Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 14 Januari 2015

Merancang Sejarah Indonesia (Arif Susanto)

MENAPAKI 2015, penting untuk merefleksikan apa yang salah dengan negara ini dan apa yang perlu dilakukan dengan itu.

Transformasi sejarah, lewat revitalisasi semangat untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan, menjadi suatu kemendesakan. Kerja kolektif dan berkelanjutan untuk merancang sejarah gemilang Indonesia membutuhkan komitmen pada nilai-nilai keadilan dan demokrasi.

Transformasi sejarah

Jika kini berbagai hal tidak memuaskan, kata Hobsbawm (1997), masa lalu menyediakan model untuk merekonstruksinya. Namun, melampaui suatu replikasi, rekonstruksi tersebut menjadi jalan transformasi sejarah. Tanpa perlu menjiplaknya, masa lalu membantu meneguhkan orientasi pada masa depan yang lebih baik. Menanggalkan beban keburukan, transformasi sejarah mengembalikan haluan pada tujuan kebaikan bersama.

Enam belas tahun terakhir orientasi kenegaraan kita terus-menerus diuji oleh berbagai upaya menenggelamkan kepublikan. Langkah progresif reformasi sejak 1998 dihalangi kehendak jahat yang cepat beradaptasi dengan situasi baru.

Perilaku korup bertahan, oligarki ekonomi dan politik bertumbuh, solidaritas digerogoti pula oleh antagonisme. Bahkan, seandainya memang tidak terjadi regresi, perubahan signifikan belum terjadi sesuai harapan.

Namun, pampatnya perubahan semacam itu tidaklah sama sekali baru. Pada 1959, Hatta telah mengidentifikasi suatu ironi: pada permulaan kemerdekaan, orang benar-benar meresapi tanggung jawabnya; setelah itu, orang melupakan syarat-syarat pembangunan demokrasi. Idealisme untuk menciptakan suatu masyarakat adil dan makmur semakin ditinggalkan dan pengelolaan pemerintahan pun semakin menjauh dari demokrasi yang sesungguhnya.

Kita berjarak masa dengan Hatta, tetapi kita dekat dengan situasi yang dihadapinya. Awalnya, kehendak rakyat menjadi dukungan bagi para pemimpin, kemudian kekuasaan mulai melenakan dan melemahkan keterkaitan mereka dengan rakyat. Setelah keterlibatan publik menghidupi tatanan politik, segera ia diempaskan oleh keserakahan personal para penguasa.

Berseberangan dengan itu, kegembiraan berdemokrasi lewat partisipasi meluas publik pada Pemilu 2014 menyulut kembali harapan perubahan. Tidak sekadar memilih, banyak di antara anggota masyarakat yang terlibat penggalangan dukungan, mendesakkan agenda politik, dan mengawasi penyelenggaraan pemilu. Seusai menyurut, energi perubahan di kalangan rakyat kembali menemukan momentum.

Saat pemilu, Jokowi-JK berhasil meyakinkan publik pemilih tentang kemasuk-akalan visi mereka untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Mereka berjanji membangun dengan cara musyawarah dalam memutuskan dan gotong royong dalam kerja. Selanjutnya, tantangan mendesak bagi mereka adalah merevitalisasi semangat Trisakti agar tidak menjadi doktrin kosong.

Inilah tugas untuk mentransformasi sejarah, yaitu suatu operasi perubahan besar: mengembalikan orientasi kenegaraan sesuai amanat UUD 1945. Jokowi-JK mesti mengambil inisiatif perbaikan melalui berbagai langkah konkret yang dipandu oleh cita-cita asali pembentukan negara Indonesia. Belajar dari masa lalu, kerja kolektif kebangsaan tersebut menuntut suatu komitmen kuat pada prinsip-prinsip keadilan dan demokrasi.

Bukan mitos

Jajak pendapat Kompas (5/1/2015) mengindikasikan harapan sekaligus kepercayaan tinggi rakyat terhadap pemerintahan Jokowi-JK. Dibutuhkan kesungguhan pemerintah untuk mengejawantahkan modal tersebut menjadi kebijakan yang menyejahterakan dan memastikan kehadiran efektif negara untuk menyelesaikan masalah bersama. Tanpa itu, kita bisa kehilangan kembali momentum perubahan seiring lenyapnya legitimasi kekuasaan Jokowi-JK.

Berulang kali pemerintahan terdahulu menyia-nyiakan harapan dan kepercayaan rakyat. Keriangan pemerintah berbanding terbalik dengan kekecewaan rakyat manakala penguatan kekuasaan justru mengorbankan penguatan kesejahteraan rakyat. Agenda kekuasaan sudah terlalu sering berseberangan dengan agenda kepublikan; konektivitas keduanya lemah.

Cita-cita kemerdekaan Indonesia, dalam jangka panjang, lebih banyak dikutip ketimbang diwujud-nyatakan. Cita-cita itu selalu menghiasi janji-janji kekuasaan, tetapi kerap absen dari kebijakan-kebijakan yang dihasilkannya. Elite berkuasa begitu terampil mengeja cita-cita itu, tetapi mereka tergagap mengejawantahkannya. Tiada kunjung menemukan perwujudannya, cita-cita itu terdegradasi seolah imajinasi minus esensi.

Basis eksistensial Indonesia merdeka yang kita warisi dari para pelopor itu sesungguhnya bukanlah mitos tanpa makna. Sebaliknya, ia tiada henti menyediakan rujukan bagi siapa pun yang bersedia melakukan transformasi sejarah. Konstruksi masa depan ditentukan oleh, antara lain, bagaimana kesediaan kita saat ini memaknai ulang masa lalu tersebut.

Negara mesti dikelola berpandukan kebajikan yang mendasari keberadaan Indonesia. Pilihan Jokowi-JK untuk "kerja, kerja, kerja" layaknya bukan suatu gerak tanpa orientasi. Kerja pemerintahan mesti sejalan dengan visi Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Demikian pula visi tersebut dapat menyokong transformasi sejarah hanya jika ia diupayakan lewat kesungguhan untuk bekerja. Inilah suatu relasi timbal balik antara gerak dan orientasi kerja.

Adalah mustahil bagi pemerintah untuk bekerja sendiri tanpa membangun aliansi dengan pihak lain. Karena mengabdi pada kepentingan umum, tiada yang lebih strategis bagi pemerintah kecuali bersekutu dengan rakyat. Suatu pemerintahan yang terbentuk lewat dukungan rakyat hanya mungkin berhasil karena bekerja bersama dan berpihak pada rakyat. Hal ini mencegah negara diokupasi oleh kepentingan kroni lewat relasi yang paternalistik.

Generasi sekarang memiliki kesempatan emas untuk menyumbang kebaikan bagi Indonesia. Saat ini kita memiliki momentum untuk menentukan arah perubahan sebelum ia dibajak kembali oleh para demagog. Karena itu, kekuasaan perlu terus diingatkan untuk selalu setia dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Kerja kolektif untuk merancang sejarah gemilang Indonesia tak boleh dihentikan oleh keserakahan personal.

Indonesia tidak dibangun untuk satu atau dua malam, dan kita berharap ia ada untuk selamanya. Indonesia juga tidak dibangun untuk satu atau dua orang, dan kita berharap ia ada untuk semuanya.

ARIF SUSANTO 
Peneliti pada Indonesian Institute for Development and Democracy (Inded)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011254921  

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger