Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 23 Desember 2014

LAPORAN INTERNASIONAL: Radikalisme yang Mengail di Air Keruh (Kompas)

SERANGAN teror 11 September 2001 telah mengubah wajah dunia secara keseluruhan. Amerika Serikat menginisiasi perang melawan teror, yang mencapai puncak 10 tahun kemudian dengan tewasnya Osama bin Laden, pemimpin Al Qaeda yang dituding berada di balik serangan 9/11 itu.

Beberapa bulan sebelum Bin Laden tewas, gerakan massa pro demokrasi bergulir di dunia Arab. Musim Semi Arab, demikian fenomena itu dikenal, memberi harapan bertiupnya angin kebebasan dan demokrasi. Ideologi Al Qaeda dan model kekerasan kelompok radikal pun terasa mulai ketinggalan zaman.

Namun, harapan tinggal harapan. Pada akhir 2014, bukan ideologi radikal, melainkan prediksi keruntuhannya yang berantakan. Seperti ditulis Peter Neumann, profesor ilmu keamanan dari King's College London, Inggris, Al Qaeda dan kelompok sempalannya mengail di air keruh, mengambil keuntungan dari konflik dan ketidakstabilan politik yang muncul. Termasuk di negara-negara yang dilanda Musim Semi Arab.

Faktanya, Pusat Internasional Studi Radikalisasi (ICSR) bekerja sama dengan BBC mencatat, sepanjang November 2014 tercatat 664 serangan kelompok radikal dan menewaskan 5.042 orang. Jumlah korban itu jauh lebih banyak daripada orang yang kehilangan nyawanya pada serangan 9/11.

Munculnya kelompok militan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang menguasai sebagian wilayah dua negara itu menjadi pusaran utama kebrutalan tersebut. Namun, serangan kelompok radikal ini juga terjadi sekurangnya di 12 negara lain.

Pada bulan itu hampir 800 orang tewas di Nigeria akibat kekejaman Boko Haram. Jumlah korban hampir sama tercatat di Afganistan karena ulah Taliban. Ratusan orang meregang nyawa karena perbuatan Al Qaeda di Jazirah Arab (AQAP) di Yaman dan Al Shabab di Somalia.

Yang memprihatinkan, lebih dari 51 persen korban tewas adalah warga sipil. Secara rerata, pada November saja terjadi lebih dari 20 serangan per hari, dengan korban tewas hampir 170 orang. Betapa besarnya kerugian dan dampak serangan atas nama ideologi yang ditentang oleh sebagian besar penduduk dunia.

Modus serangan pun lebih bervariasi dari sekadar ledakan bom bunuh diri, termasuk menabrakkan kendaraan ke kerumunan massa atau penyanderaan. Terakhir, Tehreek-el-Taliban di Pakistan menyerang sekolah yang dikelola militer di Peshawar, menewaskan tak kurang dari 132 siswa.

Muncul juga fenomena lone wolf, serigala tunggal, simpatisan yang tidak secara langsung terkait kelompok radikal mana pun. Aksi serangan tunggal ini belakangan dirasakan juga oleh negara Barat, terutama yang bergabung dengan koalisi AS melawan NIIS, seperti Perancis dan Australia.

Kekerasan dan teror yang diciptakan sangat berperan melonjakkan jumlah pengungsi di seluruh dunia. Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) mencatat, jumlah pengungsi tahun ini mencapai 51,2 juta, terbanyak sejak era Perang Dunia II.

Di sisi lain, fokus AS dan negara Barat pada perang melawan terorisme disebut turut berperan membuat mereka terlambat merespons peningkatan aktivitas militer Rusia. Ini menjadi salah satu penyebab memanasnya konflik di Ukraina dan kawasan Baltik.

Di tengah keriuhan tahun politik di Tanah Air, program Poros Maritim Dunia dan kesiapan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, bangkitnya radikalisme baru tetap perlu diwaspadai pada pemangku kepentingan di Indonesia. (WAS)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010840961
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger