Masyarakat koruptif adalah sebuah realitas sosial kita saat ini. Masyarakat anti koruptif adalah realitas sosial yang mungkin di masa depan.
Kata orang, realitas itu dikonstruksikan secara sosial. Lalu, bagaimana mengonstruksikan masyarakat anti korupsi secara sosial? Bisakah produk-produk sinematik digunakan untuk mengonstruksikan masyarakat anti korupsi itu? Bisa!
Setidaknya itulah yang menjadi keyakinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK dalam beberapa tahun terakhir giat memproduksi berbagai produk sinematik. Salah satunya, yang paling baru, film layar lebar, bertajuk
Tidak cukup dengan memproduksi produk sinematik, KPK juga mengembangkan program festival film anti korupsi (Anti Corruption Film Festival/ACFFest). KPK tidak sendirian. Dalam mengembangkan
Makna apa yang bisa kita tangkap dari kerja-kerja KPK di wilayah sinematik ini? Pertama, KPK telah sampai pada satu kesadaran dan pemahaman bahwa penyebab korupsi itu majemuk. Selain faktor politik, ekonomi, dan hukum, mewabahnya korupsi juga dipengaruhi faktor sosial budaya. Karena faktor penyebabnya majemuk, upaya mencegah dan memberantasnya harus menggunakan pendekatan majemuk.
Kedua, dalam konteks tersebut, pendekatan legal (penegakan hukum) tak memadai. Diperlukan juga pendekatan nonlegal seperti budaya.
Ketiga, melalui produk-produk sinematiknya, KPK ingin mengubah pengetahuan, sikap, dan perilaku, dan lebih jauh pola pikir masyarakat sehingga lebih anti koruptif.
Keempat, meskipun korupsi, penyalahgunaan wewenang itu terjadi di ruang publik, tetapi KPK memercayai, keputusan untuk melakukan korupsi itu terjadi di ruang-ruang domestik (rumah tangga). Demikian juga meskipun korupsi yang terjadi dan banyak diungkap KPK adalah korupsi sistemik dan melibatkan banyak orang, tetapi keputusan untuk melakukan tindakan itu keputusan individual. Dalam film SPTK, misalnya, digambarkan seorang PNS yang kinerja dan integritasnya baik, yang juga suami dari istri seorang dosen filsafat dan etika, akhirnya goyah. Ia ikut memengaruhi dan membantu memenangkan proposal proyek anaknya.
Apakah pendekatan itu baru dan unik? Tidak juga. Diproduksinya film tentang G30S/PKI, dan produk sinematik propaganda lainnya, yang disiarkan berulang-ulang secara masif, adalah bagian dari apa yang disebut pendekatan
Secara umum, produk-produk sinematik yang dihasilkan dan disponsori pemerintah Orde Baru adalah upaya untuk menaklukkan dan menciptakan kepatuhan warga negara kepada pemerintahan otoriter. Lanskap sosial politik dan budaya yang ingin dibangun adalah kontrol negara maksimum di satu pihak serta kritik dan perlawanan warga minimum di pihak lain.
Pengerahan kedua strategi tersebut tak sepenuhnya berhasil. Sebab, masih saja ada protes dan perlawanan yang dilakukan berbagai kelompok masyarakat. Selebaran gelap, buletin gelap, dan sejenisnya yang mencerminkan perlawanan masih tetap bisa diproduksi dan disebarkan meskipun dalam skala terbatas.
Baru belakangan ini antitesis terhadap produk sinematik rezim Orde Baru mulai bermunculan. Joshua Oppenheimer, sutradara dari Amerika Serikat, misalnya, sudah menghasilkan
Tantangan dan kesulitan yang dihadapi KPK dalam mengembangkan pendekatan ini tentu lebih berat. Berbeda dengan pemerintah Orde Baru, KPK tidak dalam keadaan mengontrol media dan karena itu tidak bisa memaksa media penyiaran untuk memutar film anti korupsi yang diproduksinya. KPK tidak kuasa memaksa warga untuk menonton produk sinematiknya.
Persoalannya jadi lebih rumit, bagaimana mengonstruksikan bangunan masyarakat anti korupsi melalui produk sinematik yang ramah pasar? Gagasan sementara kalangan yang menolak mengaitkan produksi dan penyiaran film anti korupsi dengan isu pasar kelihatannya tidak bisa dipertahankan.
Pertama, toh KPK memproduksi film anti korupsi ini bukan untuk kalangan aktivis anti korupsi, apalagi ditonton dan dinikmati sendiri. Kedua, ketika kita bicara ingin melakukan rekonstruksi sosial, hitungan jumlah dan karakteristik penonton jadi penting. Bagaimana kita mau bicara rekonstruksi sosial kalau hanya ditonton dan diapresiasi puluhan orang. Ketiga, sumber utama pembiayaan film anti korupsi selama ini bersumber dari hibah. Patut diragukan keberlanjutan produksi dan distribusi film anti korupsi kalau dananya bersumber dari hibah, baik lokal maupun luar negeri. Perlu dicari sumber pendanaan alternatif. Dan sumber pendanaan alternatif itu ada di pasar (kekuatan pasar).
Ketika film anti korupsi masuk dan dikaitkan dengan mekanisme pasar, jumlah penonton, masa tayang di bioskop, dan rating menjadi indikator penting kesuksesan sebuah film. Meskipun dapat banyak penghargaan, dilihat dari indikator pasar ini, terutama jumlah penonton dan masa tayang di bioskop, SPTK tak cukup ramah dengan pasar. Ketika diluncurkan di bioskop, SPTK harus bersaing dengan
Dalam konteks ini, KPK bisa, pertama, belajar dan mengambil hikmah dari produksi dan pemutaran film
Ada tiga pesan utama yang bisa kita tangkap dalam film ini: (1) yang
Kedua, KPK harus memperluas kerja sama dengan pebisnis dan media untuk menciptakan permintaan publik terhadap film anti korupsi. Permintaan terhadap film anti korupsi juga dikonstruksikan secara sosial. Oleh karena itu, harus ada upaya mengonstruksikan permintaan publik terhadap film anti korupsi. Pebisnis dan media yang berpengalaman diharapkan bisa menyumbangkan kompetensinya menciptakan permintaan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar