Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 13 Januari 2015

ANALISIS POLITIK Teror Paris, Memperkuat Islam Wasathiyah (Azyumardi Azra)

SANGAT memprihatinkan penembakan membabi buta di kantor majalah satireCharlie Hebdo di Paris pekan lalu menewaskan 12 jiwa, termasuk pemimpin redaksi, empat kartunis, dan dua polisi. Dua hari kemudian, penyanderaan yang terkait menambah lagi korban tewas dua orang.

Charlie Hebdo menjadi target penembakan brutal beberapa kali atas karikatur yang meledek Nabi Muhammad. Majalah yang juga pernah melecehkan Yesus Kristus, Paus Benediktus, orang Yahudi, dan para pejabat negara itu telah sering mendapat ancaman. Walau tingkah polah Charlie Hebdo dapat sangat menyinggung sensitivitas keimanan, aksi teror balasan tidak dapat dibenarkan dengan alasan dan justifikasi apa pun. Aksi kekerasan itu adalah kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan dan peradaban.

Aksi itu bisa dipastikan membuat citra Islam dan kaum Muslimin kian tercemar, tidak hanya di Perancis, tetapi juga di kawasan Eropa lain, Amerika, dan dunia lebih luas. Walau pelakunya adik kakak, Cherif Kouachi (32) dan Said Kouachi (34), dan Hamyd Mourad adalah warga kelahiran Perancis yang berbicara bahasa Perancis tanpa aksen, yang menonjol dalam pemberitaan media dunia adalah bahwa mereka Muslim.

Aksi terorisme di Paris patut menjadi peringatan bagi seluruh aparat pemerintah dan warga Indonesia, khususnya umat Islam Wasathiyah (jalan tengah), yang jauh dari ekstremisme dan radikalisme. Peristiwa Paris dapat menjadi pelajaran, di negara maju sekalipun, dengan pengamanan sangat ketat, tetap saja ada orang yang ingin menghancurkan kemanusiaan dan peradaban.

Potensi teror juga masih cukup besar di Tanah Air. Kepala BIN Marciano Norman menyatakan, setiap ada insiden terkait teroris di negara lain, (kelompok dan sel teror di Indonesia) biasa memanfaatkan. "Biasanya kelompok teroris (di Indonesia) melakukan aksinya setelah terjadi serangan (teroris) di satu negara atau daerah tertentu".

Masih gentayangannya kelompok dan sel teror di Indonesia terindikasi dari travel warningatau sedikitnya travel advisory yang dikeluarkan Kedutaan Besar Amerika Serikat pada 5 Januari 2015, disusul Inggris dan Australia. Peringatan atau advis perjalanan mereka keluarkan karena menurut informasi intelijen mereka ada info spesifik tentang rencana peledakan bom warga Barat di Jakarta atau Surabaya atau Bali.

Meski pejabat tinggi seperti Wapres Jusuf Kalla melunakkan (play downtravel warning itu, sulit mengingkari gejala peningkatan kegiatan kelompok atau sel teroris. Sejak Agustus 2014 ketika marak berita Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang melakukan perekrutan di Indonesia, sel teroris lama yang beroperasi di Indonesia seakan kembali menemukan momentum dengan melakukan aksi baiat—bahkan di penjara—kepada "kekhalifahan" Abu Bakar al-Baghdadi; mengadakan pengajian lengkap dengan bendera NIIS sampai melukis mural simbol NIIS.

Gejala meningkatnya geliat kelompok dan sel teroris itu bisa disimak dari aksi Polri/ Densus 88 terhadap sejumlah orang yang terduga terorisme dalam dua bulan terakhir. Densus 88 melakukan aksi antara lain penangkapan terduga teroris AM di Banyuwangi (22/12/2014) serta DK di Sukoharjo dan TS di Lamongan (23/12/2014), penahanan 12 orang (15/12/2014) dan enam orang lainnya di Bandara Soekarno-Hatta yang diduga mau bergabung dengan NIIS (27/12/2014), penangkapan dua terduga teroris di Bima (8/1/2015), serta penembakan sampai tewas satu orang dan penangkapan dua terduga teroris Poso di Luwu Utara (10/1/2015).

Melihat peningkatan aktivisme kelompok dan sel teror di Indonesia, penanganannya jelas tidak memadai dengan hanya mengandalkan aparat keamanan. Perlawanan terhadap terorisme harus merupakan agenda semesta pemerintah dan warga. Seluruh warga perlu meningkatkan sikap waspada (alert) terhadap orang baru yang menunjukkan perilaku tidak lazim, seperti tidak pernah bergaul atau sering kumpul-kumpul tertutup. Mereka patut diamati lebih dekat dan dilaporkan kepada Polri. Saat yang sama, warga harus menghindarkan diri daripada terjerumus ke aksi main hakim sendiri.

Banyak kalangan luar menilai Indonesia mendapat berkah sangat bernilai dari Allah; tidak hanya kekayaan alam dan sosial budayanya, tetapi juga dengan Islam Wasathiyah-nya. Dalam dua konferensi tentang hubungan Arabia-Asia dan Arabia-Asia Tenggara pada pekan pertama Januari 2015—penulis juga menjadi narasumber—para pembicara non-Indonesia melihat Islam Wasathiyah Indonesia dengan lingkungan agama dan sosial-budayanya yang hidup berdampingan damai memberikan lebih banyak peluang dan janji mengantarkan umat Islam beserta umat lain ke alam kemajuan.

Di tengah audiens Arab di kedua konferensi itu, penulis mengemukakan ortodoksi Islam Indonesia—yakni teologi Asy'ariyah, fikih mazhab Syafi'i, dan tasawuf Ghazali- an—bukan lahan subur bagi radikalisme anutan kelompok Salafis, Wahabi, Neo-Khawarij, dan jihadis. Aliran ini terlalu literal, kering, dan keras bagi banyak Muslim Indonesia yang senang mempraktikkan Islam berbunga-bunga (flowery Islam).

Meski demikian, Muslim Wasathiyah Indonesia pemegang teguh ortodoksi Islam Indonesia, yang diwakili ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan banyak ormas semacamnya, tetap perlu diperkuat. Mereka telah tegas menyatakan terorisme—seperti terakhir dilakukan NIIS dan Kouachi bersau- dara—bukan jihad. Aksi terorisme mereka mencemarkan Islam dan kaum Muslim.

Penguatan itu kini kian diperlukan ketika seorang Abu Jandal al-Tamimi al-Yamani al-Indonesia, misalnya, mengancam lewat Youtube untuk menghancurkan TNI, Polri, dan Banser Ansor NU. Meski ancaman itu absurd, tetap saja umat Islam Wasathiyah beserta pemerintah dan aparat keamanan wajib meningkatkan kewaspadaan.

  • Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Sumber:  ‎http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011347661 

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger