirkan. Pembenahan jeroan, seperti perekrutan yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme serta sistem mutasi dan promosi, didasarkan kompetensi dan kebutuhan dengan mengacu pada ganjaran dan sanksi harus dilakukan secara konsisten. Jaksa Agung harus melakukan perbaikan kultur di kalangan dalam agar tercipta sistem penegakan hukum yang efektif.
Melaksanakan undang-undang saja tidak cukup, seorang Jaksa (Agung) harus juga memahami bahwa norma-norma sosial lain memiliki kekuatan yang sama untuk menertibkan masyarakat. Dengan demikian, kepada bawahan harus ditanamkan bahwa mereka tidak cukup berkata bahwa "undang-undangnya mengatakan seperti itu" atau "biarkanlah pengadilan yang memutuskan", ini menunjukkan bahwa mereka terbelenggu dengan positivisme hukum yang seharusnya ditinggalkan.
Tuntutan kemandirian harus diikuti dengan perubahan pola pikir menyeluruh agar tumbuh iklim penegakan hukum yang sehat dan pada gilirannya akan menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat agar mematuhi hukum. Bahwa kewajiban mematuhi hukum adalah lebih utama dalam pelaksanaan tugas daripada sekadar menggiring seorang terdakwa ke pengadilan untuk kemudian dijatuhi hukuman.
Salah satu tugas yang menanti Jaksa Agung Prasetyo adalah penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang hampir dua dasawarsa tidak menunjukkan kemajuan berarti, bahkan mundur. Pelanggaran atas HAM merupakan tindakan yang merobek nilai kemanusiaan yang dilakukan dengan meminjam topeng kekuasaan atas nama rakyat. Kasus Wamena, Wasior, begitu juga Semanggi I dan II, serta kasus lain, menuntut penuntasan dan Jaksa Agung merupakan motor penggerak utamanya.
Beban sejarah
Kasus pelanggaran HAM merupakan beban sejarah yang harus dituntaskan, terutama kasus-kasus yang penyelidikannya telah diselesaikan Komnas HAM. Jaksa Agung tinggal mendorong Presiden dan DPR membentuk pengadilan ad hoc sesuai dengan yang disyaratkan undang-undang. Hambatan teknis ataupun alasan lain harus diteliti secara cermat. Apakah para pelaku telah diperiksa dan diputus oleh sidang pengadilan secara jujur dan adil? Kalau belum, tindakan Jaksa Agung dinantikan oleh publik untuk menuntaskannya.
Pelanggaran HAM berat merupakan kejahatan kemanusiaan yang menuntut dituntaskan agar peristiwa yang sama tidak terjadi lagi. Kini, Jaksa Agung telah definitif, tugasnya sekarang menuntaskan kasus yang hingga saat ini seakan tertutup misteri. Bekerja menurut aturan saja tidak cukup. Namun, kemampuan melampaui diri dan kepentingan lebih utama guna membuka tabir gelap sejarah yang semakin menjauh terseret waktu.
Kepercayaan telah diberikan kepada Jaksa Agung Prasetyo. Tugasnya sekarang memenuhi ekspektasi publik, sementara tugas masyarakat adalah mendukung, mengawasi, bahkan mengkritik apabila tindakannya menyimpang dari harapan publik, khususnya dalam penuntasan kasus berdimensi pelanggaran HAM berat. Demikianlah tugas seorang jaksa agung.
M Ali Zaidan Pengamat Hukum
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010234913
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar