Pahlawan sejati tidak minta pengakuan dan tidak mengharap imbalan apa pun. Sebaliknya, mungkin saja ada orang yang secara resmi ditetapkan menjadi pahlawan dengan keputusan presiden, tetapi di mata bangsanya tidak layak memperoleh penghormatan setinggi itu.
Penghargaan sebagai pahlawan dapat diberikan bukan oleh bangsanya sendiri. Douwes Dekker Multatuli, pembela rakyat Lebak, Banten, bisa kita anggap pahlawan. Marquis de Lafayette, revolusioner Perancis, di mata bangsa Amerika Serikat terlihat sebagai pahlawan.
Maya dan nyata
Di dunia pewayangan, Abimanyu adalah seorang pahlawan muda pembela bangsa. Sampai Bharatayudha berkecamuk beberapa hari, ia masih diasingkan di tempat yang aman dan nyaman, di Keraton Wirata, bersama istri mudanya, Dewi Utari. Jiwa kesatria Abimanyu resah sebab ia tahu bahwa putra pepunden dan saudara-saudaranya tengah menyabung nyawa di medan laga Kurusetra.
Maka, alangkah senang ia ketika dijemput sepupunya, Gatotkaca, dan diperintahkan oleh Prabu Puntadewa untuk maju perang. Situasi di kancah pertempuran sangat gawat. Pihak Pandawa terkepung oleh Kurawa yang dipimpin senapatinya, Begawan Durna. Prabu Puntadewa terancam akan segera tertangkap, atau bahkan gugur. Padahal, andalan Pandawa, yakni Arjuna dan Bima, teperdaya siasat Durna sehingga terpancing mengejar lawannya sampai jauh dari kancah laga Kurusetra.
Abimanyu tanpa ragu terus maju, membedah jepitan bala tentara Kurawa. Luka-luka di sekujur tubuhnya tak ia hiraukan. Ia tahu bahwa akan "dimakan" sumpahnya sendiri. Untuk mempersunting Dewi Utari, pembawa wiji raja, ia bersumpah mau mati dikerocok senjata dalam Bharatayudha, kalau ia sudah beristri. Padahal, ia sudah menikahi Dewi Siti Sundari, putri Prabu Batara Kresna, di Dwarawati. Akhirnya kepungan Kurawa dapat dipecahkan meskipun Abimanyu akhirnya gugur sebagai pahlawan kusuma bangsa.
Di dunia nyata, kepahlawanan ala Abimanyu kita lihat pada Komodor Yos Soedarso yang gugur dalam pertempuran di Laut Aru. Seperti Abimanyu, Yos Soedarso juga menghadapi musuh yang jauh lebih kuat. Dalam hal peralatan militer, armada kecil yang dikomandoinya dari KRI Macan Tutul tidak sebanding dengan AL Belanda dibantu pesawat-pesawat tempur dari Lanud Biak atau kapal induk Karel Doorman.
Seperti Abimanyu pula, Yos Soedarso dengan gagah berani terus maju, sampai ajal menjemputnya. Berbeda dengan Abimanyu, Yos Soedarso tidak berhasil memorak-porandakan musuh. Namun, Belanda dan bahkan dunia menjadi sadar bahwa Indonesia tidak main-main dalam tekadnya untuk membawa Papua ke dalam ribaan Ibu Pertiwi. Yos Soedarso menjadi pahlawan. Ia dianugerahi kenaikan pangkat luar biasa atas jasanya bertindak melebihi panggilan tugasnya, menjadi laksamana madya (anumerta), karena komodor di ALRI itu sekarang disebut laksamana pertama.
Pejuang tanpa perang
Tokoh pejuang pemberani tidak harus gugur di medan perang untuk menjadi pahlawan. Jenderal Robert Edward Lee, komandan tentara "Abu-abu" Konfederasi Selatan dalam "Perang Budak" di Amerika, tidak gugur dalam perang saudara melawan tentara "Biru" dari Uni Utara. Namun, kepahlawanannya diakui, bukan saja pihak Selatan, melainkan juga oleh pihak Utara. Ia dinilai sejajar dengan Jenderal Ulysses S Grant, Komandan Tentara Biru yang kemudian menjadi Presiden Amerika selama dua periode (1869-1877).
RA Kartini juga bukan laskar srikandi yang gugur di medan bakti. Namun, perjuangannya dalam emansipasi wanita menjadikannya pantas kita sebut sebagai pahlawan. Marianne Katoppo, teologiwati-cum-feminis yang fasih berbicara dalam beberapa bahasa (termasuk bahasa Swahili), terkesan mengecilkan jasa RA Kartini. Alasannya, karena Kartini mau dimadu, menjadi selir Bupati Rembang. Namun, menurut Hadi Waratama, rekayasawan-cum-filologiwan (ITB), Marianne Katoppo sebagai orang Minahasa tidak memahami adat kebiasaan priayi Jawa. Kartini terpaksa menolak beasiswa untuk belajar di Negeri Belanda sebab pada waktu itu ia sudah beranjak remaja putri yang harus dipingit. Ia mau menjadi selir saking hormatnya kepada ayahandanya, yang menjodohkannya dengan Bupati Rembang.
Pahlawan-pecundang?
Apakah Marsinah pahlawan? Pahlawan pejuang buruh? Bagaimana Wiji Thukul, yang puisi- puisi dan aksi demonya ikut mengobarkan reformasi? Juga Munir, yang konon disuguhi "madu" dalam perjalanannya ke Negeri Belanda? Di mata orang-orang Indonesia yang pro demokrasi dan keadilan, barangkali mereka adalah pahlawan.
Lalu, Bung Karmo (BK) itu pahlawan atau bukan? Resminya RI-1 itu bukan pahlawan nasional, melainkan proklamator. Bahkan BK tidak beristirahat dengan damai di TMP Kalibata. Konon keinginan keluarganya agar BK dimakamkan di Batutulis, sesuai dengan wasiatnya, tak terkabul. Di hari-hari terakhirnya, dalam keadaan sakit, BK terisolasi. Mungkin itu bagian dari, yang oleh sementara orang dijuluki, "kudeta merangkak".
Kita masih menunggu untuk melihat bagaimana sikap RI-1 ke-7 terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu. Apakah "maafkan dan lupakan" (forgive dan forget) dan "yang sudah ya sudah" (let bygones be bygones)? Ataukah pengemban amanat "Trisakti" itu juga akan berpegang pada petuah "jas merah"?
Menggelar pengadilan HAM bagi sementara pihak bagaikan menggosokkan garam di luka lama. Namun, dengan membiarkan saja pelanggaran HAM itu selama belasan, likuran, dan bahkan puluhan tahun berarti kita hanya berpura-pura mengugemi sila kedua Pancasila. Bagaimana resolusi dari dilema ini?
Semoga Presiden Joko Widodo mengambil jalan tengah sehingga tak ada pihak yang kalah. Selesaikan perkaranya seadil-adilnya sampai tuntas, lalu maafkan mereka yang bersalah atas nama rakyat. Bukankah ada hak grasi dan amnesti di tangannya?
L Wilardjo Fisikawan
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009917334
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar