PENETAPAN Budi Gunawan sebagai tersangka kasus "rekening gendut" perwira tinggi Kepolisian Negara RI memantik konfrontasi politik melawan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Konfrontasi itu melibatkan lingkaran terdekat kekuasaan presiden yang berpotensi merusak wibawa dan legitimasi lembaga kepresidenan. Yang sedang menimpa Bambang Widjojanto (BW) bukanlah persoalan hukum, melainkan konfrontasi politik melalui instrumentasi (baca: memperalat) hukum. Perlawanan
Kriminalisasi BW tak terlepas dari peristiwa politik sehari sebelumnya, ketika Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menggulirkan isu bahwa Ketua KPK Abraham Samad "tidak bersih-bersih amat" dan kerap menjadikan KPK sebagai alat mewujudkan ambisi kekuasaan pribadinya. Bukan kebetulan belaka bila kemudian terungkap bahwa pelapor kasus hukum BW ke Bareskrim pada 15 Januari ternyata anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Sugianto Sabran.
Mudah dibaca bahwa "perang Bharatayudha" yang sedang berlangsung sesungguhnya adalah antara Kepolisian (dengan sokongan politik PDI Perjuangan) dan KPK. Situasi itu merupakan episode lanjutan dari "ganjalan" hukum yang digelar KPK yang akhirnya menghambat pencalonan Budi Gunawan (BG) sebagai Kepala Polri.
Secara yuridis kita bisa memperdebatkan langkah-langkah hukum, mulai dari apa yang dilakukan presiden ketika
mengajukan BG sebagai calon tunggal Kapolri, KPK menetapkan BG sebagai tersangka, DPR yang akhirnya meloloskan BG sebagai figur dalam uji kelayakan dan kepatutan untuk menjadi Kapolri, presiden menunda pelantikan BG dan mengangkat Komisaris Jenderal Badrodin Haiti sebagai Plt Kapolri, hingga Bareskrim Polri yang menangkap dan menetapkan BW sebagai tersangka kasus "kesaksian palsu" dalam persidangan MK pada 2010.
Namun, secara politis, rangkaian peristiwa itu telah menciptakan situasi serius: darurat kelembagaan negara.
Pertama, terjadi kekosongan kekuasaan
Kedua
Ketiga
Jika presiden tetap melantik BG sebagai Kapolri, maka akan tersaji anomali akut yang sangat menggelikan: sebuah lembaga yang memiliki multiotoritas dalam penegakan hukum dipimpin seorang tersangka kasus hukum. Dilema itu diperparah dengan kompleksitas politik, di mana parpol presiden—yakni PDI Perjuangan—sepenuhnya berada di belakang BG. Pertaruhan situasi tersebut adalah kewibawaan dan legitimasi lembaga kepresidenan.
Siapa yang paling diuntungkan dalam darurat kelembagaan negara itu? Koruptor! Juga anasir-anasir ekstranegara yang tidak menginginkan RI kuat dan demokrasi di dalamnya terkonsolidasi, pembangunan berhasil, dan kita menjadi negara yang determinan dalam percaturan politik dunia. Saldi Isra meminta, "Pak Jokowi, Selamatkan KPK" (
Patut pula dicatat oleh presiden, beberapa pihak—yang terbaca terutama melalui perbincangan di media sosial—mulai mengimajinasikan situasi politik 1998. Beliau juga pasti tidak lupa bahwa hampir 47 persen pemilih tidak mendukungnya menjadi presiden pada pilpres enam bulan lalu. Setiap salah langkah fatal presiden pasti akan mendatangkan gelombang kekecewaan yang dahsyat.
Dalam konteks itu, situasi aktual "Cicak vs Buaya plus
Pertama, pembatalan pelantikan BG sebagai Kapolri. Langkah ini berpotensi tidak menyenangkan parpol di DPR, terutama parpol pendukungnya, tetapi publik pasti mendukung langkah tersebut.
Kedua, instruksi penghentian kasus BW di panggung depan atau panggung belakang.
Langkah politik penyelamatan dari situasi darurat tersebut berpulang kepada Presiden Jokowi. Apakah beliau akan menunaikan doktrin universal "loyalitas terhadap parpol selesai, begitu loyalitas terhadap negara dimulai" ataukah setia menjadi "petugas partai" yang
Yang jelas, rakyat pasti berharap dan mendukung lembaga kepresidenan dengan kepala negara yang otonom dan menyandang wibawa politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar