Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 13 Januari 2015

Indeks Parlemen Indonesia (Adnan Pandu Praja)

PENOLAKAN para kepala daerah atas rencana pemilihan kepala daerah tidak langsung belum lama ini mengindikasikan ketakutan mereka akan tersandera oleh DPRD selama lima tahun. Persepsi tersebut tidak berlebihan jika dilihat dari data perkara korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi selama 11 tahun terakhir.

Kasus korupsi oleh anggota Dewan menduduki peringkat tertinggi, paling besar: 76 dari 442 kasus (17,19 persen). Perilaku korup yang melanda kalangan parlemen, menurut mereka, lebih disebabkan mereka telah tersandera oleh para pemilih sejak sebelum terpilih dengan berbagai macam permintaan. Setelah terpilih sebagai anggota Dewan, mereka harus terus-menerus merawat hubungan dengan pemilihnya melalui berbagai bantuan, seperti acara khitanan, dengan maksud agar terpilih kembali lima tahun mendatang. Akibatnya, dengan segala cara mereka harus mencari tambahan. Celakanya, instrumen pengawasan di internal Dewan tidak berjalan. Celaka berikutnya, partai tak jarang ikut ambil untung. Tentu sangat tidak bijaksana mengambinghitamkan pemilih. Mereka adalah korban sistem yang diciptakan dan dimanfaatkan oleh elite.

Reformasi harus dari luar

KPK telah mengirim rekomendasi untuk mereformasi parlemen dari dalam. Hasilnya nihil! Lahirnya UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang baru tidak mengakomodasi rekomendasi KPK.

Kiranya perlu reformasi dari luar dengan memperkuat kontrol publik. Pertama, membuat indeks kinerja anggota Dewan agar setiap anggota Dewan terpantau aktivitasnya dan tiap saat bisa dilakukan pergantian antarwaktu jika indeks yang bersangkutan di bawah standar (Kompas, 14 Oktober, 2014). Kedua, melakukan audit kinerja terhadap semua institusi DPR dan DPRD oleh lembaga independen yang akan menghasilkan Indeks Parlemen Indonesia. Dalam beberapa hal, indeks parlemen akan sangat dipengaruhi oleh kumulasi indeks kinerja anggota Dewan. Ketiga, menerapkan sistem penghargaan dan hukuman.

Menakar kinerja pemerintah dapat dilihat pada laporan hasil audit pemerintah oleh BPK dan government index, dan menakar kinerja BPK dapat dilihat pada peer review oleh BPK negara lain. Menakar kinerja parlemen? International Parliament Union (IPU) mengeluarkan Self Assessment Toolkit for Parliament 2008. Pola swa-asesmen—menilai hasil tugas diri sendiri—dirasa cukup adil untuk menghindari kecurigaan mengukur kinerja parlemen kita dengan kinerja parlemen negara lain. Kelemahan swa-asesmen membuka lebar peluang subyektivitas asesor. Untuk itu, asesor harus independen dan bukan kepanjangan tangan dari kepentingan asing.

Hasil asesmen dapat mengetahui sejauh mana parlemen membawa bangsa Indonesia sesuai amanat UUD 1945 agar negara tak dikendalikan berdasarkan hasil negosiasi segelintir orang melalui kendaraan partai politik. Karena sejatinya partai politik, walaupun dikelola oleh politisi, dirawat dengan cara-cara bisnis. Hal ini dapat dibuktikan pada beberapa kasus korupsi yang ditangani KPK yang melibatkan oknum pejabat teras partai.

IPU juga mengeluarkan petunjuk praktisParliament and Democracy in the 21st Century. Ada lima pilar utama yang menopang parlemen sebagai institusi demokrasi yang dianut di berbagai belahan dunia, yaitu representasi, aksesibilitas, akuntabilitas, transparan, dan efektif. 

Hal paling krusial dari pilar representasi adalah apakah perdebatan di parlemen lebih didominasi suara pemilih atau suara partai. Sejujurnya hanya politisi Senayan yang bisa membedakan. Makin dominan partai mengooptasi putusan parlemen pertanda bencana demokrasi di Indonesia. Musababnya, tata kelola partai sangat buruk, baik dari sisi anggaran, kaderisasi, maupun proses pemilihan ketua partai. Fenomena aklamasi dalam pemilihan ketua partai akhir-akhir ini sungguh naif mengingat partai adalah aktor utama proses demokrasi di parlemen.

Berikutnya pilar aksesibilitas. Aktivitas parlemen bukan ritual keagamaan yang tabu dari akses publik. Dalam banyak kasus civil society organization (CSO) memiliki kompetensi yang memadai. Sebagai fraksi balkon atau komisi balkon di daerah, partisipasi CSO akan sangat maksimal apabila diberi akses luas terhadap aktivitas Dewan. Semakin luas akses CSO akan semakin dapat mencegah berulangnya kasus "ayat tembakau" maupun kasus cek pelawat pada proses pemilihan deputi gubernur Bank Indonesia.

Pilar efektivitas antara lain bagaimana alat kelengkapan parlemen menjalankan mandatnya. Misalnya, sejauh mana Mahkamah Kehormatan Dewan menjalankan perannya sebagai garda etik perilaku anggota Dewan. Ada kecenderungan saling menyandera antarpartai politik sehingga membuat melempem lembaga pengawas perilaku anggota Dewan. Atau bagaimana Dewan menjalankan fungsi pengawasan penggunaan anggaran oleh pemerintah setelah dibubarkannya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara berdasarkan UU MD3.

Perkembangan pesat tatanan dunia abad ke-21 membuat parlemen di berbagai belahan dunia melakukan transformasi. Salah satunya menjaga harmonisasi terhadap konvensi internasional. Misalnya soal korupsi. Kasus korupsi penyuapan yang dilakukan oleh Alstom—badan hukum Perancis—dalam memenangi beberapa proyek energi di Arab Saudi, Mesir, dan Bahama, termasuk Indonesia pada  proyek Tarahan di Lampung yang telah memenjarakan bekas anggota Dewan, EM, serta menghukum Alstom membayar denda 772 juta dollar AS kepada otoritas di Amerika Serikat.

Seperti halnya terorisme, korupsi sudah menjadi kejahatan lintas negara, menyusul lahirnya konvensi anti korupsi sedunia, United Nation Covention Against Corruption (UNCAC) tahun 2003, yang telah kita ratifikasi dengan UU No 7/2006. UNCAC mewajibkan semua negara yang meratifikasi membentuk lembaga anti korupsi seperti KPK. Amerika memiliki Public Integrity Section, Australia memiliki Anti Corruption Law Enforcement Agency, dan Singapura memiliki Corruption Practice Investigation Bureau.

Kalau ada anggota Dewan yang berpendapat KPK adalah lembaga ad hoc, hal itu cerminan keterbatasan wawasan yang bersangkutan. Belum lagi soal pasar bebas ASEAN yang sangat berdampak signifikan terhadap perekonomian kita. Dua contoh di atas membuktikan UU MD3 yang baru saja disahkan sangat tertinggal dalam menyikapi perubahan tatanan dunia baru di abad ke-21.

Penghargaan dan hukuman

Indeks parlemen daerah kiranya menjadi faktor pengali dalam menentukan besaran Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang diterima daerah sebagai bentuk penghargaan dan hukuman. Beberapa manfaat Indeks Parlemen Daerah, pertama, membangun sinergi antara pemda dan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Berbeda dengan hubungan antara DPR dan pemerintah pusat yang lebih terpisah, Indeks Parlemen Daerah akan menjadi alat ukur kadar sinergisitas DPRD dengan pemda. Kedua, meningkatkan bobot manfaat DAU dan DAK agar tidak dianggap sebagai anggaran tambahan yang sifatnya rutin tanpa peningkatan kinerja Dewan. Ketiga, memperkecil ekses koalisi partai politik di level nasional ke daerah.

Pasca-Pemilu Legislatif 2014 ada kecenderungan penguatan peranan legislatif sebagaimana terlihat pada UU MD3 dan UU Pilkada. Kalau saja tidak karena perpecahan di tubuh partai-partai besar yang dipicu oleh krisis kepemimpinan sehingga berujung pada aklamasi pemilihan ketua partai, penguatan peran legislatif secara eksesif tak terbendung lagi. Pemerintah harus bisa mengendalikan penguatan peran legislatif tersebut melalui pengendalian anggaran sejak proses perencanaan. Menteri Dalam Negeri telah secara cerdas mengawali pengendalian tersebut dengan memberikan sanksi apabila pemda terlambat menyerahkan RAPBD yang tidak jarang karena terkendala proses politik di DPRD. Indeks Parlemen Indonesia diharapkan akan mempercepat proses pendewasaan bernegara bagi para politisi. 

Adnan Pandu Praja
Komisioner KPK

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011346917  

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger