Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 27 Desember 2014

Urgensi UU KKR (Albert Hasibuan)

SEJAK Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, belum ada peraturan perundang-undangan baru yang menggantikannya.
Sampai saat ini tak terlihat ada upaya atau kebijakan pemerintah untuk menyelesaikan secara bijak dan menyeluruh pelanggaran hak asasi manusia. Indonesia belum punya landasan hukum yang implementatif untuk menyelesaikan berbagai dugaan pelanggaran HAM masa lalu, tuntutan keadilan bagi korban pelanggaran HAM, dan jaminan tak ada lagi pelanggaran HAM pada masa mendatang.

Sebenarnya dasar hukum bagi penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tersedia dan tetap sahih, yaitu Ketetapan MPR Nomor V Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Tap MPR ini mewajibkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Nasional, dengan tugas utama menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau serta melaksanakan rekonsiliasi untuk kepentingan bersama bangsa Indonesia.

Rujukan konstitusional lainnya adalah rekomendasi MK kepada pemerintah yang menyatakan: "banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (undang-undang) yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi secara umum" (Putusan MK 006/PUU-IV/2006). Rekomendasi ini menegaskan saja tentang konstitusionalitas dan urgensi KKR untuk penyelesaian pelanggaran HAM pada masa lalu.

Suatu substansi penting yang melatari urgensi KKR adalah niat jujur yang menegaskan bahwa tujuan pembentukan KKR untuk menyelamatkan persatuan nasional Indonesia, bukan untuk membela atau menghakimi satu atau sejumlah kelompok dalam masyarakat. KKR merupakan instrumen nasional untuk memperteguh bangsa dalam penghargaan terhadap HAM dan mendorong pemajuan keadaban bangsa Indonesia.

Kita telah menyia-nyiakan banyak waktu dengan menunda-nunda atau bahkan mengabaikan perlunya segera penyusunan suatu peraturan perundang-undangan baru tentang KKR. Dengan melakukan itu, secara sadar  atau tidak, kita tengah melanggengkan beban sejarah (burden of history) Indonesia.

Karena itu, membuka kembali pembahasan RUU KKR merupakan langkah penting. Inisiatif ini akan menjadi momen strategis bagi pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, yang secara langsung akan membedakannya dengan pemerintahan sebelumnya, dalam meniatkan secara sungguh-sungguh suatu kebijakan penyelesaian pelanggaran HAM  masa lalu secara menyeluruh dan bertanggung jawab untuk kepentingan keadilan dan keadaban bangsa Indonesia.

Perbaikan
RUU KKR baru tentu saja harus memperbaiki sejumlah hal yang fundamental seperti disarankan oleh Putusan MK 006/PUU-IV/2006. Soal amnesti, misalnya, harus ditiadakan dalam RUU baru ini sebagai pertanda penting supremasi hukum dan HAM. Presiden memang memegang hak prerogatif untuk memberikan amnesti sesuai UUD 1945. Namun, amnesti dimaksud pasti tidak ditujukan untuk para pelanggar HAM berat.

Penghapusan soal amnesti juga akan memastikan RUU KKR baru ini membebaskan dari prasyarat "berat" untuk memperoleh kompensasi dan rehabilitasi. Ini jelas akan menunjukkan semangat dan niat utama untuk menghadirkan keadilan bagi mereka yang memang terbukti sebagai korban pelanggaran HAM.

RUU KKR baru seyogianya disusun ringkas. Kepentingannya adalah memberikan wewenang luas kepada komisi untuk mencari kebenaran terkait dengan pelanggaran HAM. Termasuk juga dalam hal ini adalah kewenangan komisi untuk menentukan periode dugaan pelanggaran HAM yang harus diselidiki.

RUU KKR juga mesti merumuskan secara utuh konsep kompensasi, restitusi, dan reparasi. Kompensasi dan restitusi merupakan wujud nyata penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Sementara itu, reparasi merupakan jaminan untuk tidak
ada pelanggaran HAM pada masa mendatang. Sebab, reparasi memuat tiga hal penting: pengakuan telah terjadi pelanggaran HAM, penyesalan atas pelanggaran HAM yang dapat dinyatakan dengan kebijakan resmi permintaan maaf atas nama negara kepada korban khususnya dan masyarakat umumnya, serta pernyataan kehendak untuk pencegahan terulangnya kembali pelanggaran HAM pada masa mendatang.

Terkait persoalan teknis tetapi penting untuk efektivitas pembentukan komisi manakala RUU KKR ini disahkah sebagai UU KKR  adalah waktu untuk menindaklanjuti rekomendasi KKR untuk kompensasi, rehabitalisasi, dan reparasi yang semestinya berjeda waktu tidak terlalu lama. Satu tahun merupakan jeda waktu yang layak untuk menyatakan efektivitas rekomendasi KKR, di samping perlakuan yang adil terhadap korban pelanggaran HAM.

Dengan kesungguhan dan semangat bersama menghadirkan keadilan dan mendorong kemajuan keadaban masyarakat Indonesia, RUU KKR yang segera menjadi inisiatif pemerintahan baru Presiden Jokowi mempunyai urgensi sebagai pertanda penting perubahan nyata kebijakan negara dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Melalui inisiatif semacam ini pula, kita bersama dapat membebaskan diri dari beban sejarah masa lalu dan membuka peluang yang luas melaju cepat menempuh masa depan Indonesia yang beradab dan cerah.

Albert Hasibuan
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum dan HAM, Periode 2012-2014

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010681412
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger