Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 12 November 2014

Mengaudit Rezim Subsidi BBM (Makmur Keliat)

PANDANGAN beragam muncul dalam menanggapi rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak.
Sebagian menyetujui, sebagian menolak. Watak yang berbeda antara kebijakan fiskal dan kebijakan energi merupakan sebagian sebab mengapa tidak terdapat pandangan utuh dan menyatu dalam menyikapi rencana kenaikan harga BBM.

Kebijakan fiskal
Dari perspektif ekonomi politik, kebijakan fiskal merefleksikan hubungan negara dengan warga negara. APBN adalah salah satu instrumen negara untuk melaksanakan fungsi utama sebagai pemberi kesejahteraan (welfare provider). Melalui APBN, warga negara mengenal wajah negaranya lebih konkret. Misalnya, kemudahan bagi warga negara memenuhi kebutuhan dasar, seperti sandang, pangan dan papan, ataupun pelayanan dasar, seperti pendidikan dan kesehatan, dapat dengan mudah dilacak melalui hitungan kuantitatif pada alokasi anggaran di APBN.

Kebijakan fiskal bukan satu-satunya instrumen. Di samping kebijakan fiskal, wajah negara sebagai pemberi kesejahteraan juga dapat dikenali dari kebijakan moneternya. Melalui penetapan kebijakan tingkat bunga, misalnya, negara melalui Bank Sentral (Bank Indonesia) dapat menetapkan tingkat bunga khusus terhadap sektor ekonomi tertentu untuk tumbuh lebih cepat atau sektor yang dipandang menyerap tenaga kerja terbesar. Dalam konteks Indonesia, fungsi "pembangunan" dari Bank Sentral seperti ini tinggal kenangan. Ia telah jadi catatan kaki historis belaka karena, segera setelah krisis 1997, paket rekomendasi kebijakan yang ditawarkan Dana Moneter Internasional telah menempatkan BI jadi institusi "independen". Tak hanya tidak dapat didikte, baik oleh eksekutif maupun legislatif, secara normatif dan legalistik-formal, tugas dan fungsi utama Bank Sentral kini hanya terfokus pada kebijakan stabilisasi nilai tukar dan harga.

Pada gilirannya, karakter teknokratis dari kebijakan BI ini telah membawa dua konsekuensi khusus terhadap kebijakan fiskal. Pertama, kebijakan fiskal menjadi fokus utama tekanan politik ketimbang kebijakan moneter. Terutama dalam negara demokratis, kebijakan fiskal menjadi arena kompetisi politik terbuka di antara berbagai kekuatan. Kompetisi tak hanya di dalam parlemen, tetapi juga antara parlemen dan eksekutif. Dalam negara demokratis, partai yang memerintah selalu berusaha mewujudkan visi-misi dan janji politik yang disampaikan dalam masa kampanye. Demikian juga di parlemen, berbagai kekuatan akan berusaha mengalokasikan APBN untuk memenuhi aspirasi konstituensi pemilihnya. Hal seperti ini tentu saja tak dapat dilakukan melalui kebijakan moneter yang kini berada di luar jangkauan eksekutif juga legislatif.

Konsekuensi lain, kebijakan fiskal jadi lebih strategis ketimbang kebijakan moneter. Kebijakan fiskal tak hanya berdimensi politik jangka pendek untuk kompetisi sumber daya yang disalurkan secara langsung ke sejumlah kelompok masyarakat tiap tahun. Dalam jangka menengah-panjang, kebijakan fiskal juga lebih strategis untuk mengatasi permasalahan ekonomi struktural, seperti pembangunan infrastruktur yang dianggarkan melalui rangkaian tahun jamak. Kebijakan moneter lebih terkait persoalan ekonomi berwatak siklikal, yang terus berulang, misalnya mengatasi naik turunnya rupiah.

Kebijakan energi
Jika fokus utama dari kebijakan fiskal adalah untuk menggambarkan wajah negara, memiliki karakter sangat politis dalam jangka pendek, dan dalam jangka panjang diharapkan dapat menjadi instrumen untuk mengatasi masalah ekonomi struktural, persoalan kebijakan energi memiliki fokus berbeda. Fokus kebijakan energi pada dasarnya terletak pada dua isu utama, yaitu isu ketersediaan atau pasokan energi yang berkesinambungan dan pada isu harga yang terjangkau.

Dua isu ini memiliki baku kait. Kebijakan energi akan menjadi masalah jika energi tersedia, tetapi harga satuan energinya tak terjangkau warga negara. Kebijakan energi juga problematik jika harganya sangat murah, tetapi dengan akibat pemborosan sumber daya keuangan APBN, terutama bagi jenis energi tak terbarukan, seperti migas. Upaya mencari titik tengah antara ketersediaan dan harga terjangkau inilah yang biasanya jadi pendorong munculnya kebijakan diversifikasi energi. Masalahnya, kebijakan diversifikasi umumnya berdimensi jangka menengah dan panjang, butuh investasi luar biasa.

Bagaimana hubungan karakter kebijakan fiskal terhadap kebijakan energi? Tanggapan kebijakan yang dilakukan sejumlah pemerintah terhadap keterkaitan ini bervariasi. Variasi pertama, dengan memutus hubungan antara kebijakan fiskal dan kebijakan energi. Tanggapan kebijakan seperti ini biasanya diimplementasikan dengan cara membiarkan mekanisme pasar bekerja sepenuhnya untuk mengatasi isu ketersediaan dan harga. Salah satu manfaat yang sering disebut dari tindakan mengisolasi kebijakan energi dari kebijakan fiskal adalah ada ruang lebih luas untuk mengalokasikan anggaran fiskal secara lebih optimal pada upaya memenuhi kebutuhan dasar, pelayanan dasar, dan pembangunan infrastruktur.

Variasi kedua, membuat kebijakan energi sebagai penjuru untuk mendikte kebijakan fiskal. Secara praktis, ini berarti isu tentang harga dan investasi untuk mengatasi ketersediaan energi sebagian besar dilakukan negara. Biasanya negara yang melakukan kebijakan seperti ini memiliki sumber daya energi berlimpah dan kapasitas fiskal besar untuk mendukung kebijakan subsidi harga. Karakter lain, kebijakan energi dianggap bagian dari kebijakan populis untuk memenuhi kebutuhan dasar dan pelayanan dasar bagi warga. Kebijakan seperti ini biasanya rentan melahirkan kegiatan pencarian rente seperti penyelundupan, sebagai konsekuensi tak bekerjanya mekanisme pasar.

Varian ketiga, tipe campuran. Pada model ini negara tak sepenuhnya melepaskan penentuan harga berdasarkan mekanisme pasar. Intervensi harga terbatas masih dilakukan. Misalnya, dengan mematok besaran pagu subsidi harga satuan energi yang diizinkan melalui keputusan politik dan memberikan ruang untuk kompetisi harga di tingkat konsumen akhir. Tipe ini dipandang sebagai "jalan tengah" antara varian pertama dan kedua. Pemerintah tak sepenuhnya antimekanisme pasar dan bersikap setengah hati menggunakan otoritasnya untuk menghilangkan perilaku pencari rente.

Audit rezim subsidi?
Pola hubungan kebijakan fiskal dan energi di Indonesia pada dasarnya tengah berada pada varian ketiga. Hal ini, misalnya, tampak dari adanya tradisi kuat dalam penentuan subsidi harga BBM oleh pemerintah. Namun, pada saat yang sama, terlihat pula mekanisme pasar sedikit banyak diberikan ruang untuk bekerja. Di bagian hilir, misalnya, kita menemukan beberapa perusahaan minyak swasta-asing yang memasok BBM langsung ke konsumen akhir dengan tingkat harga berbeda daripada penetapan harga pemerintah. Di bagian hulu, kita juga bisa melihat hadirnya pelaku swasta di luar Pertamina.

Namun, karena tekanan fiskal varian kedua, varian ketiga ini secara perlahan tengah tergerus dan bergerak menuju varian pertama. Merujuk nota RAPBN yang disampaikan pemerintah Agustus 2014 kepada DPR, tekanan fiskal tampak dari besaran subsidi energi yang kini Rp 363,5 triliun. Ini berarti sekitar 18 persen dari RAPBN atau 3,27 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sementara pembangunan infrastruktur sangat tertinggal. Alokasi pembangunan infrastruktur tak pernah melebihi 2 persen PDB. Karena itu, rekomendasi dalam bentuk konsolidasi kebijakan fiskal jadi suatu keharusan jika memang ingin membenahi infrastruktur.

Namun, rekomendasi kebijakan konsolidasi fiskal tak mudah. Watak kebijakan fiskal yang memang sangat politis dan kebijakan energi tipe ketiga yang dianut Indonesia (yang masih mengakomodasikan perilaku pencarian rente) tentu saja menyulitkan konsolidasi. Salah satu alternatif yang bisa ditawarkan untuk men-"depolitisasi"-kan isu konsolidasi fiskal adalah dengan mengaudit rezim subsidi BBM yang dianut selama ini. Nigeria telah melakukan sekitar dua tahun lalu. Barangkali audit melalui pembentukan komite independen, dengan keabsahan politik tinggi semacam ini, perlu dibentuk dan diadopsi di Indonesia. Tujuannya, menjawab secara lebih jelas tiga pertanyaan berikut. Pertama, siapakah pelaku utama dalam rezim itu. Kedua, bagaimana mata rantai pelaku itu mulai dari hulu hingga hilir. Ketiga, mengidentifikasikan dan menilai siapakah sebenarnya yang memetik manfaat dalam pemberlakuan rezim itu selama ini.

Makmur Keliat 
Pengajar Ekonomi PolitikInternasional, FISIP,  Universitas Indonesia

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010015713
Powered by Telkomsel BlackBerry®

1 komentar:

  1. Untuk apa pihak Pertamina meminta kepada kepala daerah agar mengeluarkan surat edaran untuk menghemat BBM bersubsidi? Lah,operator atawa penjualan BBM bersubsidi kan ada di SPBU milik pertamina. Jual saja BBM bersubsidi di setiap SPBU hanya di satu pompa bensin MAKSIMAL Rp50.000. Tulis di situ 'BBM BERSUBSIDI UNTUK RAKYAT". Kemudian pasang CCTV untuk memantau, mobil siapa saja yang beli di situ.
    Pompa yang lainnya diperuntukkan bagi BBM nonsubsidi. Beres toh?
    SOAL MAFIA DAN PARA PENYELUNDUP, serahkan kepada pihak kepolisian dan para penegak hukum, termasuk TNI di lapangan. Itu tugas pemerintahan Jokowi-JK.

    Bagi Anda yang setuju dengan gagasan ini, silakan dukung gerakan ‪#‎BBMBersubsidiRp50ribu‬

    BalasHapus

Powered By Blogger