Tulisan ini tak hendak memberi komentar terhadap menteri yang telah ditunjuk menjadi nakhoda kementerian, tetapi menyoroti persoalan dan tantangan utama yang dihadapi kabinet secara keseluruhan dalam mewujudkan program Nawa Cita.
Sumbatan mesin birokrasi
Sudah diakui baik di tingkat internasional maupun pemerintah lokal bahwa birokrasi memainkan peran sangat vital dalam pembangunan. Kemajuan beberapa negara di Asia--Jepang, Tiongkok, Singapura, Malaysia, dan Korea Selatan--sangat ditentukan kemampuannya merombak total kultur dan struktur birokrasi. Harus dicatat, melakukan perubahan birokrasi bukanlah jalan mudah dan singkat, malah sering menghadapi masalah keberlanjutan.
Persoalan birokrasi di Indonesia sangatlah kompleks, terbentang dari masalah mengubah kultur birokrasi yang tidak berintegritas, tumpang tindih peraturan perundang-undangan, struktur organisasi yang gemuk dan boros, proses bisnis pemerintahan yang lamban dan tidak efisien, sumber daya manusia yang tak kompeten dan tak profesional, penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme, hingga persoalan pelayanan kepada publik yang tak responsif dan tak akuntabel. Semua ini dapat dibuktikan melalui beberapa indikator global.
Menurut survei Political Economic Risk Consultancy pada 2012, Indeks Efisiensi Pemerintahan di Indonesia adalah 8,37 (dari skor 1 terbaik dan 10 terburuk), Indeks Keefektifan Pemerintahan di Indonesia pada 2013 menurut Forum Ekonomi Dunia adalah 42 (dari skala 1 terburuk hingga 100 terbaik), Indeks Persepsi Korupsi menurut IT pada 2013 adalah 32 (dari skala 1 terburuk dan hingga 100 terbaik), sementara untuk kemudahan berbisnis pada 2014 menurut Bank Dunia berada pada peringkat ke-120.
Masalah utama implementasi program pembangunan di Indonesia adalah birokrasi yang tidak memiliki kapabilitas yang meliputi keahlian dan kapasitas, budaya yang masih tidak berbasis meritokrasi, dan kebijakan publik yang tidak berbasis pada pengetahuan dan bukti data. Orientasi penganggaran yang saat ini masih bersifat tahunan telah membelenggu kementerian, lembaga, pemerintah daerah untuk berpikir jangka panjang.
Kondisi ini diperparah oleh ketidakmampuan birokrasi merumuskan anggaran berbasis kinerja. Sebagian besar perencanaan dan anggaran birokrasi masih beorientasi pada input dan output, bukan pada pencapaian outcome dan impact bagi masyarakat. Karena itu, peningkatan besarnya APBN/APBD setiap tahun tak berkorelasi dengan kesejahteraan masyarakat. Jalan keluarnya: menetapkan Indikator Kinerja Utama untuk setiap kementerian, lembaga, pemda sesuai dengan visi presiden dan diturunkan di level unit organisasi hingga ke level individu sebagai basis pengukuran kinerja dan pemberian kompensasi.
Sumbatan pembangunan di birokrasi juga terjadi karena buruknya koordinasi dan penjajaran program dan kegiatan pembangunan antarsektor. Berbagai urusan pemerintahan sering kali terfragmentasi di beberapa kementerian dan lembaga, yang satu dengan lainnya tidak memiliki ketersambungan indikator kinerja dengan sasaran strategis pembangunan yang akan dicapai. Kesulitan ini terletak pada struktur organisasi kementerian atau lembaga yang sangat terfragmentasi, tumpang tindih tugas pokok dan fungsi, buruknya proses bisnis pemerintahan, serta peraturan perundang-undangan sektoral yang tidak harmonis.
Selain menyebabkan inefisiensi belanja negara, hal ini juga menyebabkan sulitnya pencapaian keefektifan pemerintahan. Tantangan utama pemerintah baru adalah bagaimana mengurangi keperluan koordinasi antarkementerian atau antarlembaga dengan menata ulang dan, jika perlu, menghapus sejumlah unit organisasi yang tidak dibutuhkan. Desain struktur organisasi harus diubah dari struktur terpecah-belah ke struktur terkonsolidasi. Selain itu, program proyek multisektor harus diperkuat untuk mengurangi fragmentasi dan ego sektoral.
Persoalan birokrasi yang perlu dapat perhatian serius dari pemerintah adalah membangun kepemimpinan perubahan. Komposisi SDM birokrasi saat ini, baik secara budaya, kualitas, kuantitas, maupun distribusi sangat sulit diharapkan jadi penggerak perubahan dan pembangunan. Budaya birokrasi di Indonesia secara umum masih ditandai ketidakmampuan berinovasi dan menerobos, masih berorientasi pada jabatan struktural--bukan fungsional, lebih mengedepankan aspek peraturan perundang-undangan, bukan kinerja.
Sebagai akibatnya, birokrasi Indonesia terkesan sangat lamban dan tak memiliki sensitivitas terhadap perubahan lingkungan dan tuntutan masyarakat, bahkan secara umum masih dapat dikatakan doing business as usual. Birokrasi Indonesia juga mengalami gejala overstaff dan understaff; jumlah pegawai sangat banyak, tetapi tak punya keahlian dan kompetensi yang dibutuhkan. Meskipun harus juga diakui masih banyak pegawai yang memiliki kompetensi, jumlahnya tidak signifikan menggerakkan perubahan. Pemerintah baru harus melanjutkan seleksi dan promosi terbuka pegawai aparatur sipil negara (ASN) secara benar dan objektif berbasis kompetensi dan integritas.
Fragmentasi pusat-daerah
Tantangan utama lain Kabinet Kerja adalah fragmentasi pemerintah secara vertikal antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Mengelola pemerintahan yang bercorak desentralistis saat ini tak mudah, apalagi dengan konfigurasi politik di pemerintahan daerah yang sangat heterogen. Rencana Pembangunan Jangka Menengah lima tahun dan Rencana Kerja Pemerintah tahunan tidaklah berada dalam ruang hampa di kementerian dan lembaga, tetapi harus tersambung sampai di dinas, badan, kantor di provinsi dan kabupaten/kota.
Bagaimanapun baiknya rencana strategis dan program kerja pemerintah pusat di setiap sektor, hal itu tak mudah dilaksanakan di kabupaten/kota. Otonomi daerah yang sangat besar telah melahirkan dampak munculnya egoisme daerah dan independensi pemerintahan yang sangat kuat. Harus diakui saat ini hanya ada tiga kekuasaan utama pengontrol pusat terhadap daerah: pembagian keuangan (DAU, DAK, bagi hasil, dan transfer lain), pemberian formasi jabatan pegawai ASN, wewenang pemerintahan umum (pembatalan perda, pelantikan kepala daerah, dan lain-lain).
Kesulitan melakukan koordi- nasi pemerintahan dan pembangunan antara pusat dan daerah akan semakin sulit dengan pemerintahan yang terbagi saat ini. Blokade pemerintahan bukan saja akan terjadi di tingkat pusat antara DPR dan Kabinet Kerja dalam proses legislasi, persetujuan dan penetapan anggaran, melainkan juga dalam pengawasan kerja pemerintahan. Blokade pemerintahan juga akan terjadi di pemerintahan daerah sebagai akibat pemerintahan yang terbagi setelah Pilpres 2014. Konfigurasi politik yang heterogen antara Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih juga akan mengalir sampai di pemerintahan daerah.
Pada masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu I dan II, upaya penguatan koordinasi pusat daerah dilakukan Presiden SBY dengan membentuk sistem pemantauan pembangunan yang dikendalikan UKP4. Dengan pengalamannya sebagai wali kota Solo dan gubernur DKI, Presiden Jokowi tentu paham betul bagaimana memperkuat koordinasi dan hubungan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat harus berperan efektif melakukan fungsi koordinasi, supervisi, pembinaan, dan pengendalian pembangunan di daerah masing-masing. Program Nawa Cita akan diwujudkan dengan baik jika presiden berkomitmen mempercepat reformasi birokrasi serta memperbaiki hubungan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Strategi blusukan Kabinet Kerja harus disertai dengan upaya membangun dan mereformasi sistem birokrasi serta hubungan antara pusat dan daerah. Semoga.
Eko Prasojo Guru Besar Administrasi Negara FISIP UI; Ketua Umum IAPA
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009918788
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar