Kita belakangan ini disuguhi tontonan tentang kekerasan—yang menunjukkan rendahnya peradaban, rendahnya nilai-nilai budaya serta penghargaan terhadap sesama manusia—yang terjadi di berbagai belahan dunia.
Di Irak dan Suriah, sepak terjang kelompok bersenjata yang menamakan dirinya Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS/ISIS) sudah benar-benar di luar batas kemanusiaan. Begitu banyak orang dibunuh dengan cara-cara yang tidak beradab. Begitu banyak pula orang yang terpaksa meninggalkan rumahnya, kotanya, untuk mencari selamat.
Di sejumlah negara Afrika—misalnya Mali, Nigeria, Kenya, dan Somalia—beroperasi sejumlah kelompok radikal, kelompok militan. Sebut saja, Boko Haram, AQIM, MOJWA, Ansaru, dan Al Shabab. Kelompok-kelompok ini mengatasnamakan tatanan moral, tatanan agama, menghalalkan segala cara untuk tercapainya tujuan mereka. Operasi mereka telah menciptakan instabilitas keamanan dari Mauritania hingga Somalia; dari Laut Merah di bagian timur hingga Laut Atlantik di bagian barat.
Apa yang terjadi di Kenya belum lama ini, misalnya, menjelaskan tentang sepak terjang Al Shabab. Mereka menyerang dan membunuh penumpang sebuah bus sebagai balas dendam atas tindakan polisi Mombasa terhadap anggota mereka saat menggeledah sebuah masjid. Diberitakan, 26 orang tewas dibunuh mereka.
September tahun lalu, Al Shabab menyerang sebuah pusat perbelanjaan di Nairobi. Secara membabi buta mereka menembaki pengunjung pusat perbelanjaan itu. Sebanyak 67 orang ditembak mati. Ini baru cerita yang dilakukan oleh Al Shabab. Lain lagi dengan yang dilakukan kelompok Boko Haram, yang menculik perempuan-perempuan muda dari sebuah asrama.
Mengapa mereka melakukan semua itu? Ada banyak penyebab yang mendorong mereka melakukan tindakan seperti itu, yakni mulai dari alasan ekonomi hingga agama; mulai dari persaingan etnis hingga dorongan untuk merdeka. Namun, alasan agama menjadi lebih dominan.
Militansi religius memang muncul di mana-mana, tidak hanya di Afrika, tetapi juga di berbagai belahan dunia lain, seperti yang pernah terjadi di Irlandia. Dalam hal ini, agama telah dijadikan sebagai alat untuk mempersatukan dan menggerakkan orang melakukan radikalisasi. Agama juga digunakan untuk mendominasi politik, pendidikan, dan juga pikiran.
Dengan demikian, agama tampil dalam dua wajah bertentangan: merupakan tempat untuk menemukan kedamaian, kedalaman hidup, dan harapan, sekaligus dikaitkan dengan fenomena kekerasan, konflik, dan penindasan. Sungguh sangat memprihatinkan.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010320840
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar