Kendati berada di bawah bayang-bayang Arafat, mereka tahu Abbas-lah di balik sikap moderat PLO. Memang, boleh dikata, Abbas-lah otak PLO di balik Kesepakatan Oslo (1993). Sejak itu, PLO meninggalkan perjuangan bersenjata secara resmi dan menggunakan diplomasi yang diyakini Abbas sebagai cara yang lebih efektif untuk mencapai cita-cita kemerdekaan Palestina.
Sikap dan peran Abbas ini dipandang realistis dan
Memang Abbas telah membelakangi Israel dan AS sejak April tahun lalu. Begitu tenggat sembilan bulan yang diberikan AS kepada Abbas dan PM Israel Benjamin Netanyahu untuk kembali berunding dan merampungkan proses perdamaian yang terkatung-katung sejak Rabin terbunuh pada 1995 terlewati tanpa hasil sedikit pun, Abbas langsung merangkul Hamas yang dicap teroris oleh Israel dan AS. Bahkan, kemudian PLO dan Hamas membentuk pemerintahan bersama. Israel kecewa berat, demikian juga AS. Proses perdamaian pun dihentikan oleh Israel. Tapi Abbas tidak peduli.
Langkah Abbas merangkul Hamas memang keharusan politik. Setelah berunding sembilan bulan, Abbas menyimpulkan, Israel tidak menginginkan perdamaian. Kesimpulan yang sama, yang dinyatakan Arafat sehabis berunding dengan PM Israel Ehud Barak selama sembilan hari di Camp David pada 2000.
Baik Arafat maupun Abbas memang kaget dengan tawaran Israel yang sangat jauh dari harapan minimal Palestina. Baik Ehud Barak maupun Netanyahu hanya memberi opsi: Palestina diberikan otonomi luas, Jerusalem Timur tetap milik Israel; menolak kembalinya sekitar 5 juta pengungsi Palestina; tidak bersedia mengosongkan permukiman Yahudi di Tepi Barat; Palestina tak boleh memiliki angkatan bersenjata; perbatasan Palestina dijaga tentara Israel; dan angkasa Palestina milik Israel.
Tawaran yang menyakitkan ini tak dapat dijembatani AS sebagai mediator perdamaian. Lalu, ke mana Abbas harus mengadu?
Sementara itu, kenyataan di lapangan sangat menyedihkan. Pada 1947 , Liga Arab membagi wilayah Palestina menjadi dua: 53 persen untuk Israel dan 47 persen untuk Palestina. Kini wilayah Palestina tinggal 20 persen. Berbagai kebijakan Israel setelah merdeka pada 1948, mulai dari teror, pengusiran, perampasan tanah, hingga membangun permukiman Yahudi di Tepi Barat, membuat tanah untuk Palestina semakin mengecil. Ironisnya, kebijakan itu diintensifkan justru setelah Kesepakatan Oslo. Sebuah kesepakatan yang akan menyerahkan tanah Palestina secara bertahap selama lima tahun melalui perundingan.
Kenyataan lain yang membuat Palestina frustrasi adalah, pertama, Jerusalem Timur telah dibangun Israel sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi kawasan tempat bercokol Masjidil Aqsa itu dinegosiasikan. Pada 1999, Teddy Kolek, mantan Wali Kota Jerusalem, mengungkapkan, pemerintahnya punya target rahasia untuk membatasi populasi Palestina pada angka 28,8 persen. Inilah inti kebijakan pemerintah kota dan pusat. Alasan mengapa target ini penting adalah supaya tidak ada yang dapat menggugat kepemilikan Israel atas Jerusalem di masa datang.
Kedua, Tepi Barat saat ini berubah menjadi serangkaian "kantong-kantong wilayah" yang membingungkan tanpa memiliki daerah teritorial yang menyatu. Kekhawatiran awal Palestina telah jadi kenyataan. Kebijakan memecah belah daerah ini membuat pembangunan sebuah negara Palestina menjadi hal yang mustahil. Hampir semua pengamat melihatnya sebagai sebuah bentuk baru apartheid.
Sejak menjadi PM Israel pada 1995, Benjamin Netanyahu membangun sebuah matriks jalanan bebas hambatan di Tepi Barat yang menghindari desa-desa dan menghubungkan antar- permukiman. Jalan-jalan ini memotong tanah orang Palestina, selanjutnya memecah masyarakat dan mencegah pertumbuhan desa-desa Palestina. Alih-alih menawarkan perdamaian, konsekuensi Kesepakatan Oslo yang terus terjadi ini adalah hal tragis bagi orang Palestina.
Perundingan tanpa hasil itu membuat posisi Abbas sebagai pemimpin Palestina goyah. Simpati kepada Hamas yang memilih perjuangan bersenjata seolah mendapat pembenaran. Namun, Hamas sedang dikerangkeng Israel di Jalur Gaza sejak 2007 tanpa satu negara pun memperhatikannya. Padahal, kehidupan sosial-ekonomi di kawasan padat dan miskin itu sangat menyedihkan. Maka, bertemulah saling butuh antara PLO pimpinan Mahmoud Abbas dan Hamas di bawah Ismail Haniyah.
Abbas merangkul Hamas untuk meredam radikalisasi Palestina dan memperluas basis dukungannya saat legitimasinya dipertanyakan. Hamas menerima tawaran Abbas agar mendapat legitimasi, terbuka ruang manuver, dan mengalirnya bantuan ekonomi.
Insiden pembunuhan tiga remaja Yahudi di Hebron pada Juni lalu dimanfaatkan Netanyahu untuk mendiskreditkan Abbas, memecah belah Palestina, dan melucuti Hamas dengan mengerahkan seluruh mesin perang Israel untuk menyerang Jalur Gaza, jalur sempit yang dihuni 1,5 juta penduduk dalam keadaan terkurung tanpa pertahanan berarti. Brutalitas Israel yang disaksikan secara telanjang oleh komunitas internasional selama 50 hari itu justru meningkatkan simpati kepada Palestina. Lebih jauh lagi, Israel tidak mencapai satu pun target di atas. Di pihak lain, banyak negara UE berubah sikap terhadap Palestina. Setelah Swedia mengakui kemerdekaan Palestina, parlemen Inggris, Irlandia, Perancis, Spanyol, dan Luksemburg mengikuti jejaknya. Malah UE mencabut status Hamas sebagai kelompok teroris.
Selepas konflik Gaza, tercipta momentum politis yang menguntungkan Palestina. Abbas dan pembantu-pembantunya tak mau menyia-nyiakan momentum ini. Maka, kita menyaksikan mereka bergerilya ke sejumlah negara dan bermanuver untuk mendapatkan pengesahan DK PBB bagi kemerdekaan Palestina dengan batas-batas tahun 1967 berdasarkan Resolusi DK PBB Nomor 242 dan 338 yang jadi dasar Kesepakatan Oslo.
AS dan Israel menentang rencana Abbas yang akan mengajukan draf resolusi Palestina ke DK PBB yang meminta Israel mundur dari wilayah pendudukan dalam waktu tiga tahun ke depan. AS mengancam akan menghentikan bantuan ekonomi sebesar 2/3 dari kebutuhan Palestina kalau Abbas ngotot dengan langkah itu. Abbas tidak menggubris. Draf resolusi itu gagal diadopsi DK PBB karena dalam voting pada 30 Desember, hanya 8 dari minimal 9 suara anggota DK PBB yang dibutuhkan bagi diadopsinya draf itu.
Lagi-lagi, Abbas melawan ancaman AS-Israel dengan menandatangani nota permintaan Palestina bergabung dengan 22 organisasi PBB. Satu di antaranya, yang ditakuti AS dan Israel, Palestina bergabung dengan Mahkamah Kriminal Internasional (ICC). Langkah ini merupakan upaya untuk menyeret Israel ke meja ICC terkait kejahatan perang dalam konflik Gaza yang lalu ataupun kasus permukiman Yahudi di teritorial Palestina.
Sebagai balasan, Israel membekukan pendapatan pajak Palestina sebesar 127 juta dollar AS. AS pun mengancam akan membekukan bantuan keuangan kepada Otoritas Palestina sebesar 400 juta dollar AS per tahun.
Ke mana konflik ini akan mengarah? Sebenarnya waktu tak lagi memihak kepada AS dan Israel. Langkah Palestina (baca: Abbas) itu sebenarnya langkah orang yang putus asa atas hilangnya harapan sebuah bangsa untuk hidup secara berdaulat dan bermartabat. AS dan Israel, sebagai dua bangsa yang pernah juga merasakan berada dalam posisi terjajah, seharusnya memahami kasus Palestina ini.
Tindakan balasan yang keras dari AS dan Israel itu bukan solusi mengatasi masalah. Tindakan itu justru memperlihatkan hilangnya kearifan AS dan Israel, yang hanya memperumit masalah Palestina yang memang sudah sangat rumit. Jangan-jangan, langkah AS-Israel itu justru blunder, yang hanya akan meningkatkan simpati internasional kepada Palestina. Abbas tetap tokoh moderat dan lebih cerdik daripada dugaan Israel dan AS.
Penasihat pada ISMES dan Staf Ahli Institute for Democracy Education
Tidak ada komentar:
Posting Komentar