Yang terakhir setakat ini, hujatan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meluas begitu menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka dalam tindak pidana penerimaan suap dan gratifikasi. Penetapan itu hanya sehari setelah Presiden Joko Widodo mengajukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri).
Biasanya yang banyak mempersoalkan dan mengkritik KPK sebatas kalangan DPR, sekarang kalangan pemerintah terlibat. Misalnya ada pejabat negara yang berseru, "KPK bukan dewa", "KPK juga manusia", "KPK semaunya", dan seterusnya. Kini Polri secara resmi mengajukan gugatan praperadilan terhadap penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK.
Yang memuji dan mendukung KPK punya alasan: dengan dibentuknya KPK pada 2003, telah banyak hasil yang dicapai dalam upaya pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi. Selain berhasil menyelamatkan kekayaan negara yang relatif besar, KPK juga berani menangkap dan memidanakan sejumlah pejabat negara yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, menerima suap, menerima gratifikasi, sampai melakukan tindak pidana pencucian uang.
Bupati, wali kota, gubernur, menteri, dan pejabat negara lainnya tak luput dari jangkauan penindakan KPK. Sejumlah negara telah menganggap KPK sebagai ikon pemberantasan tindak pidana korupsi di tingkat internasional setelah mengamati upaya KPK yang sangat serius dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih. Yang mengkritik dan menghujat mengatakan bahwa KPK sebagai institusi yang dibentuk setelah Reformasi berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 itu bekerja karena ada kepentingan politik, bertindak atas pesanan orang atau kelompok kepentingan tertentu. Mereka menilai KPK sudah menjadi lembaga kebal hukum (
Contohnya, mereka sebut bahwa dalam banyak kasus, penetapan seseorang sebagai tersangka sampai pada penahanan dan pengajuan ke penyidangan memerlukan rentang waktu yang sangat panjang. Para pengkritik itu membeberkan sejumlah fakta. Penetapan Anas Urbaningrum sebagai tersangka sampai penyidangan di pengadilan memerlukan waktu sekitar satu tahun. Saat ini sejumlah tersangka, seperti Suryadharma Ali (mantan menteri Agama), Jero Wacik (mantan menteri Energi dan Sumber Daya Mineral), Siti Fadilah Supari (mantan menteri Kesehatan), Hadi Purnomo (mantan ketua BPK), dibiarkan berlama-lama di luar. KPK tidak melakukan penahanan dan dituding "menggantung" para tersangka itu.
Bahwa yang diduga memiliki "rekening gendut" di kalangan petinggi Kepolisian tidak hanya Komjen Budi Gunawan, tetapi mengapa yang ditetapkan sebagai tersangka hanya Budi Gunawan seorang. KPK juga dinilai tidak santun sebab ketika Budi Gunawan ditetapkan sebagai calon tunggal Kapolri, terkesan buru-buru menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka. Ini menimbulkan spekulasi atau setidaknya melahirkan pertanyaan, ada apa di balik penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka?
Ada pula kecenderungan sejumlah pihak tak menghargai dan terkesan ingin mendelegitimasi KPK sebagai institusi penegak hukum. Ketika KPK menetapkan seseorang tersangka, mestinya institusi negara lainnya menghargai penetapan itu sehingga tak perlu terus memproses orang yang berstatus tersangka menempati jabatan tertentu. Ini yang dilakukan DPR ketika memproses Komjen Budi Gunawan melalui uji kelayakan dan kepatutan sebagai calon Kapolri, lalu menyatakan layak dan patut. DPR beralasan bahwa mereka menjalani tugas konstitusional dan atas permintaan resmi presiden.
Jauh sebelumnya kita melihat upaya sebagian anggota DPR periode 2009-2014 "menata" regulasi yang menyangkut KPK agar lembaga itu tak terus jadi
(KUHAP).
Upaya merevisi tiga undang-undang itu, seperti disuarakan KPK lewat oleh Wakil Ketua Adnan Pandu Praja merupakan bagian dari "pengebirian" kewenangan KPK. Kesan serupa disuarakan pula sejumlah pegiat anti korupsi, seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Pukat UGM. Karena itu kemudian, ada "perlawanan" kuat dari masyarakat yang disuarakan melalui kalangan perguruan tinggi dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat pegiat anti korupsi: KPK tetap dikawal karena masih sangat dibutuhkan keberadaannya.
Kritik dan celaan juga merupakan mata uji paling konkret. Kritik dan tudingan yang tidak berdasar tentu memerlukan jawaban dan penjelasan seterang-terangnya. Apalagi kalau kritik dan cercaan itu disampaikan secara keliru, emosional, dan tidak obyektif, maka KPK dan para pemangku kepentingan wajib meluruskan pandangan keliru itu.
Misalnya, kondisi obyektif di dalam KPK dengan jumlah personel, terutama tenaga penyidik dan analis yang sangat terbatas., perlu diketahui. Hukum acara KPK yang ternyata tak memberikan jaminan yang bersifat asasi bagi para tersangka tindak pidana korupsi tak perlu segan-segan dikaji ulang dan disempurnakan.
Keraguan akan obyektivitas KPK dalam menahan seseorang perlu pula dijelaskan. Bahwa alasan melakukan penahanan tidak hanya bisa diukur dengan obyektivitas, tetapi penyidik sebagaimana diatur dalam KUHAP juga memiliki alasan subyektif untuk menahan seseorang, yakni jika dikhawatirkan kemungkinan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau mempersulit penyelidikan.
Hal-hal seperti itu perlu dijelaskan kepada masyarakat, mengapa tersangka ada yang segera ditahan dan mengapa tidak memerlukan penahanan. Jadi, bukan karena KPK melakukan "tebang pilih" dengan alasan politis.
Singkat kata, salah persepsi tentang KPK perlu diluruskan. Sebaliknya, KPK dan kita semua juga perlu terus introspeksi atau muhasabah mengenai segala kelemahan dan kekurangan KPK. KPK sebagai institusi harus terus dibenahi dan diberdayakan, sambil kita menyebarkan dan merawat semangat anti korupsi.
Kita harus menyemaikan pemahaman bahwa korupsi itu musuh bersama. Kita juga sependapat bahwa para koruptor perlu ditindak tegas. Kita harus bersama- sama bersepakat mencegah agar negara tidak bangkrut karena tindak pidana korupsi. Dan yang terpenting, tentu saja, kita masih tetap memercayai integritas dan kesungguhan para pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi.
Komisioner Komisi Yudisial Republik Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar