Menimbang pengalaman hidup berdemokrasi kita, semua perlu menyadari bahwa daya tahan dari suatu harapan hanya bisa dirawat dengan kesadaran akan ruang kesempatan, sekaligus keterbatasan yang tersedia dari struktur dan proses politik real maupun kapasitas kelembagaan dari ruang politik yang ada.
Keinsafan akan kompleksitas batasan sekaligus kesempatan dari ruang politik ini agaknya penting jadi catatan menyambut pengumuman Kabinet Kerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla maupun kebijakan-kebijakan yang akan lahir selanjutnya. Dengan kesadaran akan keterbatasan maupun kesempatan politik yang tersedia, kita dapat menumbuhkan atmosfer skeptisisme yang sehat (healthy skepticism) dan menghindari pesimisme yang merusak (corrosive pessimism) dalam kehidupan berbangsa.
Skeptisisme yang sehat adalah sebuah sikap yang disadari, baik oleh para elite politik maupun warga negara, bahwa kritik dan koreksi adalah mutlak bagi kemajuan politik di masa depan. Namun, kritik dan koreksi itu mesti diniatkan untuk merehabilitasi tatanan politik, bukan menghancurkannya. Sebuah sikap kritis yang dilandasi kearifan bahwa dunia politik tidaklah sempurna. Dengan demikian, kita sebagai warga negara memiliki tanggung jawab untuk terus-menerus memperbaikinya. Sementara pesimisme yang merusak adalah sikap yang dilandasi oleh sikap apatisme muram tanpa menyadari realitas proses politik yang terjal.
Skeptisisme sehat
Untuk menumbuhkan suasana skeptisisme yang sehat sehingga bermanfaat bagi penguatan demokrasi, ada baiknya kita membaca karya Matthew Flinders (2012), Defending Politics: Why Democracy Matters in the Twenty-First Century. Menurut akademisi Inggris yang bersimpati pada kekuatan politik buruh di Inggris ini, ada dua hal yang perlu dimiliki untuk merawat sikap skeptisisme yang sehat.
Pertama, untuk merawat harapan atas kemajuan politik, setiap orang—baik elite politik maupun warga negara—harus menyadari bahwa kemajuan dapat diraih tidak hanya dengan tuntutan, tetapi juga dengan keinsafan bahwa baik rakyat maupun elite politik harus berkorban bersama merasakan pil pahit ketika merealisasikan tujuan politik yang disepakati bersama.
Kedua, setiap warga menyadari bahwa sebuah dinamika pembuatan kebijakan publik tidaklah lahir di ruang hampa kekuasaan. Keberhasilan realisasi bagi kebijakan yang lebih maju harus dilandasi oleh keseimbangan antara tekanan politik progresif sekaligus sebuah kesabaran bahwa relasi kuasa yang timpang sebagai penghambat kemajuan tidak bisa ditundukkan dalam semalam.
Keseimbangan politik untuk menuntut hak dan kesejahteraan, disertai sikap proporsional menanggung biaya politik ketika secara spesifik kebijakan tersebut membutuhkan pengorbanan, adalah kunci bertahannya sebuah harapan. Sayangnya, ini sering kali kita abaikan. Dalam wacana ideal, kita bersepakat bahwa pemerataan ekonomi dan penegakan keadilan sosial adalah penting. Namun, banyak dari kita memprotes ketika jalan yang tersedia untuk itu adalah mengalokasi subsidi BBM yang begitu besar di tengah keterbatasan APBN untuk sektor-sektor masyarakat marjinal yang lebih membutuhkan subsidi lebih besar. Demikian pula kita kerap menuntut pelayanan publik yang lebih baik, tetapi kita menolak ketika harga yang harus dibayar untuk mewujudkannya adalah pajak bagi kita harus dinaikkan.
Sementara kritik pada elite politik terkait dengan hal di atas, sejak masa kampanye sampai saat ini Presiden Jokowi dalam ekspektasi harapan yang begitu besar tidak pernah memberikan sinyal bahwa sebuah harapan yang begitu besar jangan dibiarkan terbang ke langit. Sebab, ia juga harus berjejak di bumi manusia dengan biaya dan pengorbanan. Harapan itu ibarat sebuah pantun Nusantara: //berakit-rakit ke hulu/berenang-renang ke tepian/bersakit-sakit dahulu/bersenang-senang kemudian//. Sebuah pantun yang telah lama diingatkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada 1963 sebagai sebuah jalan untuk menjadi bangsa yang besar.
Kabinet Kerja
Demikian pula merawat harapan juga berhubungan dengan kesadaran bahwa arena politik dan pembuatan kebijakan tidak tumbuh dalam ruang politik yang kedap kekuasaan. Artinya, upaya untuk memperjuangkannya tidak hanya ditentukan oleh itikad baik dari pemimpin, mengingat kebijakan adalah buah dari pertarungan kekuasaan. Dalam kesadaran demikian, kita dapat melihat sebuah inisiatif membina negara dalam dimensi yang utuh dengan menghormati capaian positif maupun kelemahan-kelemahannya sebagai negosiasi politik, yang suka atau tidak suka harus diambil.
Hal ini, misalnya, dapat kita saksikan dalam perumusan Kabinet Kerja yang jika dipandang secara proporsional memunculkan profesional brilian di bidangnya. Mereka adalah teknokrat ataupun aktivis politik berkomitmen tinggi, di samping beberapa politisi—yang tak bisa dimungkiri—dipilih sebagai hasil dari kompromi politik elite. Sebuah formasi pemerintahan yang, dalam usaha maksimalnya, lahir dari tatanan politik reformasi yang belum bisa secara tuntas melepaskan diri dari warisan langgam kekuasaan Orde Baru.
Di tengah keterbatasan ruang politik, kita masih bisa menyaksikan beberapa celah harapan, seperti Kabinet Kerja yang memunculkan kehadiran perempuan cukup tinggi, yakni 8 orang (23 persen). Juga berkualitas baik, dengan munculnya profesional tangguh seperti Susi Pudjiastuti (Menteri Kelautan dan Perikanan); diplomat berpengalaman seperti Retno Lestari Priansari Marsudi sebagai Menteri Luar Negeri perempuan pertama kita; serta Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, srikandi demokrasi Indonesia yang digembleng sejak era akhir Orde Baru. Benih harapan telah tumbuh di pekarangan rumah republik kita. Pada era Kabinet Kerja ini, mari kita rawat harapan ini dengan pupuk kritik, koreksi, dan apresiasi secara sehat agar harapan dapat berbuah perubahan bagi Indonesia yang lebih hebat di masa depan.
Airlangga Pribadi Kusman Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010198796
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar