Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 14 Januari 2015

Pernyataan Dramatis Jokowi di Papua (Atmakusumah )

UNTUK kesekian kali sejak sebelum dan sesudah menjabat presiden, Joko Widodo mengeluarkan pernyataan dramatis yang mencerminkan hasrat untuk mendorong keterbukaan ketika menilai suatu peristiwa dan masalah dalam masyarakat.

Kali ini di Jayapura, Papua, dalam Perayaan Natal Nasional pada 27 Desember 2014, Jokowi sebagai presiden menyerukan perdamaian "kepada semua pihak" dengan mengakhiri konflik dan kekerasan di Papua. "Rakyat Papua juga butuh didengarkan, diajak bicara," kata Jokowi.

Jokowi juga menyesalkan dan berduka cita atas penembakan di Enarotali, Kabupaten Paniai, 8 Desember 2014, yang mengakibatkan lima warga tewas, termasuk empat pelajar sekolah menengah. Ia berjanji menyelesaikan kasus ini sampai tuntas.

Kata hati Jokowi ini mengingatkan saya pada warga Timor Lorosa'e ketika tanah air mereka masih masuk Indonesia. Para pejabat Indonesia waktu itu mengingatkan bahwa Timor Timur mengalami banyak pembangunan dibandingkan dengan masa penjajahan oleh Portugis. Warga Timor Lorosa'e menjawab, "Baiklah, angkat saja semua jalan, jembatan, dan bangunan kembali ke Indonesia. Yang kami inginkan hanyalah kemerdekaan."

Sama seperti di Timor Timur pada masa lampau dan di Provinsi Aceh selama berlangsung konflik bersenjata, pemberitaan pers tentang Papua sangat terbatas. Wartawan di Papua masih traumatis karena tekanan yang bertahun-tahun mereka alami apabila memberitakan masalah yang tidak menyenangkan pemerintah dan narasumber masih tetap takut mengutarakan informasi dan pendapat kritis.

Keterbatasan arus informasi dan berpendapat dari Papua juga tecermin dalam pemberitaan pers nasional sehingga masalah dan peristiwa yang timbul di ujung timur Indonesia itu sering kali tidak muncul secara komprehensif. Insiden penembakan di Enarotali bulan lalu, misalnya, lebih jelas dalam laporan di media internet berdasarkan wawancara dengan pengamat hak asasi manusia dengan banyak narasumber anonim di Papua.

Papua terisolasi

Pemberitaan dalam pers internasional tentang Papua juga tidak mungkin lengkap karena peliputan oleh pers asing di sana hampir tidak mungkin. Papua sudah setengah abad tertutup bagi pers luar negeri, seperti dulu dilakukan di Provinsi Aceh.

Menurut Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch yang berpusat di New York, wartawan internasional yang meliput di Papua harus mendapat persetujuan dari 18 instansi dalam clearing house di Kementerian Luar Negeri, termasuk izin dari Badan Intelijen Negara dan Badan Intelijen Strategis.

Dalam wawancara dengan Remotivi baru-baru ini, ia menjelaskan bahwa izin khusus ini tidak hanya berlaku bagi warga negara asing, tetapi juga untuk warga Indonesia yang bekerja di lembaga asing. Andreas Harsono bercerita tentang pengalaman temannya dari Ambon, kelahiran Jayapura, ketika hendak berkunjung ke Papua untuk menghadiri acara keluarga. Ia juga harus meminta izin dari clearing house di Kementerian Luar Negeri jika hendak "pulang kampung" sekalipun karena ia bekerja di suatu lembaga Australia di Jakarta.

Suatu hari, ia terbang ke tempat kelahirannya di Papua tanpa lebih dahulu meminta izin dariclearing house itu karena tidak tahu ada prosedur seperti ini di negeri kita untuk berkunjung ke keluarganya. Ternyata, di bandar udara di Papua, ia ditegur oleh petugas intel karena tidak mempunyai izin khusus masuk ke kampung halamannya.

Suasana mencekam seperti ini di Papua memberikan gambaran seolah-olah daerah itu terisolasi dari wilayah selebihnya di negeri kita. Sama seperti di Provinsi Aceh dulu, di Papua sampai sekarang masih terdapat puluhan tahanan politik. Di Aceh, ratusan warga ditahan karena mengikuti demonstrasi damai yang menuntut referendum dan dianggap mendukung Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Antara lain aktivis politik dan ketua lembaga swadaya masyarakat Srikandi Aceh, Cut Nurasyikin, yang pada Oktober 2003 dijatuhi hukuman 11 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Banda Aceh karena ikut mengampanyekan referendum untuk menyelesaikan konflik bersenjata di Aceh. Ia bahkan dituduh terlibat dalam "pemberontakan" di Aceh. Cut Nur, ibu dari lima anak, lenyap tersapu tsunami bersama lebih dari 700 tahanan politik lainnya di seluruh Provinsi Aceh pada 26 Desember 2004, sehari menjelang ulang tahunnya yang ke-50.

Di Papua, masih ada lebih dari 60 aktivis politik dalam penjara. Mereka ditangkap karena mengibarkan bendera Kejora, atau mengadakan pertemuan yang mendiskusikan persoalan politik, atau ikut demonstrasi damai.

Bagi dunia internasional, Indonesia itu ganjil karena sebuah negara demokrasi tidak lazim memiliki tahanan politik.

Peliputan pers

Untuk mengakhiri isolasi terhadap Papua, sudah waktunya daerah itu terbuka sepenuhnya, seperti pulau-pulau lain di negeri ini. Termasuk terbuka bagi peliputan pemberitaan yang independen, baik pers dalam negeri maupun internasional.

Tindakan saat ini menahan dan mengadili dua wartawan Perancis dari Franco-German Arte TV, Thomas Dandois dan Valentine Bourrat, seharusnya tidak terjadi. Dewan Pers telah pula menyarankan agar mereka dideportasi saja jika dianggap menyalahgunakan visa turis. Dewan Pers juga pernah menyarankan kepada pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar Papua terbuka bagi peliputan pemberitaan oleh media pers dari dalam dan luar negeri.

Wartawan itu seperti dokter. Di mana pun dokter berada, sedang jalan-jalan bersama keluarga sekalipun, tidak mungkin membiarkan seseorang yang tiba-tiba menderita sakit di tepi jalan. Demikian pula wartawan, tidak mungkin menghindari informasi yang menarik untuk diamati sekalipun ia tidak sedang menjalankan tugas reportase.

Pemberitaan yang terus terang dan komprehensif tentang suatu masalah dan peristiwa bukan hanya patut diketahui publik sebagai hak asasi mereka. Namun, mungkin penting bagi pemerintah agar dapat merumuskan kebijakan yang tepat.

Umpamanya, pemberitaan yang gencar pada tahun-tahun awal masa reformasi tentang aspirasi yang berkembang di Aceh tentunya turut memberikan kontribusi pada keberhasilan perundingan perdamaian antara pemerintah pusat dan GAM di Helsinki, Finlandia, Agustus 2005. Perundingan itu dapat mengakhiri konflik bersenjata yang sudah berlangsung 30 tahun sejak awal masa Orde Baru.

Aktivis dari Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA), Muslahuddin Daud, mengakui bahwa penyelesaian konflik di Aceh itu sulit, tetapi media dapat berperan menjembatani perbedaan antara kedua pihak. "Hampir-hampir tidak mungkin mencapai perdamaian tanpa kehadiran mediator, media, dan pihak netral lainnya. Surat-surat kabar telah membantu menyebarkan pesan perdamaian di Aceh," kata Muslahuddin Daud dalam konferensi Forum Perdamaian Dunia, di Jakarta (The Jakarta Post, 22/11/2014).

Seandainya pers kita dan pers internasional lebih teratur memberitakan aspirasi dan gejolak di Papua, Presiden Joko Widodo agaknya tidak akan seterlambat ini mengajak "yang masih di dalam hutan, yang masih di atas gunung-gunung" untuk "bersama-sama membangun Papua sebagai tanah yang damai".

Vitalis Yumie, Ketua Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat, dalam pertemuan dengan Duta Besar Amerika Serikat Robert Blake yang berkunjung ke Manokwari pada 9 Juni 2014, meminta Pemerintah Amerika Serikat mendesak Pemerintah Indonesia berdialog dengan kalangan Papua. "Permasalahan di Papua hanya dapat diselesaikan melalui dialog dengan pemerintah pusat karena gubernur diam, bupati diam, wali kota diam, kementerian terkait diam," katanya (Radar Sorong,10/6/2014).

Atmakusumah
Pengamat Pers dan Pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) Jakarta

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011348248  

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger