Tulisan itu menyitir gagasan tentang
Tulisan ini berusaha mengelaborasi akar-akar sosial-psikologis yang menyediakan ramuan bagi ketiga faktor tersebut, khususnya ideologi yang membenarkan itu.
Zaman kita adalah zaman berkelimpahan. Namun, pada saat yang sama, inilah zaman kegalauan. Kata pujangga kita, Ranggawarsita, inilah zaman Kalabendu.
Jangankan bagi orang yang hidupnya susah secara ekonomi, bagi orang-orang yang hidupnya berkecukupan, tekanan hidup semakin keras: tuntutan kebutuhan artifisial yang terus muncul, beban pekerjaan yang
Agama dan spiritualitas, yang seharusnya dapat menjadi oase tempat orang bisa melakukan tetirah, justru malah sempat terpinggirkan. Kesemuanya ini berkontribusi pada lahirnya perasaan teralienasi, bahkan dari diri sendiri, yang cenderung melahirkan masyarakat yang
Sayangnya, semangat dan
Disimbolkan oleh tokoh Zarathustra-nya Nietzsche, zaman kita seperti menyeru, "Agama sudah mati!" Maka, jadilah zaman ini suatu zaman yang di dalamnya penganutan agama terdedahkan pada kegamangan. Tak seperti pada masa-masa lampau, di zaman ini, memeluk suatu keimanan bukanlah sesuatu yang mudah. Ia selalu berada dalam ancaman dekonstruksi dan peragu-raguan, baik oleh pemikiran sekuler, rasionalistik, dan materialistik maupun oleh keragaman pemikiran keagamaan intra-agama sendiri yang semakin menjadi-jadi.
Gejala ini menjadi semakin kuat dengan adanya
Nah, kebutuhan seperti ini sulit dipenuhi oleh para pemikir dan ulama berkualitas yang cenderung menolak terkungkung dalam paham keagamaan monolit dan tertutup. Bagi para agamawan seperti ini, sudah seharusnya agama mengakomodasi pluralitas yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Maka, bagi para penganut agama yang mengalami kebingungan dan disorientasi—tetapi sudah telanjur kelelahan ini—kebutuhan akan pegangan seperti ini dengan sangat baik dipenuhi oleh orang-orang yang membawa paham-paham keyakinan yang bersifat fundamentalistik, integristik-total, dan mengklaim diri sebagai satu-satunya dari kebenaran.
Orang-orang model seperti ini bukan hanya mengklaim bahwa paham mereka pasti benar, bahkan lebih jauh memastikan bahwa yang selain dirinya pasti salah dan membawa penganutnya jauh dari keselamatan dunia akhirat. Dari para guru seperti inilah mereka merasa mendapatkan jaminan keselamatan yang mereka cari juga ketenteraman dalam penganutan keimanan. Sayangnya sikap-sikap sekelompok guru agama seperti ini masih diperparah oleh perasaan bermusuhan yang meluap-luap kepada semua orang di luar mereka, baik yang dianggap sebagai musuh agama, maupun—termasuk orang-orang yang seagama dengan mereka—yang dianggap mendukung para musuh agama tersebut.
Bercampur dengan frustrasi yang diakibatkan oleh faktor-faktor sosial ekonomi serta imbas persaingan kelompok politik dan keagamaan lokal, regional, dan internasional yang menyediakan patronase—dua bahan bagi ramuan mematikan ala Richardson—"sekadar" paham ekstrem atau fundamentalistik bisa melahirkan radikalisme dan terorisme keagamaan seperti yang kita saksikan semakin terasa menjadi-jadi belakangan ini.
Maka, menjadi tugas para agamawan dan pemikir keagamaan moderat untuk menawarkan suatu paham atau penafsiran keagamaan yang mampu menjadi tandingan pemahaman sempit kaum fundamentalis dan radikal. Penulis merasa bahwa sejenis pemahaman keagamaan yang bersifat mistik (sufistik) kiranya merupakan alternatif yang paling efektif. Sebelum yang lain-lain, sifat mistisisme yang menekankan pada pembinaan dan perawatan kedekatan manusia kepada Tuhan-nya dapat memberikan perasaan tenteram, kebahagiaan, dan jaminan keselamatan yang dicari semua orang.
Selanjutnya, tak seperti fundamentalisme dan radikalisme yang berporos pada eksklusivisme, kebencian, dan penggunaan kekerasan dalam mencapai tujuan, mistisisme didominasi oleh inklusivisme, cinta, dan kedamaian. Di sisi lain, mistisisme (sufisme) memang memberi ruang seluas-luasnya bagi–bahkan cenderung tak melanggar ranah—urusan-urusan duniawi sejauh ia diupayakan dengan memelihara moralitas dan moderasi.
Jadi, sebaliknya menghambat bagi upaya-upaya "sekuler" umat manusia, nilai-nilai mistisisme justru kondusif terhadapnya.
Pengajar Filsafat dan Mistisisme Islam di ICAS-Paramadina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar