Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 04 November 2014

Memanjat Pohon Konstitusi (Ahmad Erani Yustika)

PENYUSUNAN kabinet dan produksi kebijakan ekonomi punya kemiripan dalam satu hal: keduanya tak diformulasi dalam ruang hampa. Jika bisa dibuat dalam kamar kedap suara, tentu seluruh buku teks telah memberikan panduan yang sempurna.
Masalahnya, kerap kali ukuran penilaian kabinet dan kebijakan ekonomi melulu dibenturkan dengan buku teks itu sehingga perasaan gembira atau frustrasi mudah menyergap. Diskursus ini yang terasa penting diangkat pada saat sekarang dengan mencermati dinamika politik di Tanah Air, yang pada saatnya nanti kualitas komposisi kabinet dan mutu kebijakan ekonomi bisa dikalkulasi secara laik. Fakta yang dapat dipungut, banyak pihak yang senang dengan komposisi kabinet (ekonomi) tersebut, juga sepadan dengan yang mencelanya. Demikian pula, ekspektasi terhadap produksi kebijakan ekonomi dilontarkan sangat tinggi sebagai respons keceriaan terhadap figur-figur tertentu yang dianggap kapabel, setara dengan pihak yang berpikiran sebaliknya.

Pergeseran poros ekonomi
Pada saat seluruh keluh kesah bermuara dari situasi domestik, ada baiknya melongok lebih dulu kondisi ekonomi-politik luar negeri. Puncak integrasi ekonomi segera tiba, yakni 2020, sehingga saat ini sebetulnya tinggal menekan tombol terakhir. Artinya, ekonomi tak bisa ditutup lagi tanpa kekuatan dan kekerasan sikap untuk mengubahnya. Dengan demikian, periode pemerintahan baru ini, 2014-2019, masa paling penting untuk menentukan sikap Indonesia: melanjutkan kesepakatan yang telah ditandatangani, menyiasati dengan kebijakan yang cerdas, atau berputar balik dari kesepakatan?

Kita bisa membagi kelompok negara yang telah terlibat (sebagian hanyut) dalam integrasi ekonomi itu dalam tiga kategori: (i) negara predator yang percaya diri akan menjadi pemangsa; (ii) negara pengekor yang menerima kesepakatan tanpa paham risiko; dan (iii) negara negosiator yang menawar kesepakatan dengan keras kepala demi melindungi kepentingan domestik. Berikutnya, sebelum masa 2020 itu tiba, empat tahun terakhir situasi pertarungan global diisi dengan geliat negara menengah yang mencoba menggeser sentral ekonomi dunia. Tiongkok, India, Meksiko, Brasil, Rusia, Afrika Selatan, Turki, dan lain-lain bermanuver untuk mengurangi risiko ekonomi dan finansial dari ketidakpastian global. Pusat kengerian berporos pada fakta tunggal: sejak liberalisasi ekonomi dipacu dekade 1980-an, aneka krisis ekonomi menjadi kerap terjadi. Intensitas riak ekonomi makin intensif, barangkali hanya berjarak 4-5 tahun, itu pun dengan masa pemulihan yang lebih panjang.

Akibatnya, krisis yang satu belum usai, telah hadir malapetaka lain. Negara-negara tersebut mendesak tatanan ekonomi global dengan jalan mengintensifkan kerja sama ekonomi di antara mereka, bahkan belakangan membuat lembaga alternatif untuk keluar dari belitan masalah. Misalnya, 21 negara di Asia membentuk The Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), dengan Tiongkok sebagai motor. AS berang dengan inisiatif itu dan Indonesia—seperti biasa—absen.

Bagian yang paling menarik adalah model sistem dan kebijakan ekonomi yang diambil oleh dua kawasan penting di dunia, yakni Eropa Timur dan Amerika Latin. Eropa Timur—dengan gradasi tertentu—menjiplak sepenuhnya sistem ekonomi pasar yang diterapkan oleh AS maupun beberapa negara Eropa Barat. Ceko, Polandia, dan Hongaria merupakan contoh negara di Eropa Timur yang mengadopsi pola itu dengan hasil yang tak terlalu mengecewakan meski dalam jangka panjang masih terdapat pertanyaan besar.

Sebaliknya, Amerika Latin kukuh memperkuat basis sosialisme yang mereka pakai selama ini, tentu dengan penyesuaian di sana-sini (seperti halnya kapitalisme). Bolivia, Venezuela, Cile, dan lain-lain. Menariknya, mereka bisa menjalani itu dengan relatif mulus, tanpa harus menjadi pengekor yang tersaruk-saruk dalam turbulensi ketidakpastian. Buktinya, ketika hampir semua negara dihajar dengan ketimpangan, Bolivia malah bisa memadukan pertumbuhan dan pemerataan (The Guardian, 14/10/2014). Maknanya, sistem ekonomi tak pernah tunggal.

Sistem produksi
Bagaimana dengan situasi domestik? Jika dipajang dalam tiga pigura, berikut ini gambarnya. Pertama, jika di negara maju dicekam oleh jebakan fiskal oleh utang yang membengkak sehingga defisit fiskal tak terkendali, Indonesia menghadapi misalokasi fiskal yang akut. Data berikut ini penting dicatat. Pada 2005, alokasi belanja birokrasi (belanja pegawai dan barang) 16,37 persen dari APBN dan melonjak menjadi 23,71 persen pada 2013. Belanja modal 6,45 persen (2005) menjadi 10,96 persen (2013); subsidi energi 20,50 persen (2005) menjadi 18,15 persen (2013); dan pembayaran utang 12,79 persen (2005) menjadi 6,85 persen (2013) [LKPP 2005-2013, diolah].

Data ini menarik sebab alokasi belanja modal meningkat, pembayaran utang turun separuh persentasenya, dan subsidi energi relatif stabil (turun sedikit pada 2013). Sebaliknya, pada saat publik berisik mempersoalkan subsidi energi, maka tersimpan rapi pemborosan belanja birokrasi 7 persen dalam sembilan tahun terakhir. Angka 7 persen itu setara Rp 140 triliun dalam RAPBN 2015! Pemahaman terhadap data ini akan menentukan bagaimana nantinya reformasi fiskal dikerjakan.

Kedua, sistem produksi akan meneruskan model yang selama ini dipilih atau merombaknya selaras dengan konstitusi. Faktor produksi tradisional berporos pada urusan alokasi tenaga kerja, lahan, dan modal. Opsi yang diambil ada dua. Pendekatan klasik akan menempatkan pekerja sebagai sekrup korporasi dan mendapatkan upah atas pengetahuan dan tenaganya. Penguasa lahan memperoleh sewa atas jasanya, sedangkan pemilik modal mendapatkan bunga. Model produksi seperti ini menjadi bingkai kegiatan ekonomi global, tak terkecuali di Indonesia, yang kemudian melahirkan kosmos ketimpangan dan eksploitasi.

Pilihan lainnya, ketiga faktor produksi tersebut merupakan satu paket kolektivitas produksi sehingga istilah upah, sewa, dan bunga menjadi lebur. Kegiatan produksi tak terbagi dalam dua kutub yang dikotomis, tetapi manunggal dalam deru usaha bersama. Celakanya, sistem produksi semacam itu justru banyak dijumpai di belahan dunia lain, seperti di beberapa negara Eropa. Indonesia selalu berada di titik persimpangan dan tak pernah berani mengambil pilihan lurus soal ini.

Ketiga, kegagapan dalam mendesain dan mengarahkan sektor keuangan dalam sirkulasi kegiatan ekonomi. Fitrah sektor keuangan dibangun untuk menopang sepenuhnya kegiatan produksi (riil), bukan membelanjakan untuk dirinya sendiri. Pembesaran sangat cepat di sektor keuangan tak berbanding lurus dengan peningkatan volume produksi karena uang (dan derivat lain) berputar di rumahnya sendiri. Uang ditempatkan di bank sebagian dialirkan ke pasar saham, asuransi, dan lembaga keuangan nonbank lain; demikian seterusnya. Perputaran itu bukan hanya membusungkan sektor keuangan dan mengempiskan sektor riil, melainkan juga membuat mahal aktivitas ekonomi.

Aliran dana masuk juga difasilitasi dengan sangat baik lewat bunga tinggi, baik lewat instrumen SBN, SBI, maupun yang lain, sehingga tanpa disadari nisbah ekonomi disedot ke luar. Meski argumen ini tak salah, pengerutan investasi tak semata soal kelangkaan infrastruktur ataupun lambannya perizinan, tetapi juga bagaimana sektor keuangan diregulasi sesuai napas jati diri ekonomi.

Langit kesejahteraan
Deskripsi itu tentu menyimpan banyak persoalan lain yang belum terungkap, tetapi sekurangnya memberi bingkai perspektif persoalan ekonomi. Tantangan terberat para menteri pos ekonomi ialah mengawinkan problem itu dengan platform Presiden. Di titik inilah Kementerian PPN/Bappenas memanggul tugas amat strategis: menjadi pengemudi dan kompas ke mana layar ekonomi hendak diarahkan. Kementerian Luar Negeri telah mengembuskan angin paling kencang dengan pernyataan akan mengubah haluan diplomasi menuju warna ekonomi yang pekat.

Setiap kedutaan di luar negeri mesti menjadi "intelijen ekonomi", antara lain tahu peta potensi ekonomi yang bisa digarap demi memperkuat ekonomi domestik. Namun, itu baru separuh komitmen, sebagiannya lagi harus diteruskan ke isu kedaulatan ekonomi. Diplomasi luar negeri juga menjajaki prospek kerja sama ekonomi sebagai alternatif menghadapi kekuatan poros ekonomi yang telah mapan. Pada era 1950-an, yang berpuncak pada 1955 (Konferensi Asia-Afrika), Indonesia pernah melakukan itu sehingga ikhtiar kedaulatan ekonomi tersebut memiliki spektrum lebih luas.

Kementerian Perdagangan dan Keuangan mesti sigap mengikuti inisiatif yang sudah dibuka menteri luar negeri dalam rupa ragam kebijakan ekonomi luar negeri yang solid. Politik luar negeri yang tegas juga mesti diterjemahkan dalam kebijakan ekonomi luar negeri yang lugas pula, tidak seperti selama ini yang nyaris tak punya sikap. Tentu saja pilihan ini baru dapat diambil jika urusan-urusan domestik di muka juga telah dibereskan. Tiongkok bisa mengambil kebijakan ekonomi yang terkait dengan luar negeri setelah ekonomi domestik ditata dan fase-fase pembangunan telah dilalui dengan baik sehingga keputusan untuk, misalnya, bergabung dalam WTO atau AIIB merupakan pantulan dari situasi ekonomi domestik.

Hasilnya, manfaat yang diperoleh lebih besar ketimbang risiko yang ditanggung. Relasi kebijakan domestik-luar negeri merupakan ramuan yang tak boleh dipisah agar dampaknya tak saling menegasikan. Hingga saat ini belum ada pernyataan sama sekali dari dua kementerian ini soal payung kebijakan yang hendak dibuat pada saat cabang jalan mengharuskan kita membuat pilihan: terus atau belok.

Satu soal lain yang mesti dipadatkan dalam sikap terang adalah kerja investasi dan pengelolaan sumber daya ekonomi. Selama ini, investasi luar negeri menjadi pendorong primer penanaman modal sehingga hal itu dianggap sebagai keniscayaan. Namun, makin lama nisbah ekonomi yang didapat bagi ekonomi domestik kian kabur. Bahkan, residu investasi asing itu makin menyeruak, dari soal repatriasi, kerusakan sumber daya alam, peminggiran penduduk lokal, eksploitasi sumber daya ekonomi, hilangnya potensi penerimaan negara, penciutan lapangan kerja, orientasi ekspor yang menurun, dan lain sebagainya. Strategi investasi yang mempromosikan pelaku ekonomi domestik, khususnya kecil dan menengah, menjadi pertaruhan yang mesti dimenangkan.

Secara lebih spesifik, mandat konstitusi juga memberikan otoritas kepada BUMN untuk mengelola cabang-cabang ekonomi yang penting dan SDA. Kementerian BUMN, Koperasi dan UKM, Perindustrian, dan BKPM mesti menjelaskan arah kebijakan penguatan ekonomi dengan sungguh-sungguh, sambil menghindari munculnya agenda tersembunyi yang kerap tercium sengatnya. Semoga kabinet ekonomi memahami konstelasi ekonomi rumit ini dan mampu memanjat pohon konstitusi sehingga dapat menggapai langit keadilan dan kesejahteraan ekonomi.

Ahmad Erani Yustika Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009873100
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger