Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 04 November 2014

Membiayai Pertumbuhan Ekonomi (Zulkifli Zaini)

MENDORONG pertumbuhan ekonomi berkelanjutan tanpa kesiapan sektor keuangan bagaikan naik mobil menuju suatu tempat, tetapi tidak memiliki bensin yang cukup.
Sektor keuangan sangat penting karena untuk tumbuh 7 persen per tahun, ekonomi harus digerakkan oleh sumber pembiayaan pembangunan yang berkesinambungan. Perbankan masih menjadi sumber pembiayaan utama Indonesia. Dengan penyaluran kredit mencapai Rp 3.494 triliun (Juni 2014), perbankan masih mendominasi sektor keuangan dibandingkan dengan pembiayaan kepada perusahaan melalui emisi saham di pasar modal, emisi obligasi korporasi, dan emisi obligasi pemerintah.

Meski angkanya mencapai ribuan triliun, sebenarnya penetrasi perbankan nasional dalam mendorong ekonomi masih sangat "dangkal" dibandingkan negara lain. Indikasinya terlihat dari kontribusi kredit kepada ekonomi, sebagaimana tecermin dari rasio kredit terhadap PDB (credit to GDP) Indonesia yang sekitar 34 persen. Jauh lebih rendah dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand yang masing-masing mencapai 139 persen, 104 persen, dan 95 persen.

Ironisnya, meskipun penetrasinya masih rendah, level rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (loan to deposit ratio/LDR) perbankan di Indonesia sudah sangat tinggi, di atas 90 persen. Artinya, ruang perbankan untuk memberikan kredit relatif terbatas karena tak memiliki penghimpunan dana memadai. Bahkan, ada bank yang LDR-nya melewati 100 persen, yang berarti kredit yang disalurkan melebihi dana yang mampu dihimpun.

Pertumbuhan kredit beberapa periode terakhir memang tidak mampu diimbangi dengan pertumbuhan dana masyarakat di sistem perbankan. Pertumbuhan kredit (ytd) hingga Juni 2014 mencapai 5,11 persen, atau 17,33 persen secara year-on-year (yoy). Sementara pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) periode yang sama hanya 4,44 persen (ytd) atau sebesar 13,46 persen (yoy).

Pertumbuhan DPK yang belum naik signifikan menyebabkan likuiditas perbankan cenderung rendah. Pada Mei, likuiditas rupiah Rp 34 triliun, turun dibandingkan April yang Rp 51 triliun. Likuiditas perbankan mengalami penurunan tajam sejak BI melakukan kebijakan moneter ketat. Sampai Juni 2013, likuiditas masih di atas Rp 100 triliun, tetapi sejak itu terus mengalami tren penurunan hingga level terendah Rp 19 triliun pada Maret 2014.

Hal ini menunjukkan uang yang berada dalam sistem keuangan sangat minim. Solusinya, harus ada strategi untuk memompa uang untuk masuk ke dalam sistem perbankan.

Dana masuk dan keluar
Mendorong dana masuk ke sistem perbankan bisa dilakukan dengan mengurangi dana yang keluar Indonesia sekaligus memasukkan potensi dana yang ada di luar Indonesia sehingga bisa mengisi DPK perbankan.

Pertama, meningkatkan pengembalian devisa hasil ekspor (DHE). Seiring implementasi Peraturan BI (PBI) tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri, BI mewajibkan seluruh DHE wajib diterima melalui bank devisa paling lambat akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran pemberitahuan ekspor barang (PEB). Pelanggaran atas kewajiban ini dikenai denda hingga Rp 100 juta.

Namun, perbankan belum bisa mengoptimalkan DHE sebagai sumber dana valas. Sebab, bank tak bisa melarang nasabah memindahkan valasnya ke bank luar negeri meski sudah sempat mampir ke Indonesia. Hal ini terkait prinsip devisa bebas yang dianut negara ini. Keengganan eksportir menaruh DHE di bank dalam negeri juga didorong karena valas hasil ekspor tersebut diperlakukan seperti simpanan biasa di bank domestik dengan imbal hasil yang mungkin tak menarik bagi penyimpan. Selain itu, DHE yang disimpan di bank dalam negeri selama ini diperhitungkan sebagai DPK sehingga kalau ada masalah dengan banknya, muncul kekhawatiran menyangkut keamanan dananya.

Solusinya, perlu berbagai langkah strategis untuk mencari jalan keluar agar sikap enggan sebagian eksportir bisa diatasi. Perlu komunikasi intens antara regulator, pemerintah, pihak perbankan, dan Kadin untuk mendorong implementasi PBI tentang DHE dengan lebih optimal.

Kedua, repatriasi keuntungan pihak asing dari Indonesia harus diminimalkan. Beberapa waktu terakhir ini terdapat peningkatan investasi langsung asing (FDI) di Tanah Air. Konsekuensinya, terjadi arus modal keluar (capital outflow) pada saat periode pembayaran dividen atau repatriasi keuntungan ke luar negeri. Untuk mengatasi ini, pemerintah bisa memberikan insentif pajak untuk investor lokal ataupun asing yang mau menginvestasikan kembali (repatriasi) keuntungan dividennya di Indonesia.

Selama ini pemerintah mengenakan Pajak Penghasilan (PPh) final atas dividen sebesar 10 persen yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tentang PPh atas dividen yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri. Pemberian insentif, selain akan menjaga kestabilan rupiah, juga bisa mendongkrak investasi. Insentifnya, misalnya, bagi perusahaan yang menginvestasikan kembali hasil keuntungan atas usahanya di Indonesia, pemerintah akan menghapus PPh final atas dividen ini menjadi nol persen. Insentif ini, menurut rencana, juga bakal berlaku bagi investor domestik.

Ketiga, dana orang kaya Indonesia yang diparkir di luar negeri diupayakan ditarik ke Indonesia. Angka orang kaya di luar negeri sangat fantastis. Misalnya, di Singapura, jumlah kekayaan orang Indonesia lebih dari 200 miliar dollar AS atau sekitar Rp 2.200 triliun! Dari nilai itu, Rp 600 triliun dalam bentuk properti dan Rp 1.600 triliun dalam bentuk dana investasi. Bayangkan jika dana investasi itu bisa ditarik ke dalam negeri, tentunya menjadi tambahan signifikan dalam likuiditas sistem perbankan kita.

Reformasi struktural
Investasi menjadi salah satu hal yang sangat penting untuk meningkatkan pendalaman finansial (financial deepening) di sistem keuangan nasional. Jika investor enggan menempatkan dananya ke dalam negeri, sumber dana dalam sistem keuangan nasional menjadi terbatas. Perlu gebrakan pemerintah dalam memperbaiki kualitas infrastruktur yang perannya sangat krusial ini. Pertama, optimalisasi kebijakan fiskal untuk peningkatan kualitas infrastruktur.

Infrastruktur yang baik akan sangat memberikan pengaruh positif dalam mendorong investasi. Peringkat kualitas infrastruktur Indonesia saat ini masih jauh dari ideal. Kualitasnya, sebagaimana tecermin dalam Indeks Daya Saing Global 2014-2015, memang meningkat, tetapi masih kalah dibandingkan dengan rata-rata negara ASEAN. Peringkat kualitas infrastruktur Indonesia ke-72 dari 144 negara, di bawah Singapura dan Malaysia.

Daya saing infrastruktur yang relatif rendah menyebabkan biaya logistik tinggi. Proporsi biaya logistik Indonesia terhadap PDB 27 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia (15 persen), Jepang (10,6 persen), dan AS (9,9 persen). Dari sisi waktu, waktu tunggu (dwelling time) Pelabuhan Tanjung Priok mencapai lebih dari enam hari, lebih lama ketimbang Malaysia dan Thailand. Indonesia menempati peringkat ke-53 dari 160 negara dalam Indeks Kinerja Logistik 2014.

Ironisnya, di tengah kebutuhan memperbaiki kualitas infrastruktur, alokasi total belanja infrastruktur dalam APBN hanya 2,3 persen dari PDB, lebih rendah dari rata-rata negara berkembang (5,5 persen PDB) dan Tiongkok (8,5 persen GDP). Optimalisasi fiskal, yaitu alokasi APBN untuk infrastruktur, perlu ditinjau kembali. Alangkah bijak jika subsidi BBM yang mencapai 26 persen dari total pengeluaran pemerintah direalokasi untuk pembangunan infrastruktur yang lebih produktif dan memiliki output multiplier yang besar dalam perekonomian.

Kedua, kemudahan birokrasi dan kepastian iklim investasi. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal, realisasi investasi semester I-2014 sebesar Rp 222,8 triliun, atau 48,8 persen dari target 2014 Rp 456,6 triliun. Investasi ini terdiri dari penanaman modal asing (PMA) Rp 150 triliun dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) Rp 72,8 triliun.

Bank Pembangunan Asia memperkirakan investasi swasta di Indonesia tahun 2015 tumbuh lebih baik akibat dampak positif kesuksesan Pemilu 2014. Investasi juga diperkirakan tetap tumbuh meski terjadi pengetatan moneter oleh BI. Pertumbuhan investasi dapat dilihat dari kredit investasi 2015 yang diperkirakan meningkat 30 persen di tengah pengetatan moneter dan secara keseluruhan investasi langsung diperkirakan tumbuh 25 persen semester I-2015 dan terus meningkat hingga akhir 2015. Optimisme pertumbuhan investasi 2015 juga dapat dilihat dari berbagai survei lembaga asing yang menempatkan Indonesia negara terbaik untuk berinvestasi.

Data dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada 2010 menyebutkan, pemilik rekening di Indonesia sekitar 110 juta. Sementara total penduduk sekitar 240 juta jiwa. Perhitungan kasar, masih ada 130 juta orang yang belum memiliki rekening. Ini potensi luar biasa. Hitungan optimistis, masih ada sekitar 60 juta orang yang tak memiliki rekening atau tak memiliki akses ke bank atau modal. Kelompok ini umum disebut unbanked segment.

Selama ini, segmen ini bertransaksi dan menyimpan uangnya dalam bentuk tunai sehingga tak masuk ke dalam sistem keuangan. Hitungan simpel, misalnya ada tambahan 20 juta orang yang menabung Rp 10.000-Rp 20.000 per hari, dalam satu tahun akan ada tambahan DPK sekitar Rp 51 triliun-Rp 102 triliun di perbankan nasional! Angka ini akan menambah likuiditas perbankan dan juga akan meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan budaya menabung dan juga mendapatkan akses layanan keuangan secara menyeluruh.

Caranya, dengan inisiatif layanan branchless banking agar masyarakat bisa mengakses layanan perbankan, seperti menabung, mentransfer, dan menarik dana, tanpa harus datang ke kantor cabang bank, tetapi cukup melalui telepon seluler. Sistem ini ditujukan kepada nasabah di pelosok pedesaan dan jauh dari kantor cabang bank. Dengan cara ini, bank juga bisa efisien dalam menjangkau masyarakat pelosok karena tak perlu mendirikan kantor cabang. Perluasan inklusi finansial bisa memberikan efek domino bagi pertumbuhan ekonomi karena dana masyarakat yang disimpan di bank dapat bergulir menjadi kredit yang membiayai usaha masyarakat. Hal itu akan membuka lapangan pekerjaan serta menambah pendapatan masyarakat yang kemudian akan disimpan kembali di bank dan seterusnya.

Zulkifli Zaini
Ketua Umum Ikatan Bankir Indonesia

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009785270
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger