Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 09 Desember 2014

TAJUK RENCANA: Evaluasi Kembali Kurikulum 2013 (Kompasy

KEPUTUSAN pemberlakuan Kurikulum 2013 di 6.221 sekolah dan memberhentikannya di 201.779 sekolah dasar dan menengah menimbulkan kontroversi.
Menurut yang pro, keputusan itu tepat. Penerapannya dipaksakan. Belum satu kata masalah konsep, apalagi kedodoran di tingkat implementasi. Yang kontra meyakini, Kurikulum 2013 mampu menjawab kebutuhan bangsa ini pada 20-30 tahun ke depan. Sebagai panduan praksis pendidikan, kurikulum ini mampu menjawab empat persyaratan dasar: akademik, efisiensi sosial, berpusat pada peserta didik, dan transformasi sosial.

Kita tidak ingin terjebak dalam pendapat pro dan kontra. Masing-masing ada benar dan salahnya. Yang segera terlihat kebingungan. Sebab, permasalahan pendidikan tidak kenal stratifikasi sosial, umur, kelamin, latar belakang. Bingung, panduan arah angin (kompas) mendadak kembali ke Kurikulum 2006. Tidak hanya guru dan peserta didik, tetapi juga orangtua dan masyarakat.

Benar juga pendapat yang pro revisi. Uji coba yang diterapkan di 6.221 sekolah di masa lalu itu belum cukup untuk menjadi dasar penerapan serentak. Kurikulum 2013, apabila diterapkan sesuai standar minimalnya pun, tertatih-tatih diikuti sekolah di luar Jawa, taruhlah Indonesia bagian timur. Alih-alih luar Jawa, di kota dan pedesaan Jawa pun sudah beragam praksis menyelenggarakan Kurikulum 2013.

Kurikulum 2013 harus ditinjau kembali dan diperbaiki. Masih banyak kelemahan setelah bertahun-tahun praksis pendidikan di Indonesia berpusat pada guru, buku teks, hafalan, banyak titipan politis, ketidaksesuaian dengan tuntutan pasar, dan minim pendidikan karakter. Keharusan revisi kurikulum adalah keniscayaan, itu pula yang menjadi argumentasi setiap pergantian kurikulum.

Pergantian Kurikulum 2006 ke 2013 tampaknya paling ribut dibandingkan dengan pergantian kurikulum sebelumnya. Karena era reformasi, mungkin. Karena semakin besarnya kesadaran warga masyarakat, mungkin. Mungkin juga karena Rp 1,2 triliun anggaran untuk penggandaan 72,8 juta eksemplar buku, Rp 1,09 triliun untuk pelatihan guru, dan besarnya persentase anggaran pendidikan.

Kebingungan tidak hanya di lebih dari 200.000 sekolah, tetapi kenyataan berlakunya dua kurikulum di satu negara dalam kurun waktu yang sama. Mungkin saja disikapi, lupakan yang ideal, anggap ini darurat. Namun, tanpa sadar tercipta kesan sekitar 6.000 sekolah dengan lulusannya sebagai warga kelas satu dan sekitar 200.000 lainnya warga kelas dua.

Plus dan minus keputusan masalah Kurikulum 2013 jangan sampai menambah kebingungan masyarakat. Keputusan sudah dijatuhkan. Kalau masih mungkin ditarik, taruhlah penghentian itu dimulai setelah berakhirnya tahun ajaran 2014/2015.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010555384
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger