Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 22 Desember 2014

LAPORAN METROPOLITAN: Meluruhnya Tembok Ego Sektoral (Kompas)

JIKA  tidak ada aral melintang, tanggal 29 Desember nanti Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2015 Provinsi DKI Jakarta rampung dibahas. Inilah bagian dari komitmen DPRD DKI untuk mengakhiri hiruk-pikuk politik yang melanda Ibu Kota sepanjang tahun 2014.

Tecermin kebesaran hati para elite politik untuk melepaskan ganjalan di hati setelah Pemilu Presiden 2014. Saatnya eksekutif, legislatif, dan semua pihak terkait menjawab kelelahan warga Ibu Kota dan sekitarnya. Molornya pembahasan RAPBD tempo hari sedikit banyak mempertajam disharmoni DPRD dan eksekutif. Kini, friksi itu sudah mulai terkompromikan.

Sekat-sekat pengganjal hubungan pemerintah pusat dan daerah di wilayah Ibu Kota pun saatnya meluruh. Duduknya mantan Gubernur DKI Joko Widodo di Istana Kepresidenan kiranya bisa mengatasi kebuntuan koordinasi-eksekusi selama ini.

Bukankah program-program strategis untuk mengurai persoalan Ibu Kota selama ini memang "tersandera" ego sektoral?

Dalam upaya mewujudkan Ibu Kota berkelas dunia, tampaknya tak satu pihak pun rela jika Jakarta terus-menerus dibekap persoalan yang menurunkan kualitas hidup masyarakat. Sebutlah, misalnya, kemacetan lalu lintas, banjir, dan krisis air bersih. Belum lagi masalah sosial berskala metropolitan.

Penanganan beragam masalah klasik itu membutuhkan intervensi langsung pemerintah pusat karena sudah melintas wilayah Provinsi DKI, Jawa Barat, dan Banten. Berlarut-larutnya masalah tersebut juga tak lepas dari faktor daerah tetangga.

Harap maklum, pada siang hari, populasi manusia di Ibu Kota mencapai 12 juta jiwa. Pada malam hari, 2 juta-3 juta populasi yang berstatus komuter kembali beristirahat di daerah tetangga: Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Secara geografi, Jakarta dialiri dan menjadi muara sungai-sungai besar yang mengalir dari Jawa Barat dan Banten. Buruknya pengelolaan lingkungan dari hulu ke hilir, termasuk okupasi hunian di bantaran kali, praktis membuat Jakarta saban tahun menanggung risiko ekologis. Semua itu tali-temali menambah kerumitan masalah metropolitan, termasuk soal kebutuhan permukiman dan industri.

Dari perspektif kawasan, muncul juga komitmen antar-pemimpin wilayah di Jabodetabek untuk bersinergi. Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama menggandeng para wali kota/bupati daerah tetangga untuk bekerja sama mengatasi masalah klasik.

Ia menawarkan dana kerja sama Rp 100 miliar untuk setiap daerah tetangga. Para kepala daerah tetangga pun menyambut antusias. Wali Kota Tangerang Selatan, misalnya, mengajukan proposal senilai Rp 160 miliar. Sebanyak Rp 100 miliar untuk mengatasi banjir dengan menata area resapan dan mengurangi luapan Kali Angke. Sisanya, Rp 60 miliar, untuk menata terminal angkutan antarkota antarprovinsi di Pondok Cabe.

Di Jakarta, pembangunan transportasi massal sedang giat-giatnya. Beberapa bulan terakhir berlangsung pembangunan jalur transportasi massal cepat (MRT) yang ditargetkan rampung tahun 2018. Siap-siap juga dibangun enam tol dalam kota.

Jika DPRD tetap akur dengan eksekutif, diproyeksikan segera menyusul pembangunan jalur light rail transit alias kereta api ringan.

Dalam upaya mengurai kemacetan di jalan protokol, tengah diujicobakan pembatasan sepeda motor di ruas Thamrin-Medan Merdeka Barat.

Normalisasi sungai yang bertujuan mengatasi banjir juga berlangsung. Proyek ini disinkronkan dengan pembangunan hunian bagi warga bantaran kali dan waduk.

Pro-kontra sudah pasti mewarnai. Namun, akan lebih arif jika menatapnya dalam kerangka lebih luas dan konstruktif. (NAR)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010785560
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger