Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 13 November 2014

TAJUK RENCANA: Yang Boros, Mewah, Koruptif (Kompas)

MESKIPUN tidak selalu demikian, perilaku ketiganya linier. Yang umum terjadi: hidup boros dan mewah berpotensi koruptif.
Perilaku boros, dalam kasus bahan bakar minyak, diingatkan oleh Presiden Joko Widodo pekan lalu. Uraiannya gampang diikuti, tidak teoretis, membumi, jauh dari wacana retorik. Ajakan untuk hidup hemat layak imperatif karena yang bersangkutan memberikan contoh. Asumsi kaitan kausal boros, mewah, dan korupsi dalam satu tarikan napas memperoleh momentum.

Dampak perilaku pejabat berikut birokrasinya lebih luas dibandingkan dengan sebagai perilaku individual. Positif dan negatif. Dengan perilaku boros dan hidup mewah, salah satu bentuknya konsumtif, roda perekonomian jalan. Sebaliknya kalau syarat untuk boros dan mewah tidak terpenuhi, keinginan korupsi, mengambil yang bukan menjadi haknya, menjadi terbuka sebagai pilihan pertama.

Spekulasi di atas tepat kita rujuk pada perilaku pejabat berikut aparat birokrasi Provinsi Kepulauan Riau, provinsi kaya dengan ibu kota Pekanbaru sebagai kota terkorup di Indonesia. Riau populer tidak hanya masalah asap, kelapa sawit, jurang lebar kaya dan miskin, tetapi juga perilaku bermewah-mewah, boros, dan koruptif pejabatnya.

Kemewahan eksekutif dan legislatifnya membuat kita bengong. Tiga gubernur Riau berturut-turut dipidana karena korupsi, DPRD dengan fasilitas serba wah, tidak menampilkan perilaku pantas diteladani. Perilaku hidup boros dan mewah ditiru aparat birokrasi di bawahnya. Penganggaran daerah sering diakali demi hidup boros dan mewah pejabat.

Pada saat yang sama, rakyat Riau hidup berkubang kemiskinan. Kasus tenda Rp 2 miliar di depan rumah dinas wali kota, berdampingan dengan lokasi kumuh rakyat, membuktikan perilaku boros. Perilaku boros dan semacam itu merupakan pengingkaran tugas pokok pejabat publik sebagai abdi masyarakat.

Secara individu, perilaku boros dan bermewah-mewah tak bisa dilarang. Sejauh sarana tersedia, orang dipersilakan memilih mau hidup boros dan mewah. Menjadi soal ketika untuk boros dan mewah dipenuhi lewat kejahatan, di antaranya korupsi.

Mengapa? Karena perilaku boros dan mewah, apalagi ditambah koruptif, berarti meminum darah dan memakan jantung rakyat. Pajak yang seharusnya dikembalikan untuk kepentingan rakyat direbut untuk kepentingan pribadi, saudara, dan kroninya.

Kriteria pokok pejabat publik dan birokrasinya seharusnya kepentingan rakyat. Imbauan moral etis tidak memadai. Perlu langkah radikal seperti reformasi birokrasi, di antaranya perampingan dan alokasi anggaran daerah untuk tidak hidup boros dan mewah pejabatnya, tetapi untuk peningkatan kemampuan warga. Perilaku boros dan mewah memang bukan kejahatan, tetapi tidak patut.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010062080
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger