Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 13 November 2014

TAJUK RENCANA: Perdagangan Bebas Berkeadilan (Kompas)

KTT APEC di Beijing ditutup dengan kesepakatan para pemimpin untuk mendukung peta jalan menuju Kawasan Perdagangan Bebas Asia Pasifik.
Banyak pihak melihat ini sebagai kemenangan Tiongkok karena Tiongkok paling getol mendorong usulan Kawasan Perdagangan Bebas Asia Pasifik (FTAAP) yang diyakini akan kian membuka peluang bagi Tiongkok berperan lebih besar dalam perdagangan barang global. FTAAP yang hadir di tengah euforia dunia terhadap kesepakatan perdagangan bebas, baik bilateral, regional, maupun multilateral, diharapkan akan kian memacu ekonomi dan perdagangan di antara 21 anggota APEC.

Akses pasar lebih besar menjadi kepentingan banyak negara, tak terkecuali Indonesia. Beberapa dekade terakhir, perdagangan menjadi motor utama pertumbuhan dan kemakmuran global, selain investasi. Persoalannya, kita menghadapi ketimpangan dalam hal akses pasar karena ketimpangan dalam tahap kemajuan ekonomi.

Pada KTT APEC di Beijing, meski para pemimpin menyetujui sejumlah inisiatif untuk mendorong pertumbuhan dan perdagangan yang berkeadilan (fair trade), dalam kenyataannya kepentingan mewujudkan free trade lebih sering mengemuka ketimbang fair trade. Padahal, secara agregat benefit perdagangan global akan lebih besar jika free trade berjalan paralel dengan fair trade sehingga tak ada istilah the winner takes all atau zero sum game.

Langkah penghapusan hambatan tarif dan nontarif serta berbagai kebijakan yang sifatnya preferensial, baik terhadap negara tertentu maupun industri tertentu, atas nama perdagangan bebas, sering kali dilakukan tanpa melihat tingkat kemajuan ekonomi negara secara individual. Akibatnya yang terjadi bukan aliran kemakmuran ke negara yang secara ekonomi tertinggal, tetapi justru sebaliknya.

Mewujudkan fair trade semestinya juga menjadi kepentingan besar Indonesia mengingat banyak pelaku usaha kecil dan 35 juta penduduk miskin masih perlu dilindungi dari dampak kompetisi bebas yang kurang menguntungkan. Selama ini, agresivitas untuk mengadopsi komitmen kesepakatan global sering kali tak diimbangi dengan kemampuan mengakses pasar negara lain.

Indonesia gagal memetik peluang menjadi bagian penting dari rantai produksi global dan lebih banyak menjadi pasar akibat persoalan kesiapan dan daya saing. Semua ini juga tak terlepas dari rezim perdagangan dan investasi yang dinilai terlalu liberal dan terbuka bagi masuknya impor.

Dalam hal ini, kita menyambut baik sikap Presiden Joko Widodo yang memilih berhati-hati menyikapi FTAAP dan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) dengan mengedepankan terakomodasinya kepentingan nasional dalam setiap kesepakatan. Prinsipnya, setiap komitmen yang dibuat harus mendatangkan manfaat bagi rakyat dan perekonomian dalam negeri, bukan sekadar menggelar karpet merah lebar-lebar bagi pemain dan produk asing. Namun, pada saat yang sama, Indonesia juga harus ngebut mengatasi ketertinggalannya dalam memetik manfaat dari akses pasar yang kian terbuka lebar.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010061654
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger